Peran Sastrawan dalam Melawan Korupsi


Oleh: Moh. Tamimi*

Korupsi, merupakan penyakit mental Indonesia mulai dari rakyat kelas teri hingga pejabat kelas kakap. Bagi penulis, realita ini memang perlu ditindak lanjuti dari berbagai bidang. Kalau perlu, lewat game-pun juga sangat diperlukan. Game, sudah menjadi rutinitas sebagian anak-anak dan remaja saat ini.  Oleh karena itu, game bisa dijadikan penanaman kesadaran hidup tanpa korupsi. Bukan hanya bermain game "Super Mario" yang selalu mencuri emas dibalik gedung. Jika demikian, menjadi wajar para generasi bangsa kita bila sudah dewasa berprofesi menjadi pencuri emas di balik gedung parlemen.
Menurut J. Kristiadi, tanpa kontrol publik, lembaga perwakilan rakyat akan semakin kehilangan martabatnya karena tertimbun limbah nafsu serakah sehingga ranah kekuasaan kehilangan amanah, hidayah, berkah, dan marwah.
Apabila semua lini harus ikut andil dalam menolak dan menggugat korupsi, maka jalan sastra pun juga mempunyai peran pentung dalam menyuarakan gerakan anti korupsi. Biasanya, para sastrawan mempunyai perasaan yang lebih halus dari pada bukan sastrawan dalam menyikapi sesuatu. Mereka mempunyai ciri khas tersendiri dalam memandang suatu masalah. Hal itu, terbukti ketika mereka menyikapi kekerasan seseorang maupun kejelekannya dengan majas yang mendayu-dayu. Tidak gamblang atau terang-terangan terhadap suatu yang mereka gugat.
Roman Motinggo Busye, contohnya, ia mampu mengungkap gerak batin dan fisik manusia yang paling halus. Ia menulis cerpen Dua Tengkorak Kepala di Kompas, 13 Juni 1999. Dalam cerpen itu, ia menitipkan pesan kemanusiaan, konflik politik, serta penindasan rakyat Aceh, dalam kisah yang mengalir dan indah. Sebagaimana kita tahu. alur perpolitikan Indonesia tidak pernah benar-benar demokratis kecuali tahun 50-an yang dianggap berlangsungnya pemilu yang paling demokratis dalam sejarah bangsa ini.
Meskipun para sastrawan selalu bermajas dalam mengungkapkan kata-kata, bukan berarti mereka takut atau bahkan mau menjadi pengecut dengan cara bersembunyi dibalik metafora.  Akan tetapi, karena mereka ingin menyampaikan aspirasi mereka dengan santun, walaupun terkadang mereka mengilustrasikan kejelekan koruptor tidak lebih dari tikus got dan kucing yang selalu berebut roti di balik lemari besi. Para sastrawan mengungkapkan aspirasi mereka dengan penuh keberanian. Kalau bukan karena keberanian dalam menolak korupsi, Widji Tukul, misalnya, tidak akan menulis dan melantunkan puisinya dengan penuh wibawa demi membela rakyat. Sehingga, menyebabkan dirinya hilang tanpa jejak.
Sampai saat ini, sang pujangga tersebut tidak ada yang mengetahui dimana berada ataupun kalau sudah mati, dimana jasadnya. Publik hanya mampu menduga bahwa sang pujangga besar itu sudah digilas oleh rezim yang berkuasa saat itu. Sebagian orang menganggap bahwa Widji Tukul tidak mati dan tidak pernah hilang di hati para penggemarnya karena lembaran-lembaran sejarah yang telah ia torehkan untuk Indonesia dan karyanya yang mampu mengguncang Nusantara.
Bukan hanya Widji Tukul, akhir-akhir ini semakin marak karya sastra yang mengkritik pemerintah sekaligus solusinya, terutama yang korupsi. Emha Ainun Nadjib mengkritik masyarakat yang sangat konsumtif, tentu saja hal itu memicu tindakan korupsi, secara tersirat. Ia menceritakan seorang yang sederhana, rumah yang sederhana pula mempunyai beberapa motor dan mobil mewah. Padahal, dalam satu keluarga hanya ada Si Tuan rumah dan istrinya. Penulis hanyalah orang yang kurang tahu menahu mengenai sastra, yang pesannya tersirat itu. Akan tetapi, itulah sebatas pemahaman penulis.
Gerakan yang lebih terorganisir dalam rangka melawan korupsi adalah Forum Sastra Surakarta. Forum Sastra Surakarta yang berdiri di Jawa Tengah itu, sudah beberapa kali menerbitkan antologi puisi dalam rangka melawan Korupsi. Diantaranya adalah "Puisi Menolak Korupsi" yang ditulis oleh para penyair Indonesia, baik yang masih amatiran maupun penyair yang sudah kondang namanya, seperti, Tengsoe Djahyono, Acep Zam Zam Noor, M. Faizi, Bambang Eka Prasetya, Sosiawan Leak, A'yat Khalili, Muhammad Lefand dan lain-lainnya. Bahkan, terdapat pula antologi yang khusus ditulis oleh pelajar dengan judul "Pelajar Menggugat; Puisi Menolak Korupsi" dari berbagai sudut pandang, mereka mengungkapkan suara hatinya.
Ada antologi yang lebih khusus dari pada PMK (Puisi Menolak Korupsi), yaitu "Memo untuk Presiden" dan "Memo untuk Wakil Rakyat" yang sama-sama diterbitkan oleh Forum Sastra Surakarta. Sungguh besar peran sastrawan dalam melawan korupsi.
Sastra sebagai anak kandung kebudayaan memang mempunyai peran yang urgen dalam menolak korupsi, minimal menyebarkan virus kebencian terhadap korupsi dan kesadaran dalam melawan serta menolak korupsi.
Muliansyah Abdurrahman Ways mengatakan menjadi negara demokratis memang sulit, tetapi kalau praktek demokrasi berjalan secara ideal, maka negara atau bangsa Indonesia akan keluar dari yang namanya keterpurukan." Sedangkan Y.B. Mangunwijaya mengungkapkan bahwa "Negara yang maju hanyalah yang senantiasa mengusahakan minimumnya perasaan takut dan terkekang." Dari ungkapan di atas, semakin mengokohkan peran sastrawan dalam membangun bangsa dan menolak korupsi serta melawan korupsi, karena sastrawan biasanya hidupnya lebih bebas dari kekangan dan berperasaan daripada politikus.
Diakhir tulisan ini, perlu kiranya penulis kutip sebuah puisi yang bisa dijadikan bahan perenungan untuk membangun bangsa, gubahan Muhammad Lefand.

Tugasku Tugasmu Tugas Kita

Tugasmu tugasku tugas kita/ Sama-sama di lautan/ Sama-sama di hutan/ Sama-sama di daratan// Lautan sumber harapan/ Hutan benteng pertahanan/ Daratan tempat persemaian// Harapan hidup berkecukupan/ Pertahanan semua persediaan/ Persemaian keteladanan// Tugasku tugasmu tugas kita/ Mengukir harapan// Tugasmu tugasku tugas kita/ Menjaga pertahanan// Tugasku tugasmu tugas kita/ Membuat persemaian// Tugasku tugasmu tugas kita/ Mempelopori perubahan/ Perubahan dan perubahan// Jember, 160613

*Penulis adalah mahasiswa INSTIKA Guluk-guluk dan Aktif di Roemah Ilmoe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial