Kamu, Semoga!
Oleh: Moh. Tamimi*
"Kamu adalah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan."
Hanya kata itu yang selalu mengiringi hari-hariku. Sepi, gundah, luka, duka, menyatu dalam diriku. Menyelinap masuk ke dalam diriku dan tak menemukan jalan keluar. Kesepian akan cinta membuatku seakan jauh dari kata bahagia. Meskipun aku yakin dan akan selalu yakin bahwa kebahagiaan sejati telah menungguku di masa depan, tak tahu kapan, beriringan dengan takdir Tuhan.
Selalu kuingat, setiap langkah bersamanya, kekasihku yang telah berlalu. Senyumnya, manjanya, cemburunya, perhatiannya, tak pernah lepas dari memori ingatanku. Aku dan dirinya saling mencinta walaupun sering bertengkar remeh saat bersama hanya karena obsesi untuk terus memiliki dan rasa cemburu yang terus membuntuti. Sekarang, kita tak lagi mampu membantah. Ketika kekuasaan berkata lain atas diri kita. Hanya air mata yang mampu kujawabkan.
Gemerlap dunia telah membutakan mata ibunya. Dia dipaksa menikah dengan seorang laki-laki kaya, tetapi sedikit tua menurutku. Banyak orang mengatakan bahwa harta, tahta dan wanita adalah tiga hal yang dapat menjerumuskan terhadap perkara dusta dan bahagia. Akan tetapi, saya ingin bertanya kepada orang yang mengatakan begitu. "Bagaimana jika yang terjadi adalah wanita dipaksa menggunakan tahta (kekuasaan) demi harta? Apakah wanita masih harus disebut sebagai biang kejahatan? Kenapa bukan penistaan? Kekuasaan orang tua yang mengekang masa depan anaknya hanya karena harta. Tidakkah cinta itu lebih indah daripada sekedar harta?"
Ah, semua tanya itu hanya tergiang sendiri dalam pikirku. Tak ada yang mau menjawab pertanyaanku. Siapa peduli padaku. Ketika diam tak lagi emas, aku tetaplah seonggok daging yang mungkin sangat hina di mata orang lain. Meratapi masa lalu dan selalu mencoba keluar dari waktu, namun kutak pernah bisa.
Salah satu temanku yang menyaksikan akad nikah kekasihku itu mengatakan kepadaku bahwa kelihatan sekali ketertekanan wajah kekasihku itu pada saat akad nikah. Raganya tak mampu menahan gejolak batin yang terus bergemuruh, berontak, menjerit dan terus menjerit.
"If, Qiya, waktu akad nikah selesai dan sesudah itu ada adegan saling suap gitu, kamu tahu tidak apa yang dilakukannya?"
"Memangnya kenapa?" Jawabku lemas.
"Ketika itu ia hendak menyuapkan sesendok makanan, tanganya gemetar, wajahnya tampak muram, pucat dan lagi...," temanku itu menghentikan ucapannya sejenak. "Dia itu pergi dari ruang resepsi sambil menangis dan melemparkan sendoknya. Dia menangis If, Menangis." Muttaqin menekankan suaranya pada kata terakhir.
Aku masih tetap dengan kebingunganku. Apa yang harus aku lakukan. Akad nikah sudah dilangsungkan. Dia sudah sah menjadi milik orang lain. Membawa kabur dirinya! Ah, itu konyol sekali. Walaupun, Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang tidak setuju bahwa cinta tak harus saling memiliki. Bagiku, cinta harus saling memiliki karena jika cinta tak harus saling memiliki, itu hanyalah utopia belaka.
Beberapa bulan menjelang pernikahannya, ia menghubungiku, bertanya keadaanku. Aku selalu menjawab pertanyaannya bahwa aku baik-baik saja, kebenaran sebaliknya. Aku menampakkan kepasrahanku pada takdir. Seolah diriku menerima kenyataan dengan lapang dada, padahal, aku masih belum menerima takdirku ini yang harus aku terima.
"Apa yang harus akau lakukan sekarang?" Tanya-nya padaku suatu ketika.
"Kamu tak usah risau. Jalani saja kenyataan ini. Lakukanlah yang terbaik untukmu, untuk kita, keluargamu dan untuk semua."
"Tapi aku tak bisa hidup tanpamu. Aku sangat mencintaimu, If. Aku tak mencintai dirinya. Bagaimana mungkin aku bisa menjalani hidup dengan orang yang sama sekali tidak aku cintai. Itu tidak mungkin If, tidak mungkin."
Aku tak tahu, saat itu dia sedang menangis atau tidak. Aku hanya bisa mengira bahwa ia sangat sedih untuk bisa menerima semua ini.
Sebenarnya aku tak kuasa dengan semua ini. "Lakukanlah yang terbaik, Qiya!" Hanya kata itu yang bisa kuucapkan kepadanya. Tanpa memberi solusi. Aku sendiri juga sedang bingung, sehingga aku juga tak mampu memberikan jalan keluar untuknya. Aku tak ingin egois dengan cara mengajaknya berbuat nekad.
Diam-diam, aku selalu memperhatikannya dari jauh. Mencari kabar tentangnya. Menyusuri setiap jejak langkahnya. Aku sedikit terkejut, ketika aku mengetahui ia kabur dari rumahnya, bahkan bukan hanya satu kali, dua kali. Itupun senggang waktunya tidak begitu lama antara yang pertama dan kedua. Terkadang, dia masih tetap saja menghubungiku secara diam-diam.
"Kenapa kamu kabur dari rumah?" Tanyaku pada suatu kesempatan.
"Aku masih tetap seperti dulu, tetap mencintaimu sepenuh hati. Aku tak bisa memasrahkan diriku kepada orang lain selain dirimu," jawabnya.
"Maaf sebelumnya, apakah kamu masih perawan?" Sebenarnya aku ragu untuk menanyakan hal itu.
Jawabnya hening untuk beberapa saat. Mungkin ia mempersiapkan diri untuk menjawab.
"Maafkan aku, If!"
"Sudahlah, tidak apa-apa. Itu memang sudah tugasmu."
"Waktu kabur pertama," lanjutnya, "aku masih benar-benar suci, namun ketika yang kedua...," perkataannya terhenti sejenak. "Aku benar-benar minta maaf. Aku tak kuasa menahan dirinya, diriku juga," suaranya lirih.
Siapa yang kuat menahan nafsu. Itu fitrah manusia. Jika sudah berdua, sulit untuk tidak terjadi. Bedanya, perpaduan cinta yang ia lakukan, pihak ketiga bukan lagi syaitan, namun malaikat yang terus mendoakan.
Apa yang terjadi, biarlah terjadi. Rinduku akan kusaksikan sendiri. Seiring waktu yang terus berdetak, waktu akan menjawab pada akhirnya. Pena dan kertas lusuh ini akan menjadi saksi dan teman sehari-hariku kedepannya.
*Penulis adalah mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep
Ada komentar?
BalasHapusKeren
BalasHapus