Aliran Muktazilah

BAB I: Pendahuluan


aliran muktazilah
aliran muktazilah

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kekacauan dan kesemrawutan yang terjadi menjelang akhir zaman Khulafaur Rasyidin, bangkitlah sekelompok ahli pikir yang berpendirian tegas dan bertekad menyelamatkan Islam dari kehancurannya. 

Untuk mengoreksi situasi yang menyedihkan itu, merek berusaha menggunakan akal dan asas-asas rasional. Kerenanya, mereka digelari sebagai ahli pikir pertama yang menggunakan pemikiran secara kritis dan sistematis (filosofis) dalam dunia Islam. Sebab, mereka dianggap golongan awal yang membahas agama dengan memakai teori-teori filsafat secara mendalam.

Berdasar perkembangannya, golongan ini yang kemudian dikenal dengan sebutan Muktazilah. Salah satu dari sekian banyak golongan theologi Islam

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah asal-usul kemunculan Muktazilah?
2. Bagaimanakah ajaran teologi Muktazilah?
3. Siapakah tokoh-tokoh Muktazilah?
4. Bagaimanakah kemunduran Muktazilah?

C. Tujuan Pembahasan
Seiring dengan masalah-masalah yang telah diuraikan oleh penulis, maka penulis makalah ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut:

1. Ingin mengetahui asal-usul kemunculan Muktazilah?
2. Ingin mengetahui ajaran teologi Muktazilah?
3. Ingin mengetahui Siapakah tokoh-tokoh Muktazilah
4. Ingin mengetahui kemunduran Muktazilah

Bab II
Pembahasan
Theologi Muktazilah

Asal-Usul Kemunculan Muktazilah
Secara harfiah kata Muktazilah berasal dari kata i'tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah Muktazilah menunjuk pada dua golongan.

Golongan pertama (selanjutnya disebut Muktazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu'awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.

Golongan kedua (selanjutnya disebut Muktazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji'ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji'ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Muktazilah II inilah yang akan disajikan dalam makalah ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi. Beberapa versi tentang pemberian nama Muktazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Atha' serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di Basrah. 

Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri masih berpikir, Wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan. "Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir." kemudian Wasil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan masjid. Di sana Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasal Al-Basri berkata, "Wasil menjauhkan diri dari kita (i'tazaala anna)." Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Muktazilah.

Ajaran-Ajaran Aliran Muktazilah
Beberapa persoalan mendapat tanggapan langsung oleh gerakan Muktazilah. Sebagai kelompok ahli pikir yang kemudian menjelma menjadi aliran dan memiliki corak pemikiran filsafat tersendiri, yang lahir dari latar belakang kekacauan dan kesemerawutan alam pikran Islam, maka Muktazilah tampil dengan merumuskan lima prinsip (Ushuulul Hamsah), lima ajaran dasar.

Al-Ushuulul Hamsah, sebagaimana dijelaskan oleh pemuka-pemuka Mu'tazilah sendiri, diberi urutan menurut pentingnya kedudukan tiap dasar sebagai berikut:

1. At-Tauhid
At-Tauhid (Pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu'tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Namun, bagi Mu'tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemaha esaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak ada satu pun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang qadim. Bila ada yang Qadim lebih dari satu, makatelah terjadi ta'addud al-qudama (berbilangan dzat yang tak berpermulaan).

Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), Mu'tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu'tazilah berpendapat Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan yang qadim, berarti ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifatnya. Washil bin Atha', seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan, "siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan." Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.

Apa yang disebut sebagai sifat menurut Mu'tazilah adalah dzat Tuhan itu sendiri. Abu Al-Hudzail berkata, "Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah Tuhan sendiri. Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan itu adalah Tuhan sendiri." Dengan demikian, pengetahuan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzatnya.

Mu'tazilah berpendapat bahwa Al-Qur'an itu baru (diciptakan); Al-Qur'an adalah manifestasi kalam Tuhan; Al-Qur'an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya. Agaknya beralasan bila para pendiri Madzhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adli wa at-tauhid (pengikut paham keadilan dan keesaan Tuhan). Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu'tazilah memberi takwil tehadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan. Mereka memalingkan arti kata-kata tersebut pada arti lain sehingga hilanggah kejisiman Tuhan. Tentu saja, pemindahan arti ini tidak dilakukan secara semena-mena, tetapi merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini. Misalnya, kata-kata tangan (Q.S. Shad [38]: 75) diartika kekuasaan dan pada konteks yang lain tangan (Q.S. Al-Ma'idah [5]: 64) dapat diartikan nikmat. Kata wajah (Q.S. Ar-Rahmah [55]: 27) diartikan esensi dan dzat, sedangkan al-arsy (Q.S. Thaha [20]: 5) diartikan kekuasaan.

Oleh karena itu, Prof. Dr. Sunardji Dahri Tiam, mengklasifikasikan bahwa muktazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam dua bagian:

Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan yang disebut sifat dzatiyah; seperti sifat wujud, qidam, hayat dan qudrah; Sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan yang disebut fi'liyah; seperti iradah, kalam, 'adli dan lain sebagainya.

2. Al-'Adli
Ajaran dasar Mu'tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (ash-shalah) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janji-Nya. Dengan demikian, Tuhan terikat dengan janjinya.
Ajaran Tentang Keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain berikut ini.

a. Perbuatan Manusia
Manusia menurut Mu'tazilah, elakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kuasa Tuhan, baik secara langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatnnya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik dan apa yang dilarang-Nya tentulah buruk. Tuhan berlepas diri dari perbuatan yang buruk. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu, apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia.

b. Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah Arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shalah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil. Dengan sendirinya Tuhan tidak Maha Sempurna. Bahkan menurut An-Nazzam, salah satu tokoh Mu'tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat.

c. Mengutus Rasul
Megutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini.
Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali mengutus rasul kepada mereka.
Al-Qur'an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S. Asy-Syu'ara [26]:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.
Tujuan diciptaknnya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain, selain mengutus rasul.

3. Al-Wa'd wa al-Wa'id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-Wa'd wa al-Wa'id berarti janji dan ancaman. Tuhan Maha Adil dan Maha Bijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yag berbuat bertobat nasuha pasti benar adanya.
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang berbuat maksiat, kecuali sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali ia tobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang masuk dosa besar, sedangkan dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan dosa.

4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik. Izutsu, dengan mengutip Ibn Hazm, menguraikan pandangan Mu'tazilah sebagai berikut, "Orang yang melakukan dosa besar disebut fasik. Ia bukan mukmin bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit). Mengontari pendapat tersebut, Izutsu menjelaskan bahwa sikap Mu'tazilah adalh membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mukmin pelaku dosa besar dan dihalalkannya binatang sembelihannya.

Menurut pandangan Mu'tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan, rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya saja kalau meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasik pun dimasukkan ke neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan daripada orang kafir.

5. Al-Amr bi Al-Ma'ruf wa An-Nahy 'anil Mungkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemunkaran (Al-Amr bi Al-Ma'ruf wa An-Nahy an Mungkar). Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma'ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh seorang tokohnya, Abd. Al-Jabbar, yaitu berikut ini.
Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma'ruf dan yang dilarang itu memang munkar.
Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.

Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma'ruf atau nahi munkar tidak akan membawa mudarat yang lebih besar.

Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.

Perbedaan mazhab Mu'tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu'tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut, sejarah pun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.

Secara ringkas, Dr. H. M. Afif Hasan, menulis tentang i'tikad Aliran Muktazilah:
  • -Baik buruk ditentukan oleh akal manusia
  • -Qur'an dan Hadis dibawah akal
  • -Qur'an adalah makhluk sama dengan makhluk lain
  • -Tuhan tidak bisa dan tidak boleh dilihat disurga
  • -Mi'raj Nabi dengan tubuh dan ruh tidak masuk akal, Mi'raj hanya mimpi Pekerjaan manusia dibuat oleh manusia
  • -Arsy dan kursi tidak ada
  • -Malaikat Kiraman Katibin tidak ada
  • -Surga dan Neraka tidak kekal
  • -Instrumen akhirat seperti Mizan, Hisab, Syafa'at, al-Shirath al-Mustaqim, telaga al-Kaustar, siksa kubur, tidak ada Tuhan wajib membuat yang baik dan yang lebih baik
  • -Tuhan tidak mempunyai sifat
  • -Tidak ada mukjizat Nabi Muhammad Saw. selain al-Qur'an
  • -Karamah itu tidak ada
  • -Lancang mencaci maki sahabat Nabi yang berbuat salah
  • -Orang mukmin yang wafat dalam berbuat dosa besar, bukan kafir, kekal dalam neraka -Ada tempat lain diantara surga-neraka, yaitu "al-manzilah bayn al-Manzilatayn" surga dan neraka belum tersedia dari sekarang.


Tokoh-Tokoh Mu'tazilah

Tokoh-tokoh Mu'tazilah banyak sekali. Tetapi sebagian saja yang disebutkan, yaitu yang nampak jelas peranannya dalam perkembangan aliran Mu'tazilah, baik berupa pikiran maupun usaha lainnya.

Wasil bin Atha' al-Gazzal (80-131 H/699 M)
Ia adalah pendiri aliran Mu'tazilah dan yang meletakkan ajaran-ajaran yang lima yang mendasar semua golongan Mu'tazilah. Kebanyakan pendapat-pendapatnya belum matang.

Abul al-Huzail al-Allaf (135-226 H/ 753-840 M)
Ia menjadi pemimpin aliran Mu'tazilah Basrah. Ia mempelajari buku-buku Yunani dan banyak terpengaruh dengan buku-buku itu. Karena dialah aliran Muktazilah mengalami kepesatan.
Pendapat-pendapatnya antara lain:
Tentang arad; Dinamakan arad bukan karena mendatang pada benda-benda, karena banyak arad yang terdapat bukan pada benda, seperti waktu, abadi dan hancur. Ada arad yang abadi dan ada arad yang tidak abadi.
Menetapkan adanya bagian-bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (atom).
Gerak dan diam; Benda yang banyak bagian-bagiannya bisa bergerak dengan satu bagian yang bergerak. Menurut mutakallimin, hanya bagian itu sendiri yang bergerak.
Hakikat manusia; hakikatnya adalah badannya, bukan jiwanya (nafs atau ruh)
Gerak penghuni Surga dan Neraka. Gerak-gerik mereka akan berakhir dan menjadi ketenanga (diam). Di dalam ketenangan ini terkumpul semua kesenangan dan siksaan.
Qadar (kadar): manusia bisa mengadakan perbuatan-perbuatannya di dunia, akan tetapi kalau sudah berada di akhirat tidak berkuasa lagi.
Kabar tentang sesuatu yang dapat dicapai pancaindra hanya bisa diterima apabila diberitakan oleh 20 orang sekurang-kurangnya, seorang di antaranya dari ahli surga (maksudnya golongan Muktazilah)
Menurut Abu al-Huzail akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan dan untuk mengetahui kewajiban berterima kasih kepada-Nya. Juga akal cukup kuat untuk mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk atau jahat dan untuk mengetahui kewajiban meninggalakan perbuatan-perbuatan jahat dan kewajiban mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Selanjutnya ia membawa paham al-salah wa al-aslah, yaitu Tuhan mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik untuk maslahat manusia.

Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam (wafat 231 H/ 845 M)
Ia adalah murid Abul Huzail al-Allaf, orang terkemuka, lancar bicara, banyak mendalami filsafat dan banyak karangannya. Ketika kecilnya, ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan Islam, dan sesudah dewasa banyak berhubungan dengan filosof-filosof masanya. Beberapa pendapatnya berlainan dengan orang-orang Muktazilah lainnya.
Pendapat-pendapatnya antara lain:
Tentang benda (jisim): Selain gerak, semua yang ada disebut jisim, termasuk warna, bau dan sebagainya.
Tidak mengakui adanya bagian yang tidak dapat dibagi-bagi. Ia mengatakan bahwa sesuatu bagian bagaimana pun kecilnya dapat dibagi-bagi (Boleh jadi benar bisa dibagi dalam pikiran)
Teori lompatan (tafrah)
Tidak ada "diam" (inrest). "Diam" hanyalah istilah bahasa, pada hakikat semua yang ada bergerak (bandingkan dengan Heraklikus)
Hakikat manusia; hakikatnya adalah jiwanya, bukan badannyam seperti pendapat Allaf. Badan hanyalah alat saja. Juga ia mengatakan bahwa badan itu adalah penjara jiwa, kalau lepas dari badan akan kembali ke alamnya (bandingkan dengan pendapat Plotinus)
Berkumpul kontradiksi dalam suatu tempat, menunjukan adanya Tuhan.
Teori sembunyi (kumun): Semua makhluk dijadikan Tuhan sekaligus dalam waktu yang sama. Karena itu sebenarnya Nabi Adam tidak lebih dahulu daripada anak-anak, demikian pula dengan seorang ibu tidak lebih dahulu dari anknya. Lebih dahulu atau kemudian hanyalah dalam lahir ke dunia saja, bukan dalam asal kejadiannya.
Berita yang benar ialah yang diriwayatkan oleh imam maksum.
I'jaz Qur'an (daya pelemah) terletak dalam pemberitaan hal-hal yang gaib.

Muammar bin Abbad as-Sulamy (wafat 22m H/ 835 M)
Banyak terpengaruh oleh filosof-filosof, terutama tentang sifat-sifat Tuhan.

Bisyr bin al-Mu'tamir (wafat 226 H/ 840 M)
Pendaptnya antara lain, siapa yang tobat dari sesuatu dosa besar kemudian mengerjakan dosa besar lagi, ia akan menerima siksa yang pertama juga, sebab tobatnya diterima dengan syarat tidak mengulangi lagi. Dengan perkataan lain, siksanya akan berlipat ganda.

Jahiz Amr bin Bahr (wafat 255 H/ 868 M)
Ia terkenal tajam penanya, banyak karangannya dan gemar membaca buku-buku filsafat, terutama filsafat alam. Karangan-karangannya yang masih ada hanyalah yang bertalian dengan kesusastraan.

Kemunduran Aliran Muktazilah
Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan Muktazilah mencapai kepesatan dan kemegahannya, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena perbuatan mereka sendiri. Mereka hendak membela, memperjuangkan kebebasan berpikir akan tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka. Puncak tindakan mereka ialah ketika Al-Makmun menjadi khalifah di mana mereka dapat memaksakan pendapat dan keyakinan mereka pada golonga-golongan lain dengan menggunakan kekuasaan Al-Makmun, yang mengakibatkan timbulnya "Peristiwa Quran" yang memecah kaum muslimin menjadi dua blok, yaitu blok yang menuju kekuatan akal pikiran dan menundukkan agama kepada ketentuannya dan blok lain yang berpegang teguh kepada bunyi nas-nas Al-Qur'an dan Hadis semata-mata dan menganggap tiap-tiap yang baru sebagai bid'ah dan kafir.
Akan tetapi persengketaan tersebut dapat dibatasi, dengan tindakan Al-Mutawakkil, lawan golongan Muktazilah, untuk mengembalikan kekuasaan golongan yang mempercayai keazalian Qur'an. Sejak saat tersebut golongan Muktazilah mengalami tekanan berat, sedang sebelumnya menjadi pihak yang menekan. Kitab-kitab mereka dibakar dan kekuatannya dicerai-beraikan sehingga kemudian tidak lagi ada aliran Muktazilah sebagai suatu golongan, terutama sesudah Al-Asy'ari dapat mengalahkan mereka dalam bidang pemikiran.
Setelah kasus mihnah, aliran Muktazilah dibatalkan sebagai mazhab resmi negara oleh al-Mutawakkil, yang kemudian berpihak pada ulama yang mengalami penindasan karena mihnah, terutama Ahmad bin Hambal. Setealah itu Muktazilah oleh orang Muktazilah sendiri yang kemudian membentuk aliran Ahlu Sunnah wal Jama'ah, yaitu Abu al-Hasan 'Ali bin Isma'il bin Abi Basyar Ishak bin Salim bin Isma'il bin Abd Allah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amr bin Abi Musa al-Asy'ari−selanjutnya ditulis al-Asy'ari.


BAB III
Penutup
Kesimpulan

Kemunculan aliran Muktazilah tidak terlepas dari peristiwa Washil bin Atha' di sebuah majelis dengan Hasan Al-Basri, yang menyatakan bahwa ada tempat diantara Surga dan Neraka yaitu Manzilah bainal Manzilataini.
Ajaran-ajaran dasar Muktazilah ada lima: At-Tauhid (keesaan Tuhan), Al-Adl (Keadilan Tuhan), Al-Wa'd wa Al-Waid (Janji dan Ancaman), Posisi diantara dua tempat (al-Manzilah bain al-Manzilataini), al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (Amar makruf nahy munkar).
Tokoh-tokoh Muktazilah sangat banyak, diantaranya: Washil bin Atha' al-Gazzal, Abul al-Huzail al-Allaf, Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam, Muammar bin Abbad as-Sulamy, Bisyr bin al-Mu'tamir, Jahiz Amr bin Bahr.
Kemunduran Aliran Muktazilah bermula sejak pemaksaan paham mereka pada masa Al-Makmun dan mengalami kehancurannya pada masa Al-Mutawakkil.






Daftar Pustaka

Hakim, Atang Abd.. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2008. Hanafi, Ahmad. Teologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 2010.
Tiam, Sunardji Dahri. Historiografi Filsafat Islam. Malang: Intrans. 2014.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Senja. 2007.
Hasan, HM Afif. Membongkar akar sekularisme. Malang: Pustaka Bayan. 2008.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press. 1979

















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial