Islam Nusantara Memandang Kehidupan Perempuan

Oleh : Moh. Tamimi

Bagi orang yang tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara menganggap bahwa kata itu meng-kotak-kotak-an Islam karena nanti akan muncul/dimunculkan Islam Amerika, Islam Eropa, Islam Arab, Islam Cina dan lain-lain. Padahal, makna dalam frase tersebut, tersimpan nilai-nilai luhur Islam itu sendiri. Tentu melebihi dari sekadar kata-kata.

Dalam ilmu nahwu, "Islam Nusantara" merupakan susunan mudlaf dan mudlaf ilaih, dua kata benda yang digabung dan di antara dua kata itu mengandung harf jir, yaitu, min (di) fi (di, di dalam) li (untuk). Terlepas frase itu diartikan "Islam di Nusantara" atau sebagainya, namun yang pasti, Islam Nusantara adalah Islam yang moderat, yang menganut paham Aswaja (Ahlus-s-Sunnah wa-l-jama-ah).

Menurut Ahmad Baso, dalam bukunya Islam Nusantara, sebuah negeri mempunyai produk unggulannya sendiri. Hal itu disandarkan pada perkataan Imam Syafi'i yang mengatakan, "Suatu negeri mempunyai ilmunya sendiri yang diikuti oleh penduduknya." Imam Syafi'i sendiri, dalam ilmu fiqih, mempunyai dua ketetapan: sebutan qaul qadim (ketetapan lama) dan qaul jadid (ketetapan baru) yang salah satu latar belakangnya adalah sebelum dan sesudah hijrah dari tanah kelahirannya.

Imam Syafi' saja mempunyai ketentuan demikian dikarenakan situasi dan kondisi yang berbeda, maka tidak menutup kemungkinan ulama Nusantara juga mempunyai ketentuan sendiri dalam berijtihad karena situasi dan kondisi yang berbeda. Apabila demikian, apa alasan mereka menolak Islam Nusantara yang penuh keluhuran ini?

Tidak adil rasanya, jika tidak memaparkan sejarah timbulnya Islam Nusantara dalam tulisan ini. Istilah Islam Nusantara sebenarnya sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Dahulu, Istilah Nusantara lebih dikenal dengan sebutan "al-Jawi". Secara harfiah al-Jawi berarti bangsa Jawa. Akan tetapi, al-Jawi di sini lebih luas cakupannya dari sekedar pulau Jawa. Al-Jawi yang dimaksud mencakup seluruh wilayah Nusantara, kira-kira hampir se-Asia Tenggara sekarang ini.

Ulama Nusantara sudah sangat familiar sejak dulu, di dalam maupun di luar negeri. Terutama di pusat Islam pada waktu itu, Mekkah. Bahkan, ulama Nusantara yang berada di Mekkah juga mendirikan madrasah sendiri secara mandiri, karena sebelumnya dicaci-maki oleh orang pribumi Mekkah, yang diperuntukkan kepada para murid-murid dari Nusantara. Walaupun pada akhirnya, bukan hanya orang Nusantara yang menuntut ilmu di lembaga pendidikan tersebut, melainkan dari berbagai bangsa lain.

Kepiawaian ulama Nusantara pada jaman dahulu bukan sekedar kabar angin. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya manuskrip karya Ulama Nusantara. Manuskrip tersebut dapat ditelusuri di Perpustakaan Manuskrip di Kairo yang menyimpan lebih dari 150 manuskrip. (Data ini menurut laporan A. Ginanjar Sya'ban dalam seminar nasional "Pesantren dan Jaringan Intelektual (Nusantara-Timur Tengah-Eropa) pada 19 Maret 2016 di Aula Mini Instika, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura).

Secara harfiah, Nusantara diambil dari kata "Nusa" yang berarti Pulau dan "Antara" yang berarti lain/luar. Sabagaimana diikrarkan Gajah Mada dalam Sumpah Palapanya:

"Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada, 'Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.'"

"Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, 'Jika telah mengalahkan pulau-pulau lain, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa'".

Hanya saja, Gajah Mada menggunakan ekspansi militer untuk menaklukkan wilayah Nusantara. Sehingga, pasca kepergian Gajah Mada, wilayah Nusantara kembali tercerai berai. Biasanya, wilayah yang dikuasai menggunakan ekspansi militer, tidak akan bertahan lama.

Berbeda dengan Nusantara versi ekspansi militer Gajah Mada, Islam masuk ke wilayah Nusantara tidak menggunakan kekerasan ataupun peperangan. Melainkan dengan cara mengakulturasi budaya setempat. Sehingga, wilayah Nusantara yang waktu itu beragama Hindu-Buddha tulen beralih ke agama Islam dengan damai. Hampir mendekati seratus persen yang beralih memeluk agama Islam. Itupun, dihayati serta diamalkan dengan patuh oleh masyarakat Nusantara.

Kembali ke istilah Islam Nusantara di atas, istilah Islam Nusantara merupakan perkembangan dari berbagai istilah. Dahulu istilahnya al-Jawi. Sedangkan Gusdur, mengistilahkan "Pribumisasi Islam," dan terakhir ini adalah Islam Nusantara yang merupakan pengembangan dari Pribumisasi Islam ala Gusdur.

Menurut Gusdur, Islam harus bisa melebur dengan kebudayaan, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip Islam itu sendiri karena hukum agama tidak bisa lepas dari unsur budaya. Sebagaimana Wali Songo mengenalkan Islam lewat kesenian dan kebudayaan setempat. Sejauh yang saya ketahui, proses Islamisasi dengan cara kekerasan tidak akan pernah bertahan lamalama karena hanya "balas dendam" yang ada di dalam hati orang-orang yang ditaklukkan dengan cara kekerasan. Beda halnya dengan dakwah yang menggunakan kelembutan, yang terlihat hanya keluhuran, keluhuran agama itu sendiri. Apabila ada sebuah keluhuran menawarkan, dan terbukti, maka siapa yang akan  menolak! Kecuali orang-orang yang tidak berbudi luhur.

Nilai-nilai Islam, banyak yang tersimpan dalam kebudayaan-kebudayaan setempat, mungkin banyak dari kita tidak mengetahuinya sampai sekarang. Bahkan, dalam permainan anak kecil sekalipun. Dalam syair Lir-ilir terdapat syair yang artinya "ambilkan Belimbing itu", kita tahu bahwa Belimbing mempunyai lima sisi menonjol, bisa saja yang dimaksud Belimbing di sini adalah rukun Islam yang terdiri dari lima poin: membaca dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan haji ke Baitullah bagi orang yang mampu.

Salah satu tokoh Wali Songo, dalam cerita wayang, menyebut sebuah senjata yang sakti mandraguna, bernama Ki Jamus Kalimosodo. Barang siapa yang menggunakan senjata ini, ia tidak akan celaka dan akan selamat dunia-akhirat. Tahukah anda, senjata apa yang dimaksud Ki Jamus Kalimosodo itu? Setelah ditelusuri, ternyata yang dimaksud adalah dua kalimat syahadat.

Terlepas dari berbagai pandangan mengenai Islam Nusantara, entah itu adalah Islam yang ada si Nusantara atau Islam produk Nusantara atau sebagai ilmu Islam Nusantara atau bahkan disebut sebagai pengkotak-kotak Agama Islam itu sendiri, kita abaikan dulu. Alangkah lebih baiknya, kita menelusuri lebih jauh keluhuran ajaran Islam Nusantara ini. Supaya kebenaran yang satu tidak menutupi kebenaran yang lain. Dikarenakan keluhuran Islam Nusantara dapat terlihat dari berbagai aspek, maka pada tulisan ini saya akan menyusuri pandangan Islam Nusantara mengenai kehidupan perempuan. 

Supaya lebih jelas, saya akan membandingkan kehidupan perempuan Nusantara dengan kehidupan perempuan di Barat dan Timur Tengah. Saya pikir, secara kasat mata, tiga daerah ini memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Di Barat, kehidupan serba bebas: bebas berekspresi, bebas berpikir, bebas menggugat dan bahkan bebas berbusana tanpa ada yang mengusik. Sedangkan di Timur Tengah, kehidupan serba tertutup, terutama kehidupan perempuan yang kurang diberikan ruang bebas dan hak-haknya. Nah, sedangkan di Nusantara ini, kehidupan perempuan mempunyai keunikannya sendiri. Kehidupan yang benar-benar moderat tanpa paksaan. Bukan berarti tanpa paksaan itu bebas kontrol sebagaimana di Barat.

Kehidupan Perempuan Barat
Mungkin, banyak orang berpikir bahwa Barat adalah tanah surga. Sebagaimana selalu ditayangkan kepada mereka setiap hari di layar televisi lewat film-film barat yang memukau itu. Semua kemegahan dunia tersedia; teknologi mesin serba canggih, kehidupan serba mudah, pekerjaan langsung beres hanya dengan sekali pencet. Orang yang berpikir demikian tidaklah salah karena demikianlah adanya. Akan tetapi, apakah mereka tidak melihat bagaimana mereka berlaga dan para bintang filmnya berbusana! Terutama perempuannya.

Barat memang terkenal bangsa yang bebas, berperadaban, maju, selalu berpikiran logis, dan semacamnya itu. Namun, tidak dapat dinafikan bahwa mereka dalam menyuarakan kebebasan sering kali kebablasan dan tidak tahu ke mana arah selanjutnya melangkah. Sebenarnya, menurut saya, kebebasan mereka yang diagung-agungkan itu adalah keterkekangan. Bagaimana tidak, karena alasan kebebasan, mereka dilarang menggunakan pernak-pernik agama di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan pemerintah, di sekolah, di kantor-kantor negeri, di rumah sakit, dan di tempat-tempat resmi pemerintah lainnya.

Wajar saja, mereka merasa masih ingin benar-benar bebas. Sebut saja gerakan yang berhubungan dengan perempuan, Feminisme. Para pejuang perempuan itu tak henti-hentinya menyuarakan peran keperempuanannya dengan menempatkan laki-laki sebagai musuh—mungkin mereka sudah kehilangan naluri keperempuanannya. Kaum feminis menganggap diri mereka berhasil apabila para perempuan menempati post-post tinggi pemerintahan, mampu menyaingi laki-laki dalam berkarir—bahkan mungkin mereka menginginkan menggulingkan laki-laki dari dominan post pemerintahan.

Di satu sisi, mereka ada baiknya juga karena berpandangan bahwa perempuan harus berpendidikan, berkuasa atas diri sendiri, menjadi perempuan bermutu. Namun, ditinjau dari sejarahnya, tekanan kerajaan dan gereja membuat mereka membuat, para perempuan, tidak bergerak bebas pada eranya dahulu. Ketika Olympe de Guges meneriakkan kesetaraan terhadapat perempuan, ia pun harus mengorbankan dirinya sendiri di tiang gantungan. Kalau sekarang sudah berbeda dengan jaman kekuasan dominan gereja. Sekarang sudah bebas bertelanjang dan dilarang berbaju tertutup (berhijab) dengan alasan kebebasan.

Tidak dinafikan pula bahwa akar berpikir kaum feminis juga sangat mengerikan. Mereka berpandangan bahwa patriarki adalah musuh, perempuan terjajah karena dua hal: menikah dan menjadi ibu. Perempuan harus bebas atas dirinya sendiri. Kalau kaum feminis liberal, lebih teragis lagi, mereka benar-benar memusuhi laki-laki sehingga tidak mau berhubungan dengan laki-laki. Oleh karena itu, diantara mereka, perilaku lesbian semakin mewabah.

Apabila kaum feminis sudah memusuhi laki-laki dengan segala fitrahnya, maka bagaimana peradaban manusia akan bertahan. Laki-laki dan perempuan adalah fitrah sebagai makhluk hidup yang saling membutuhkan satu sama lain demi keabadian populasi manusia sampai akhir jaman. Jika naluri seks mereka hanya dituntaskan antar sesama jenis, maka tidak menutup kemungkinan bahwa manusia sebagai makhluk hidup akan mengalami kelangkaan atau bahkan punah, sebagaimana hewan langka pada jaman ini, pada jamannya nanti.

Baiklah, sekarang ada bayi tabung, namun, bukankah bayi tabung masih membutuhkan sperma laki-laki? Mereka berpandangan bahwa akar keterjajahan perempuan adalah menikah atau menjadi ibu dan melahirkan. Keduanya itu membuat kebebasan mereka terkekang karena terikat oleh suami dan anak. Apakah tidak kacau pemikiran mereka itu. Kebebasan yang lepas landas. Kebebasan tidak ingin mengakui dirinya sendiri bahwa mereka adalah perempuan. Padahal, di satu sisi mereka berpendapat bahwa mereka harus bebas terhadap dirinya sendiri.

Sebagaimana saya sebut di atas, kaum feminis ingin berkuasa terhadap dirinya sendiri. Saya kurang begitu mengerti dengan apa yang mereka inginkan ini. Kekuasaan atas diri sendiri. Baiklah. Saya setuju dengan mereka kalau mereka menginginkan kekuasaan atas diri mereka sendiri, tetapi jika yang mereka maksud adalah mereka harus berkuasa atas dirinya sendiri supaya menjadi pribadi terdidik, bebas dari keterjajahan kebodohan, bebas dari siksaan orang lain yang menganiaya mereka. Namun, sedikit gila rasaya, tentu yang ini saya tidak setuju, jika yang mereka maksud sebagai berkuasa atas diri sendiri adalah mereka tidak mau dikuasai laki-laki (menikah) dan status-status terikat lainnya yang mereka anggap sebagai akar keterjajahan perempuan.

Bagi saya, kaum feminis, mereka menutupi kebenaran dengan kebenaran yang lain. Supaya lebih mudah, saya ilustrasikan begini saja: saya mengambil hp saya dan meletakkan di depan mata anda secara dekat. Ketika saya bertanya kepada anda, apa yang ada di depan anda? Anda mungkin akan menjawab bahwa yang ada di depan anda adalah hp. Padahal, di depan anda, sejatinya, masih banyak benda-benda lain yang ukurannya jauh lebih besar daripada hp, termasuk saya.

Begitulah kebenaran kebebasan yang mereka kampanyekan itu, mereka hanya melihat hp di depan mata mereka yang menutupi benda-benda besar di balik hp itu. Begitulah menutupi kebenaran dengan kebenaran yang lain yang saya maksud. Walaupun, bagi saya, mereka tidak benar. Ya, minimal benar menurut mereka. Terkadang, mereka bingung dengan apa yang mereka perjuangkan sendiri. Saya jadi ingin bertanya, apakah kalau mereka sudah menduduki post-post strategis pemerintahan, memusuhi laki-laki dan berkuasa atas diri mereka sendiri, meraka benar-benar akan membuat masyarakat makmur dan sejahtera? Kalau hanya keegoisan yang mereka pelihara, kenapa tidak dibuang saja jauh-jauh persepsi mereka itu!

Cukuplah mereka mengerjakan tugas mereka sebagaimana fitrah mereka sebagai perempuan. Saya sadar, tindakan mereka berawal dari ketertekanan posisi perempuan dibawah otoritas gereja dan kerajaan, perilaku diskriminasi terhadap mereka. Seharusnya, sudah selayaknya, perempuan diperlakukan dengan sebaik mungkin, mendapat hak-haknya sebagai perempuan tanpa harus meninggalkan kewajiban mereka sebagai perempuan.

Pada akhirnya, menurut Achol Firdaus, feminisme hanya akan kalah pada kapitalisme. Gemerlapnya dunia yang ditawarkan oleh kapitalisme akan meruntuhkan proyek feminisme. Itu karena terdapat kesamaan akar berpikir. Kasarnya, adik kandung tidak dapat tidak akan menang melawan sang kakak.

Demikian sekilas potret kehidupan perempuan Barat yang saya ketahui. Apa saja yang saya paparkan di sini, bisa jadi tidak sama dengan apa yang terjadi pada realitasnya. Selain saya tidak pernah menjadi saksi mata, juga karena terkadang media membesar-besarkan atau malah sebaliknya.

Kehidupan Perempuan Timur Tengah
Mari beralih ke Timur Tengah, Timur Tengah tentu beda lagi dengan Barat. Kebebasan dan hak-hak perempuan di Timur Tengah benar-benar dikebiri. Para perempuan dikekang dengan alasan perintah agama. Perempuan tak ubahnya hanya sekadar tempat pelampiasan nafsu laki-laki. Di sana, serba tertutup, diskriminasi terhadap perempuan sangat nampak. Perlakuan tidak adil itu memang harus segera dihilangkan.

Pemerintah seakan-akan mengontrol semua tingkah laku para perempuan sampai urusan baju sekalipun. Di Iran misalnya, penggunaan cadar menjadi salah satu cerminan terhadap kekerasan dan perilaku diskriminatif terhadap perempuan. Bukan karena cadarnya, tetapi karena pemaksaannya. Penggunaan cadar merupakan suatu kewajiban yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap perempuan. Apabila seorang perempuan tidak menggunakan cadar dengan baik dan benar, maka mereka akan mendapat sangsi hukuman berat dari pemerintah. Sedangkan di Algeria, lebih ekstrim lagi, perempuan diberi dua pilihan: memakai cadar atau mati. Kalau di Sudan, beda lagi, sekitar tahun 1989, cadar merupakan salah satu tindakan pertama yang dilakukan pemerintah untuk dijadikan undang-undang negara. Para perempuan karir dipersoalkan dan diusik. (Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, 2006: 22)

Menurut Rousseau, demi mejaga moralitas kehidupan perempuan dan menjaga mereka dari sifat-sifat tercela seperti kemalasan, sejak awal mereka harus dikekang dengan ketat dan terus menerus sepanjang hidup mereka supaya para perempuan di tempat itu siap untuk tunduk pada kehendak orang lain.

Pemerintah negara-negara Timur Tengah selalu memaksakan ketundukan Islami terhadap para rakyatnya, terutama mengenai perempuan. Hidup-mati seorang perempuan seolah sudah diatur oleh pemerintah. Sulit dibedakan, disana, dimana hak pribadi dan dimana hak umum mereka. Bayangkan saja, perempuan, di Arab Saudi, menyetir mobil saja tidak diperbolehkan. Kalau boleh saya katakan, apa urusan pemerintah mengatur semua gerak-gerik setiap individu. Toh, urusan negara secara nasional saja masih belum kelar-kelar. Kehidupan yang masih jauh dari kata damai karena masih sering terjadi perang dimana-mana.

Hasan Al-Banna mengatakan bahwa tempat perempuan adalah di rumah. Peranan utama meraka adalah sebagai ibu, isteri, dan penjaga rumah. Pembaharuan sosial antara perempuan dan laki-laki dilarang. 

Pandangan Al-Mawdudi tidak jauh berbeda dengan Hasan Al-Banna tentang perempuan. Al-Mawdudi mengatakan bahwa untuk menjaga kesucian perempuan, perempuan harus ditempatkan di rumah dan memakai cadar.

Lebih jauh dari itu, di Teheran, Iran, kepala polisi menetapkan bahwa perempuan dilarang tersenyum terhadap laki-laki asing, sebab senyuman seorang perempuan mungkin dapat membangkitkan nafsu jahat. Kehidupan apa yang tidak diatur di Timur Tengah. Sedetil mungkin, kehidupan selalu diatur oleh pemerintah. Coba pikir, senyum pun "dilarang." Pengennya apa, perempuan tidak boleh bergerak? Toh, mereka juga sama-sama manusia hidup yang mempunyai naluri. Lagi pula, menutup badan dengan begitu ketat (apalagi bukan karena kesadaran diri) belum tentu dapat mengendalikan nafsu seks seorang laki-laki. Bahkan, bisa jadi, keadaan perempuan yang begitu ketat itu, semakin membuat laki-laki penasaran terhadap apa yang ada di balik cadar.

Kepatuhan islami yang berlangsung di Timur Tengah, kasarnya, tidak dilakukan atas kesadaran diri, melainkan karena paksaan penguasa. Apabila hanya karena paksaan, maka apakah itu akan menjamin masuk surga? Ibarat pompa air, air dalam selang akan semakin deras mengalir, jika lubang pengeluaran semakin diperkecil dari biasanya. Bisa jadi, kekerasan seksual yang terjadi di Timur Tengah karena kaberadaan perempuan yang seperti itu: serba ketat. Sebagaimana kasus yang terjadi pada tahun 1997, dua kasus kekerasan seksual dan pembunuhan mengguncang Teheran. Dalam kasus yang pertama, sembilan remaja putri telah dibunuh setelah terlebih dahulu diperkosa. (Iran Farda, No. 36, 1997:5 dalam Haideh Moghissi). Dalam kasus  kedua, seorang remaja telah memperkosa tiga puluh remaja putri dengan cara mendekapnya di sebuah salon yang mereka dirikan untuk tujuan tersebut. (Iran Star, 7 Desember 1997:24). Itu kasus yang terungkap, belum lagi yang tidak terungkap.

Semua kepatuhan yang berlangsung di Timur Tengah, sebagaimana sudah saya sering katakan di atas, seringkali hanya karena paksaan dari pemerintah. Apabila sudah diperintahkan untuk melepas cadar, maka sejak itu pula cadar tidak boleh dikenakan, semua dipukul rata, tanpa terkecuali.

Sebagaimana terjadi di Iran di bawah pemerintahan Reza Shah dan putranya yang membenarkan kewajiban melepas cadar. Sehingga, ini menjadi perdebatan sengit selama abad 19. Siapa yang menentang, tunggulah sangsi yang akan menjerat. Pada musim panas 1993, Bahareh Vejdani, seorang remaja putri, ditembak oleh polisi salam sebuah kamar telepon karena menentang aturan hijab Iran.

Apa yang saya paparkan dalam tulisan ini, sama halnya dengan di atas, hanya berdasarkan bahan bacaan saya yang mungkin saja keadaan itu telah berubah dari apa yang saya paparkan. Bisa saja, kasus-kasus yang terjadi itu sengaja dibesar-besarkan atau disembunyikan. Untuk lebih lengkapnya mengenai kehidupan perempuan di Timur Tengah, silahkan baca: Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, terj. M. Maufur, Yogyakarta, LKiS, 2004.

Kehidupan Perempuan Nusantara
Berbeda dengan di Barat, berbeda pula dengan di Timur Tengah. Kehidupan perempuan Nusantara mempunyai keunikannya sendiri. Di Nusantara, tidak ada pengekangan kehidupan pribadi sebagaimana terjadi di Timur Tengah dan tidak pula terlalu bebas sebagaimana terjadi di Barat yang kebablasan itu.

Perempuan di Nusantara ini boleh menentukan kehendaknya sendiri dengan tetap adanya kontrol dari masyarakat sekitar bukan dari pemerintah. Di Nusantara, perempuan benar-benar dimuliakan. Perempuan secara personal,  tidak diintervensi oleh kekuasaan. Bertindak atas kesadaran sendiri. Tidak menutup mata pula, pada akhir-akhir ini juga ada yang mengintervensi kehidupan perempuan yang timbul dari ormas-ormas Islam, sekawanan revivalis-fundamentalis.

Abbas Mahmud al-Aqqad, dalam berbicara tentang perempuan, dalam kitabnya al-Mar'ah fi-l-Qur'an yang merujuk pada kitab Marah Labid karya Syekh Nawawi al-Jawi (ulama Nusantara) mengemukakan: maksud ayat al-Qur'an "Pisahkanlah mereka dalam tempat tidur, dan jangan biarkan mereka masuk ke dalam selimutmu, jika kamu tidak mengetahui adanya ketidak taatan pada mereka, ini dilakukan kalau nasehat tidak lagi berguna bagi mereka."

Sedangkan arti "pukullah mereka," maksudnya, kalau hukuman berjarak kasur sebagaimana disebut di atas sudah tidak mampu atau tidak membuat jera, maka pukullah mereka. Akan tetapi, pukulan itu, pukulan yang tidak mencederai, tidak memukul wajah, tidak memukul hanya pada satu tempat serta harus menggunakan sapu tangan lembut sebagai alat pemukulnya. (Ahmad Baso, Islam Nusantara, 2015: 59-60).

Lihatlah argumen di atas, "menggunakan sapu tangan lembut", sapu tangan yang lembut dipukulkan tidak akan seberapa sakitnya. Coba anda bandingkan dengan pola pemukulan yang terjadi di Timur Tengah, saya pikir, yang lebih kepada menganiaya dan bukan untuk mendidik seorang perempuan, terlebih istri.

Di Indonesia, tugas rumah tangga, paling tidak, terdapat lima komponen aktifitas, yaitu: 1. Melayani Suami, 2. Mengasuh dan mendidik anak, 3. Membersihkan dan merapikan semua perlengkapan rumah tangga, 4. Menyajikan makanan, 5. Merawat kesehatan lahir batin bagi anggota keluarga.

Di Indonesia, perempuan selalu dimuliakan. Ya, dahulu R. A. Kartini juga memperjuangkan hak-hak perempuan, menuntut kesetaraan pendidikan bagi perempuan. Akan tetapi, apa yang diperjuangkan R. A. Kartini bukan untuk menyaingi laki-laki—beda dengan di Barat—, namun untuk mengemban tugas peradaban sebagai perempuan.

Tugas peradaban yang dimaksud Kartini adalah tugas perempuan yang sesuai dengan fitrah perempuan: menjadi istri, melahirkan dan menjadi ibu yang baik. Hal ini sesuai dengan Maqosidu-s-Syariah yaitu menjaga keturunan.

Hamka, dalam hal rumah tangga, mengilustrasikan rumah tangga sebagai berikut: "Saya misalkan rumah tangga itu 'kapal berlayar di lautan, sauh bersambung di buritan, tali temali berentangan, layar terkipas kiri dan kanan, yang seorang tegak di kemudi seorang tegak di haluan. Jika keduanya sama pandai, selamat sampai tujuan. Jika keduanya tidak bijak atau salah seorang tidak bestari, karam di tepi kapal itu, tidaklah sampai tujuan.'" (Hamka, Buya Hamka Bicara Tentang Perempuan, 2014: 52)

Dibutuhkan kerja sama dalam keluarga dan dibutuhkan kepandaian dari masing-masing orang sesuai tugas. Jika salah satu keluarga tidak pintar atau tidak berpendidikan, maka bagaimana kehidupan ini akan berlangsung dengan baik, terutama perempuan, sebagai tempat pertama dalam memberikan pendidikan terhadap para generasi baru, yaitu anak-anak mereka.

Imam Syafi'i dan Dzun Nun al-Misri mempunyai guru perempuan yang yaitu Sayyida Nafisa. Hal ini, mungkin jarang diketahui oleh orang banyak. Sayyida Nafisa-lah yang berada di balik kesuksesan para tokoh-tokoh yang kaliber itu. Jika perempuan mempunyai peran penting dalam mencetak generasi bangsa dan peradaban—bukan sekedar sebagai tempat pelampiasan nafsu laki-laki semata— maka, sudah sepantasnya perempuan berpendidikan tinggi. Bukan berarti, pundak laki-laki kuat memikul beban, perempuan juga harus kuat memikul beban yang sama dengan laki-laki.

Islam Nusantara, khususnya NU/warga nahdliyin, lebih mengedepankan dakwah daripada Islamisasi, sebagaimana dikatakan M. C. Riklefs dalam bukunya "Islamisasi Islam" (terjemahannya). Ada berbagai cara yang ada di Nusantara ini dalam memuliakan perempuan selain yang disebut di atas. Ada istilahnya "Ta'liq Talak". Ikrar yang diucapkan mempelai laki-laki sesudah melangsungkan akad nikah. Ta'liq Talak, meskipun istilah berbahasa Arab, tidak akan ditemukan di kamus Bahasa Arab karena Ta'liq Talak kamusnya ada di Nusantara yang merupakan ijtihad ulama Nusantara supaya pernikahan berlangsung semakin mantap dan si pihak perempuan tidak terkatung-katung nantinya jika ada masalah sesuai dengan yang diikrarkan.

Berikut teks Ta'liq Talak yang berlaku sampai saat ini:
"Sesudah akad nikah, saya...bin...berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami dan akan saya pergauli istri saya bernama...binti...dengan baik (mu'asyarah bil Ma'ruf) menurut ajaran syariat Islam. Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta'liq talak atas istri saya itu sebagai berikut:

Sewaktu-waktu saya:
1) Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut
2) atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya
3) atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya
4) atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya enam bulan lamanya.

Kemudian isteri saya itu tidak ridla dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang memberinya hak untuk mengurus pengadilan itu dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000 sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi, saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) pusat, untuk keperluan ibadah sosial." (Ahmad Baso, 2015: 137).

Perlakuan terhadap perempuan di Nusantara ini bukan hanya terlihat dalam ta'liq talak di atas. Perhatikanlah sekar Kuswarini di bawah ini:

Sampun katah | aniyasat luhur | |
Balik ng'egung'ena | |
Turasing wong | bangsa luhur | |
Yen turasing | bangsa andap | |
Nang'ing prayugi | kinanti | |
Den pratela | hing paneje | |
Ang'inggahaken | wad'yani | |

Janganlah perlakukan rakyat Tuan Raja dengan kejam
Tapi perilakukan dengan hormat
Keturunan dari keluarga terhormat;
Kepada keturunan dari keluarga yang lebih rendah
Juga harus diperlakukan dengan cara yang sama;
Berhati-hatilah jika kamu menyukai seseorang
Dan memuja dunia.
(Thomas Stanford Raffles, The Histori of Java, 2014: 287)

Syair sarat dengan nasehat, memperlakukan baik semua semua rakyat, baik kaya maupun miskin, laki-laki maupun perempuan. Persatuan dan perdamaian yang selalu ditekankan di Nusantara ini.

Bicara masalah kedamaian, saya teringat falsafah rampak naong,  rampak naong adalah falsafah masyarakat Madura pada khususnya dan Nusantara pada umumnya. Teks lengkap falsafah ini adalah "rampak naong, beringin korong" arti bebasnya kira-kira adalah "rindang dan teduh." Frase ini menegaskan bahwa orang Madura suka damai, demikian juga orang Nusantara lainnya. Pohon yang teduh, beringin, bisa dijadikan tempat berteduh bagi semua, siapapun yang menginginkan. Apabila negara sudah damai, maka mudah untuk melakukan dakwah Islam dan menciptakan peradaban baru yang benar-benar beradab.

Ada empat jenis hukum yang diikuti oleh masyarakat Nusantara: hukum Syara'. Hukum akal. Hukum Fa'al. Hukum Adat (Ahmad Baso, 2015: 127). Hukum syara' ialah hukum yang sudah absah dalil-dalilnya. Hukum akal adalah argumen atau penalaran umat manusia terhadap suatu masalah. Hukum fa'al adalah hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat (biasanya terkait masalah hubungan tuan dan budaknya). Sedangkan hukum adat adalah hukum kebiasaan yang mengikat dan menjadi yurisprudensi bagi para hakim dalam memutuskan perkara.

Oleh karena itu, keberadaan Nusantara menjadi sangat moderat karena kebudayaan mendapatkan perang penting dalam proses peribadatan Islam. Keluhuran ajaran Islam Nusantara dalam membangun peradaban dunia janganlah diragukan lagi, termasuk memperlakukan perempuan.

*Penulis adalah mahasiswa Institur Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial