Tragedi Politik Kyai


Oleh: Moh. Tamimi*

Judul: Kelopak Cinta Kelabu 
Penulis: Suhairi Rachmad 
Penerbit: PT. Penerbitan Pelangi Indonesia 
Cetakan: I, 2015 
Tebal: 245 Halaman 
ISBN: 978-602-1627-46-4 
Novel ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa meskipun kita berbeda pilihan, seharusnyalah kita tetap berpegang tegus dalam persaudaraan. Menjadikan perbedaan sebagai rahmat bukan laknat maupun khianat. Terutama pasca pesta demokrasi, yang biasanya sesudah pemilu akan terjadi perpecahan berkelanjutan.
Novel ini mengisahkan dua pesantren yang mengusung calon legislatif yang berbeda: Surahman Hadi yang diusung oleh kyai Manaf dari pesanten Iqro' dan Lora Rosyid yang diusung oleh Kyai Mannan, abahnya sendiri dari Pesantren Al-Iftitah.
Pasca pemilu legislatif, masih ada seseorang yang menebar virus kebencian antara orang yang mengaku pendukung Kyai Manaf maupun Kyai Mannan. Perbedaan ini bukan hanya berdampak terhadap masyarak pendukung. Akan tetapi, berdampak terhadap kisah cinta Lora Hamim, putra Kyai Manaf, dan Ning Fatimah putri Kyai Mannan.
Jauh hari, Kyai Mannan mengutarakan terhadap keluarga besar Kyai Manaf untuk menjodohkan putra putri mereka supaya lebih mempererat tali persaudaraan mereka terutama antar pesantren Iqro' dengan pesantren Al-Iftitah yang notabenenya mereka (Kyai Manaf dan Kyai Mannan) adalah sepupu. Namun takdir sepertinya akan berkata lain dengan apa yang telah direncanakan. Setahun lebih dari pinangan pihak Lora Hamim kepada pihak Ning Fatimah tidak mendapat respon. Tidak ada jawaban menolak maupun menerima, sehingga hal ini meresahkan pihak Lora Hamim dan mereka merasa dipermainkan oleh keluarga besar Kyai Mannan. Ditambah lagi, permasalahannya adalah Kyai Mannan sejak pasca pemilu tidak pernah keluar dari tempat khususnya dan selalu terhalangi oleh hijab.
Ketika ada orang yang mau nyabis yang tampak hanya tangan kanan Kyai Mannan dan tidak sepatah katapun berkata. Sesudah para tamu bersalaman dengan selipan uang, para tamu langsung pulang. Bukan hanya tamu yang diperlakukan demikian, Lora Rosyid dan Ning Fatimah pun juga tidak diperbolehkan bertatap muka dengan sang abah. Walaupun, kerinduan Ning Fatimah terhadap abahnya semakin mendalam dan panggilan " Ning Facim", panggilan khas abahnya kepadanya yang ia kian rindu harus ia pendam dalam- dalam. Yang Ning Fatimah rasakan hanya keanehan-keanehan yang ia rasakan ketika berada di kamar abahnya. Suatu ketika ia mencium bau amis darah dan ia pula merasakan sesuatu yang berbeda dengan sikap abahnya serta suara abahnya, semua serba berubah ia rasa.
Akhir-akhir itu, Ning Fatimah mersa gelisah karena terkadang pesantren Al-Iftitah diteror oleh segerombolan sepeda. Mendapati hal itu, pihak pesantren semakin mengetatkan keamanan, penjagaan ditambah siagakan, personel keamanan ditambah. Permasalahan mulai terbongkar ketika Ning Fatimah dan Lora Rasyid mendapati sidik jari Kyai Mannan berbeda dengan sidik jari yang berada di ijazah. Kedok Kyai Gadungan itu terbongkang ketika salah seorang tamu, Kohar, menarik orang yang mengaku Kyai Mannan tersebut hingga jauh terjerengkang. (hlm. 199)
Melihat kejadian tersebut, tidak tahu siapa yang memulai, kyai gadungan tersebut dipukul beramai-ramai oleh orang-orang yang kebetulan juga sedang nyabis ke Kyai Mannan. Sehingga, Mat Hasyim (orang yang mengaku Kyai Mannan) babak belur, dua giginya rontok, kedua matanya menonjol dan darah mengalir dari lubang hidungnya. Segera, Mat Hasyim dilarikan ke rumah sakit karena keadaannya kritis. Tidak sampai tiga hari di rumah sakit, nyawa Mat Hasyim telah tiada. Permasalahan selanjutnya adalah dimanakah Kyai Mannan yang sesungguhnya? Setelah diselidiki lebih mendalam oleh polisi, ternyata Kyai Mannan telah dibunuh oleh istri mudanya, Nyi Jazilah. Hal ini terungkap berdasarkan pengakuan Nyi Jazilah di kantor polisi selelah di bekuk polisi yang sebelumnya telah melarikan diri ke Surabaya bersama Kohar, kroninya. Di kantor polisi, dia mengaku, menikah dengan Kyai Mannan karena terpaksa. Jika menikah karena cinta sungguh tidak sebanding karena selisih umur Kyai Mannan dengan Nyi Jazilah adalah dua puluh lima tahun. Dari ulahnya ini, warga setempat, beberapa hari sebelumnya terungkapnya kasus, sempat terjadi carok Massal yang menimbulkan beberapa korban jiwa dan Lora Rosyid dan Kyai Manaf harus merasakan pengapnya penjara. Dia mengaku bahwa Kyai Mannan telah dibunuhnya dengan membayar orang lain dan dikuburnya tepat dibawah tempat tidurnya.
Novel Ini sungguh menggugah, penulis mampu menguak kejadian-kejadian pesantren yang selama ini jarang ditelusuri. Namun, demikian, dalam novel ini dipaparkan, sebenarnya bukan antar Kyai yang menjadi sumber permasalah. Melainkan ada pihak ketiga yang memang segaja memainkan peran demi diri sendiri atas nama Kyai dan pesantren. Selebihnya, selamat menikmati lautan khazanah dalam novel ini.
*Penulis adalah Mahasiswa INSTIK Annuqayah, Prodi Pendidikan Bahasa Arab.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tarekat Qadiriyah

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Pendidikan Sosial