Nasionalisme, Islam dan Politik
Oleh: Moh. Tamimi*
Judul: Nasionalisme dan Islam Nusantara
Penulis: Said Aqil Siroj dkk.
Editor: Abdullah Ubaid dan Mohammad Bakir
Penerbit: Kompas
Cetakan: I, 2015
Tebal: xii+292 halaman
ISBN: 978-979-709-955-8
Harga: 69.000
Dialektika Islam Nusantara masih belum selesai sampai sekarang. Walaupun tidak sesemarak tahun 2015 lalu. Pada masa Gusdur kita mengenal "Pribumisasi Islam" dengan kata lain "Meng-Indonesiakan Islam" bukan "Mengislamkan Indonesia." Akan tetapi, hal itu diperluas lagi sekarang menjadi "Islam Nusantara."
Ketika membaca buku ini, saya semakin sadar betapa pentingnya Islam Nusantara untuk keutuhan NKRI dan kedamaian tanah air Indonesia karena menurut Moh. Hatta "Hukum paling tinggi adalah damai." Sikap nasionalisme semakin terkikis di kalangan rakyat Indonesia sendiri, terbukti dengan munculnya golongan-golongan yang ingin merongrong Ideologi Pancasila memang harus segera disikapi dengan baik. Bagi mereka, yang penting hanya "cinta agama" dan mengesampingkan "cinta tanah air." Tanpa ada tanah tempat berbijak, dimana mereka akan melaksanakan ibadahnya?
Buku ini dibagi menjadi lima bagian: Bagian pertama membahas "Nasionalisme santri, keutuhan NKRI." Tragedi Resolusi Jihad yang terjadi pada 22 Oktober 1948 menandakan betapa cintanya para santri—atau identik dengan kaum tradisionalis—terhadap tanah air. Berkat Resolusi Jihad itu, terpicu terjadinya hari pahlawan pada 10 Nopember.
Timbulnya "pesantren dadakan," sebagaimana bahasa Said Aqil Siroj dalam buku ini, yang dijadikan sarang teroris, membuat citra baik pesantren semakin menurun. Padahal, jika kita berani melawan lupa, dahulu santri dan kyai berjuang mati-matian membela bangsa, negara dan tanah air Indonesia.
Bagian kedua, membahas "Konsistensi merawat Islam Nusantara." menjelang dilaksanakan Muktamar NU ke-33 di Jombang pada Agustus 2015 yang bertema "Mengukuhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia" muncul banyak kritikan. Meskipun demikian, tema Islam Nusantara tetap dilangsungkan. Hal itu, menandakan konsistensi NU dalam menjaga nilai Islam yang ada di nusantara ini.
Bagian ketiga, membahas "Warisan Gusdur untuk NU dan Indonesia." Meskipun Gusdur telah wafat 2009 lalu, pemikiran Gusdur tak pernah mati sampai sekarang. Pejuang pluralisme itu memang pantas disejajarkan dengan Martin Luther, sang pejuang kemanusiaan di Amerika Serikat. Berkat Gusdur, NU mengalami kemajuan yang sangat pesat. Terutama saat tiga kali kepemimpinanya secara berturut-turut sebagai ketua PBNU. Gusdur menjadikan NU sebagai ormas Islam yang tak bisa disetir oleh Orde Baru.
Bagian keempat, membahas "Konfigurasi NU sebagai Kekuatan Sipil." Tak pelak lagi, NU sebagai salah satu sayap ormas Islam terbesar di Indonesia, mempunyai peran yang sangat menggiurkan untuk menggalang kekuatan massa. Mengingat massa NU sangat banyak, terutama di pedesaan. Akan tetapi, yang ditekankan di sini bahwa NU harus menghilangkan ketergantungannya kepada pihak luar dan harus benar-benar mandiri, terutama di bidang keuangan. Selaras kiranya dengan apa yang dikatakan penganut filsafat Sinisme, penganut filsafat Yunani kuno, bahwa kebahagiaan sejati terletak pada ketidak tergantungan pada segala sesuatu. Ada yang harus digaris bawahi pada bab ini, M. Fajar Marta menulis "Muslimat NU juga mengelola 131 koperasi primer dan program life skill di 84 provinsi."(hlm. 221) Bukankah provinsi di Indonesia 33?
Bagian kelima, menjelaskan "godaan politik kaum sarungan." Sejak mulai berdirinya NU, 1926 M., selain karena ideologi, NU juga tidak lepas dari persoalan politik dan NU sendiri pernah menjadi partai politik pada tahun 1945. Sebelumnya NU juga bergabung dengan Masyumi, pernah pula bergabung dengan PPP pada masa Orba dan terakhir memperakarsai berdirinya PKB di bawah pimpinan Abdurrahman Wahid, Gusmus dan lainnya. Sehingga mengantarkan Gusdur menjadi presiden. NU sendiri sepertinya tidak benar-benar uzlah dari politik praktis dan tidak jarang dijadikan batu loncatan untuk naik ke politik praktis.
Buku yang ditulis oleh para nahdliyin dan pengamat NU ini memang sepatutnya untuk diapresiasi, selain demi kemajuan NU sendiri, juga demi negara, bangsa dan tanah air. Lebih-lebih untuk mengetahui lebih jauh relasi antara Islam, Pancasila, nasionalisme dan politik.
*Penulis adalah Mahasiswa INSTIKA, Guluk-Guluk, Madura dan aktif di PAC. IPNU Bluto
Komentar
Posting Komentar