Cerita Si Qais Menaklukkan Laila
Oleh: Moh. Tamimi
(edisi 1)
Qais selalu saja ditolak mentah-mentah oleh Laila. Tapi Qais tak patah arang, si Qais selalu saja mengungkapkan isi hatinya lewat puisi. Ya, puisi yang terpancar dari suara hati. Kegilaan Qais pada Laila hampir membuat Qais menjadi gila. Padahal, biasanya Laila yang gila, Laila Majnun, dalam cerita jaman dahulu. Qais masih belum mengerti harus dengan cara apa ia menaklukkan hati Laila. Laila tetap tegar dengan pendiriannya, sedangkan segala upaya telah dilakukan Qais. Puisi, cerpen, ungkapan lebay sekali pun sering ia tulis untuk menunjukkan ketulusan cintanya pada Laila. Hemm, cinta. Cinta itu memang bak setetes embun di musim gersang. Gersang dari kasih sayang, gersang dari kata sayang. Bukan gerah merangsang. Tapi itulah Qais, pemuda penuh semangat untuk memikat pujaan hatinya.
(edisi 2)
Mulai terasa oleh Qais bahwa usahanya selama ini sia-sia, tidak membuahkan hasil. Qais berusa mencari jalan lain, jalan lain untuk menaklukkan hati. Terbersit dalam pikiran Qais "mungkinkah aku harus mencari tempat pelarian untuk mengetahui perasaan Laila yang sesungguhnya padaku!" Pikiran itu semakin tergiang di benak Qais. Namun, terbersit pula dalam benaknya "apakah aku tidak egois jika berbuat seperti ini, mempermainkan perempuan". Hati nurani Qais terus bergemuruh. Dia merasa takut jika suatu saat nanti orang yang menjadi pelariannya sangat mencintainya dan merasa terpukul bila harus kehilangan seorang Qais. Qais juga merasa jika cintanya kepada Laila dianggap tidak serius kerena cepat pindah kelain hati.
"Tapi aku harus bagaimana?" Kata Qais dalam benaknya.
(edisi 3)
Hidup memang penuh pilihan, begitu pula dengan Qais. Keadaan memaksa Qais untuk memilih tindakannya. Antara keegoisan dan hati nurani, dengan segala kebingungannya, Qais memutuskan untuk mencari pelarian. Memang ada seorang wanita yang sedikit mengagumkan di mata Qais, walaupun tidak sampai pada taraf cinta, Lila namanya, Lila seumuran juga dengan Qais, kelasnya di sekolah juga sama. Wajah kalem Lila seolah menghilangkan segala resah dalam benaknya walaupun wajah Laila tak mampu menghilang sepenuhnya. Qais berhasil meluluhkan hati Lila, Lila memang tak sekuat Laila dalam menghadapi rayuan laki-laki. Lila cepat luluh jika selalu disanjung dan dipuji, layaknya perempuan kebanyakan yang suka disanjung dan dipuji. Hanya saja, Lila sifatnya begitu halus, penyayang, lembut dan keibuan, Qais sempat terlena dengan sifat Lila yang begitu menenangkan hati.
(edisi 4)
Hari demi hari cinta tak berdasar itu terus terjalin. Hubungan Qais dan Lila seolah didasari cinta, sepengetahuan Lila, Qais begitu mencintainya. Perlakuan Qais ke Lila nampak tulus dari hati terdalam, Lila semakin terlena dengan perlakuan Qais. Dia tidak tahu dan tidak sadar bahwa hatinya hanyalah sebuah permainan, hanya sebuah umpan yang digunakan Qais untuk mengetahui perasaan Laila kepada Qais yang sesungguhnya. Begitupun Qais, walaupun cintanya kepada Lila tidak seperti kuatnya cinta Qais kepada Laila, Qais selalu mencurahkan perhatiannya kepada Lila, Lila iya sayangi layaknya kekasih walaupun ia menganggap Lila hanya seorang teman, Qais kurang menyadari bahwa perlakuan baiknya pada Lila membuat bayangan Laila dibenaknya semakin samar, namun kembali terang jika teringat pesona Laila. Sebenarnya terbersit rasa senang ketika Qais bersama Lila.
(edisi 5)
Komonikasi Qais dan Lila hari demi hari semakin kerap, sms dan nelpon seolah tak terpisah dari keseharian mereka. Di suatu kesempatan Qais bertanya kepada Lila. "Lila, seandainya suatu ketika orang yang kamu cintai dulu ingin kembali kepadamu, apakah kamu akan menerimanya, sedangkan saat itu kamu sudah bersama orang lain?"
"Yaaa, kalau saya akan tetap mencintai dan menyayangi orang yang saat itu bersamaku. Siapa suruh dulu menyia-nyiakanku. Hehe." Jawab Lila dengan nada sedikit memanja. Selain Qais sudah mulai mengalami kebimbangan tentang perlakuannya sendiri, terutama pada Laila, Qais tahu bahwa sesungguhnya Lila telah menjalin hubungan asmara sebanyak tiga kali, yang terakhir ia diselingkuhi pasangannya dengan temannya sendiri. Qais tahu hal tersebut ketika Qais bertanya tentang Lila kepada teman-teman Lila mengenai riwayat hidupnya.
(edisi 6)
Senyum simpul di antara keduanya saling mengembang. Di sela-sela senyum simpul mereka, tiba-tiba Lila balik bertanya kepada Qais. "Sayang, seandainya hal itu terjadi kepadamu bagaimana?"
"Pastinya, jawabanku persis seperti punyamu doong. Hahaha." Jawab Qais sambil tertawa dan melihat kepada Lila. Lila tersenyum. "Sip, aku semakin sayang padamu. Hehehe." Dalam pikiran Qais berkecamuk, karena apa yang ada di pikirannya dan apa yang diucapkan tidaklah sama. Tetapi, ada rasa kasihan di hati Qais jika ia harus menyakiti seorang wanita periang lembut dan penyayang yang berada didepan matanya ini. Di lain sisi Qais masih belum mampu melupakan Laila. Wajah Laila selalu saja hadir tiba-tiba di benak Qais, Seolah sambil berkata "Qais, aku juga mencintaimu, hanya saja aku tak mampu mengungkapkan dan aku juga belum siap dengan semua resiko yang pasti ada."
(edisi 7)
Hitam putih sebuah peristiwa dan perbuatan memang selalu ada. Qais berusaha mencari solusi dari masalah perasaan yang ia hadapi. Sosok Laila, wanita cantik, cerdas, pintar dan religius itu masih belum mampu terlupakan oleh Qais, betapa Qais sangat mencintai wanita yang satu ini. Namun sayang, cintanya kurang direspon hangat oleh Laila. Padahal, dia sudah berusaha mati-matian mendapatkan Laila. Sedangkan Lila, wanita lembut dan penyayang itu, setahu Qais, Lila sangat mencintainya. Walaupun, pada awalnya Qais hanya menjadikan Lila sebagai umpan terhadap Laila, sebelumnya ia tidak mencintai Lila. Seiring waktu berjalan, Qais perlu berpikir dua kali untuk menyia-nyiakan Lila. Dia merasakan kenyamanan dan kehangatan saat bersama Lila. Seandainya Lila adalah Laila, sungguh akan lebih nyaman dan hangat lagi, pikir Qais.
(edisi 8)
Tak ada yang saling mencintai disini. Semua rasa sayang dan rasa cinta timpang. Qais mencintai Laila, tapi Laila tak menampakkan hal yang sama pada Qais. Lila mencintai Qais, tetapi Qais hanya pura-pura mencintainya. Laila, tidak tahu, pada siapa ia ingin melabuhkan hatinya dan ia ingin dilabuhkan oleh hati siapa. Setelah berpikir panjang Qais berkata dalam hati, "ya, aku harus memutuskan untuk memilih. Aku akan berusaha mencintai Lila. Biarlah Laila menjadi masa lalu terindah dalam hidupku. Tak peduli dengan perasaan ini. Buat apa aku pontang-panting mencintai orang yang belum pasti mencintaiku. Sedangkan Lila sudah nyata di depan mataku. Orang yang mencintaiku dengan tulus, dengan penuh kasih sayang." Qais membulatkan tekad menantang perasaannya. Bertekad melupakan Laila dan berusaha mencintai Lila.
(edisi 9)
Benar saja, seberapa kuat pun usaha Qais melupakan Laila, sungguh begitu sulit. Namun, ia paksakan hatinya mencintai Lila dengan cara meningkatkan jalinan komunikasi dengan Lila. Lila sangat bahagia, di hatinya tidak terdapat celah lagi untuk laki-laki lain yang bisa menempatinya. Layaknya cinta Zaliha pada Nabi Yusuf As. Zaliha, ya Zaliha. Wanita Mesir yang jatuh hati pada seorang Palestina. Walaupun, kebanyakan orang Indonesia menyebutnya Zulaiha. Padahal, tidak pernah ditemui dalam riwayat arab klasik yang menyebutnya Zulaiha kecuali dalam sinetron Indonesia. Kita tinggalkan kisah cinta Zaliha kepada Yusuf. Kita kembali kepada Lila, wanita cantik yang hatinya tengah berbunga-bunga. Lambat laun, Qais mulai bisa mencintai Lila. Sedikit demi sedikit cinta itu mulai bersemi di hati Qais. Setengah tahun berjalan. Qais sudah bisa lebih mencintai Lila.
(edisi 10)
Hampir selesai masa transisi Qais, cobaan kembali datang. Sekarang berbalik. Cinta Qais kepada Lila mulai diuji. Satu tahun berjalan, Qais sudah bisa mencintai Lila dan menjadikan Laila masa lalu terindah. Kini, Laila hanyalah sebuah kisah yang terkadang membuat Qais tersenyum mengingatnya. Sesekali Qais mengirim puisi kenangan kepada Laila. Walaupun, Laila tidak menjadi lagi wanita hebat yang berdiri tegak di belakang Qais. Selang berapa lama, saat Qais berlibur ke rumah neneknya di sebuah pulau yang berada di sebelah selatan Pulau tempat Qais tinggal. Tiba-tiba Laila mengirim sms yang bergitu mengejutkan bagi Qais, "kamu mau pilih Laila atau Lila? Tolong jawab dengan jujur." Bukan main, hati Qais seolah terkoyak kembali.
(edisi 11)
Setelah merenung sejenak untuk menjawab pertanyaan Laila yang mengejutkan ini, dengan penuh keyakinan Qais membalas sms Laila. "Saya pilih Lila, hehehe :D." Qais membalas sms Laila dibumbui candaan, supaya jika yang tanyakan itu benar, hatinya terasa lebih ringan. Dalam benak Qais terbersit, "Siapa suruh dulu tidak mau sama aku, kalau sekarang baru respon, dulu, tidak. Ah, biarlah sudah terlambat". Lamunan Qais terpecah seiring bunyi sms balasan dari Laila. "oh, ya sudah. Makasih." Jawaban ringkas namun penuh tanda tanya terhadap Qais. Rasa cinta yang baru saja terkubur, seolah bangkit kembali di hati Qais. Akan tetapi, Qais cepat-cepat menepis pikiran itu. "Ah, jangan. Ingat Lila, kasian dia. Dialah sekarang pilihanmu". Qais sok yakin dengan pilihannya. Walaupun sebenarnya masih ada sebersit hati untuk Laila, cinta pertamanya.
(edisi 12)
Di lain sisi Qais terus berusaha mencintai Lila dengan sepenuh hati. Janji sehidup semati di antara meraka kerap diungkapkan. Lila sangat senang dengan janji-janji manis Qais dan Qais tak bermaksud mendustakan janjinya pada Lila. Lila dan Qais kerap kali merencanakan masa depan mereka yang akan mereka hadapi, rumah tangga mereka, karir, gaya hidup sampai jumlah anak yang mereka inginkan.
"Suatu saat nanti aku ingin mempunyai anak empat denganmu seorang, dua laki-laki dan dua perempuan," ungkap Qais kepada Lila.
"Anak pertama kita, kamu ingin laki-laki atau perempuan, sayang?" Lila membalas.
"Laki-laki doong, biar nanti dia bisa menjaga adik-adiknya dengan baik, terutama yang perempuan."
"Tuh kan, kalau laki-laki kebanyakan menginkan anak pertamanya laki-laki."
"Yaa sudah kalau gak mau."
"Hee, enggak kok, sayang, mau banget. Bagimu aku selalu mau."
(edisi 13)
Rencana-rencana hidup yang demikian memang sudah menjadi kebiasaan Qais dan Lila setiap hari. Seolah-seolah mereka pasti dipersatukan dalam ikatan suci, pernikahan. Sesekali Qais bertanya kepada Lila untuk semakin memantapkan cintanya pada Lila. "Apakah kamu benar-benar mencintaiku?" Tanya Qais kepada Lila demi meyakinkan hatinya sendiri.
"Ya jelas laah, kamu masih meragukan cintaku? Kalau aku tidak mencintaimu, perjalanan kisah kasih kita tidak akan sejauh ini. Kenapa kau bertanya seperti itu? Apakah engkau yang sudah bosan padaku yang tak sempurna ini atau barangkali kau berpura-pura mencintaiku untuk menyenangkan hatiku semata?" Tanya balik Lila pada Qais dengan sedikir ragu dengan ucapannya sendiri.
"Ah, tidak dong sayaang, aku selalu mencintaimu dengan setulus hati selama engkau memenuhi syarat"
"Hah, syarat? Syarat apaan sih sayang! Kok ada gitu segala."
(edisi 14)
"Hehe, syaratnya mudah kok, sayang. Pertama, selama kamu mencintaiku, maka aku akan juga selalu mencintamu. Kedua, selama kamu masih baik, kalau kamu berubah menjadi orang jahat, ah siapa yang mau padamu, bikin takut aja. Dan ketiga, selama kamu tidak selingkuh, meskipun kamu mencintaiku dan kamu juga masih mencintaiku orang lain, wah, gawat itu, gak bisa dibiarin kamu nih. Harus cepat di eliminasi. Hehehe. Itu aja syaratnya, gampang kaaan!"
"Oooh itu ya sayaaang, gampaang, aku akan jaga cinta ini kok untukmu," Jawab Lila dengan senyum mengembang.
"Awas yaa, kalau sampai melanggar, tak gatok kepalamu itu," balas Qais sambil tersenyum manis pada Lila.
"Hehee, gak akan kok. Percaya deh!"
Selanjutnya Qais dan Lila bercengkerama menggabiskan waktu senja mereka. Laila tak terhiraukan oleh Qais. Padahal, dia merasakan sakit hati yang mendalam.
(edisi 15)
Laila, sungguh merananya dia, hatinya galau. Terkadang hatinya menangis dan tidak jarang pula air matanya menetes merenungi kehampaannya. Kini, sesorang yang selalu mengisi malam-malamnya tak lagi ada. Seolah ditelan Bumi. Qais, yang dulu selalu bertanya kabarnya tak lagi hadir, dia mendengar bahwa Qais telah bersama temannya Lila. Sebenarnya, sejak masih duduk di bangku MTs, Laila sudah menyimpan rasa kepada Qais. Hanya saja, karena ingin menjalin kemurnian agama-nya, ia selalu menolak rayuan Qais, godaannya. Ia sadar bahwa cinta suci dan harus ditempuh dengan jalan suci pula. Laila tidak mau cinta sucinya kepada Qais ternodai oleh tingkah lakunya yang tidak mencerminkan muslimah sejati. Ia tidak mau itu semua terjadi. Ia menginginkan ikatan cinta yang benar-benar suci yang mampu menuntunnya pada keridhoan sang Ilahi.
(edisi 16)
Tak ada daya bagi Laila untuk mengenang semua itu, mengenang sesuatu yang telah berlalu. Kini, ia harus memasrahkan semuanya pada takdir dan memang harus begitu. Tak ada yang bisa lepas dari ikatan takdir dan tak ada yang bisa melampaui garis takdir. Takdir telah ditentukan oleh Allah melalui malaikat sejak dalam kandungan. Walaupun sulit, semua itu akan tetap berjalan.
"Qais, aku juga menyayangimu. Tapi,,,!" Laila cepat menepis rasa itu. "Sudahlah."
Qais, yang begitu suka menulis, selalu saja menulis kisah masa lalunya tak terkecuali Laila. Puisi, Cerpen, dan gagasan sepeleh selalu saja ia tulis, di facebook pun kadang ditulis. Sekedar untuk meluapkan apa yang ada dalam dadanya. Tidak mungkin ia mencerikatan langsung kepada Lila, demi menjaga perasaan Lila. Sesekali Qais masih mengirimkan beberapa puisinya pada Laila. Walaupun, tidak sesering dahulu.
(edisi 17)
Suatu ketika, Qais baru pulang dari karantina menulis. sebelum sampai rumahnya, Qais menyempatkan diri mampir ke warnet. Kebetulan, warnet itu memang terletak di pinggir jalan. Sampai di dalam warnet, Qais membuka Facebook dan menulis status, "Hidup memang harus memilih, maka inilah pilihanku. Semoga ini yang terbaik." Setelah sekitar satu jam menjelajahi dunia maya, Qais pulang. Ia merasa rindu ke kampung halamannya setelah tujuh hari hidup di kota. Tentu, ia merasa senang sampai ke rumahnya.
Beberapa hari berselang. Qais membuka facebook kembali. Qais memang jarang membuka facebook karena hp-nya tidak mendukung. Jika ia ingin membuka facebook, maka ia harus ke warnet atau paling tidak pinjam kepada temannya.
Alangkah terkejutnya Qais, ketika statusnya yang dulu di facebook mendapat komentar yang mengkagetkan hati dari Laila.
(edisi 18)
Semenjak mendapat balasan itu, Qais mulai mengerti bahwa Laila sudah menerima keadaannya, menerima hatinya yang sudah sekian tahun menunggu kepastian. Walaupun sampai saat itu tak ada kepastian pasti dari Laila kepada Qais.
Di lain tempat, tanpa sepengetahuan Qais dan tak pernah ia akui kepada orang lain, air mata Laila tergenang. Terbayang wajah Qais yang selalu hadir di antara malam-malamnya. Laila tahu, bahwa Qais mencintainya dan ia pun juga begitu. Hanya saja, Laila tak ingin menjadi cinta monyet, cinta sekejap mata tanpa ada kesetian nyata, karena yang ia tau tentang kesetian adalah seberapa lama ia memegang komitmennya sendiri, seberapa lama ia berjuang dan bertahan. Kesetian yang lekang oleh waktu, baginya hanyalah kesetiaan semu. Ia beranggapan, jika Qais mampu berkomitmen sampai waktunya tiba yang tidak diketahui kapan, maka Qais benar-benar setia.
(edisi19)
Laila ingin melihat seberapa kuat Qais bertahan. Kini, yang ia tahu, Qais telah bersama Lila. Akhir-akhir ini ia baru mengetahui usaha Qais untuk menaklukkan dirinya dari temannya Naya, selain sahabatnya, Naya juga merupakan teman Qais, yang terkadang mencurhatkan sebagian isi hatinya kepada Naya. Naya sebagai semacam jembatan penghubung antara Qais dan Laila. Akan tetapi, hal itu baru diungkapkan Qais kepada Naya setelah harapan itu mulai memupus. Naya selalu menceritakan kepada Laila, sesuatu yang ia dapatkan dari Qais, setiap saat ketika bertemu dengan Laila. Terkadang mereka menceritakan semua itu secara berdua di bawah rindangnya pohon cemara yang berada di sebelah timur halaman sekolah mereka. Terkadang pula, Laila sedikit terharu mendengar penuturan Naya tentang i'tikad Qais meluluhkan hati Laila. Bagi Qais, seakan tak ada wanita indah lain selain Laila.
(edisi 20)
....
NB: Kisah ini masih terus berlanjut sampai saat ini, hanya masih belum ditulis. Saya sendiri, sebagai penulis, tidak tahu seperti apa nasib mereka pada akhirnya.
(edisi 1)
Qais selalu saja ditolak mentah-mentah oleh Laila. Tapi Qais tak patah arang, si Qais selalu saja mengungkapkan isi hatinya lewat puisi. Ya, puisi yang terpancar dari suara hati. Kegilaan Qais pada Laila hampir membuat Qais menjadi gila. Padahal, biasanya Laila yang gila, Laila Majnun, dalam cerita jaman dahulu. Qais masih belum mengerti harus dengan cara apa ia menaklukkan hati Laila. Laila tetap tegar dengan pendiriannya, sedangkan segala upaya telah dilakukan Qais. Puisi, cerpen, ungkapan lebay sekali pun sering ia tulis untuk menunjukkan ketulusan cintanya pada Laila. Hemm, cinta. Cinta itu memang bak setetes embun di musim gersang. Gersang dari kasih sayang, gersang dari kata sayang. Bukan gerah merangsang. Tapi itulah Qais, pemuda penuh semangat untuk memikat pujaan hatinya.
(edisi 2)
Mulai terasa oleh Qais bahwa usahanya selama ini sia-sia, tidak membuahkan hasil. Qais berusa mencari jalan lain, jalan lain untuk menaklukkan hati. Terbersit dalam pikiran Qais "mungkinkah aku harus mencari tempat pelarian untuk mengetahui perasaan Laila yang sesungguhnya padaku!" Pikiran itu semakin tergiang di benak Qais. Namun, terbersit pula dalam benaknya "apakah aku tidak egois jika berbuat seperti ini, mempermainkan perempuan". Hati nurani Qais terus bergemuruh. Dia merasa takut jika suatu saat nanti orang yang menjadi pelariannya sangat mencintainya dan merasa terpukul bila harus kehilangan seorang Qais. Qais juga merasa jika cintanya kepada Laila dianggap tidak serius kerena cepat pindah kelain hati.
"Tapi aku harus bagaimana?" Kata Qais dalam benaknya.
(edisi 3)
Hidup memang penuh pilihan, begitu pula dengan Qais. Keadaan memaksa Qais untuk memilih tindakannya. Antara keegoisan dan hati nurani, dengan segala kebingungannya, Qais memutuskan untuk mencari pelarian. Memang ada seorang wanita yang sedikit mengagumkan di mata Qais, walaupun tidak sampai pada taraf cinta, Lila namanya, Lila seumuran juga dengan Qais, kelasnya di sekolah juga sama. Wajah kalem Lila seolah menghilangkan segala resah dalam benaknya walaupun wajah Laila tak mampu menghilang sepenuhnya. Qais berhasil meluluhkan hati Lila, Lila memang tak sekuat Laila dalam menghadapi rayuan laki-laki. Lila cepat luluh jika selalu disanjung dan dipuji, layaknya perempuan kebanyakan yang suka disanjung dan dipuji. Hanya saja, Lila sifatnya begitu halus, penyayang, lembut dan keibuan, Qais sempat terlena dengan sifat Lila yang begitu menenangkan hati.
(edisi 4)
Hari demi hari cinta tak berdasar itu terus terjalin. Hubungan Qais dan Lila seolah didasari cinta, sepengetahuan Lila, Qais begitu mencintainya. Perlakuan Qais ke Lila nampak tulus dari hati terdalam, Lila semakin terlena dengan perlakuan Qais. Dia tidak tahu dan tidak sadar bahwa hatinya hanyalah sebuah permainan, hanya sebuah umpan yang digunakan Qais untuk mengetahui perasaan Laila kepada Qais yang sesungguhnya. Begitupun Qais, walaupun cintanya kepada Lila tidak seperti kuatnya cinta Qais kepada Laila, Qais selalu mencurahkan perhatiannya kepada Lila, Lila iya sayangi layaknya kekasih walaupun ia menganggap Lila hanya seorang teman, Qais kurang menyadari bahwa perlakuan baiknya pada Lila membuat bayangan Laila dibenaknya semakin samar, namun kembali terang jika teringat pesona Laila. Sebenarnya terbersit rasa senang ketika Qais bersama Lila.
(edisi 5)
Komonikasi Qais dan Lila hari demi hari semakin kerap, sms dan nelpon seolah tak terpisah dari keseharian mereka. Di suatu kesempatan Qais bertanya kepada Lila. "Lila, seandainya suatu ketika orang yang kamu cintai dulu ingin kembali kepadamu, apakah kamu akan menerimanya, sedangkan saat itu kamu sudah bersama orang lain?"
"Yaaa, kalau saya akan tetap mencintai dan menyayangi orang yang saat itu bersamaku. Siapa suruh dulu menyia-nyiakanku. Hehe." Jawab Lila dengan nada sedikit memanja. Selain Qais sudah mulai mengalami kebimbangan tentang perlakuannya sendiri, terutama pada Laila, Qais tahu bahwa sesungguhnya Lila telah menjalin hubungan asmara sebanyak tiga kali, yang terakhir ia diselingkuhi pasangannya dengan temannya sendiri. Qais tahu hal tersebut ketika Qais bertanya tentang Lila kepada teman-teman Lila mengenai riwayat hidupnya.
(edisi 6)
Senyum simpul di antara keduanya saling mengembang. Di sela-sela senyum simpul mereka, tiba-tiba Lila balik bertanya kepada Qais. "Sayang, seandainya hal itu terjadi kepadamu bagaimana?"
"Pastinya, jawabanku persis seperti punyamu doong. Hahaha." Jawab Qais sambil tertawa dan melihat kepada Lila. Lila tersenyum. "Sip, aku semakin sayang padamu. Hehehe." Dalam pikiran Qais berkecamuk, karena apa yang ada di pikirannya dan apa yang diucapkan tidaklah sama. Tetapi, ada rasa kasihan di hati Qais jika ia harus menyakiti seorang wanita periang lembut dan penyayang yang berada didepan matanya ini. Di lain sisi Qais masih belum mampu melupakan Laila. Wajah Laila selalu saja hadir tiba-tiba di benak Qais, Seolah sambil berkata "Qais, aku juga mencintaimu, hanya saja aku tak mampu mengungkapkan dan aku juga belum siap dengan semua resiko yang pasti ada."
(edisi 7)
Hitam putih sebuah peristiwa dan perbuatan memang selalu ada. Qais berusaha mencari solusi dari masalah perasaan yang ia hadapi. Sosok Laila, wanita cantik, cerdas, pintar dan religius itu masih belum mampu terlupakan oleh Qais, betapa Qais sangat mencintai wanita yang satu ini. Namun sayang, cintanya kurang direspon hangat oleh Laila. Padahal, dia sudah berusaha mati-matian mendapatkan Laila. Sedangkan Lila, wanita lembut dan penyayang itu, setahu Qais, Lila sangat mencintainya. Walaupun, pada awalnya Qais hanya menjadikan Lila sebagai umpan terhadap Laila, sebelumnya ia tidak mencintai Lila. Seiring waktu berjalan, Qais perlu berpikir dua kali untuk menyia-nyiakan Lila. Dia merasakan kenyamanan dan kehangatan saat bersama Lila. Seandainya Lila adalah Laila, sungguh akan lebih nyaman dan hangat lagi, pikir Qais.
(edisi 8)
Tak ada yang saling mencintai disini. Semua rasa sayang dan rasa cinta timpang. Qais mencintai Laila, tapi Laila tak menampakkan hal yang sama pada Qais. Lila mencintai Qais, tetapi Qais hanya pura-pura mencintainya. Laila, tidak tahu, pada siapa ia ingin melabuhkan hatinya dan ia ingin dilabuhkan oleh hati siapa. Setelah berpikir panjang Qais berkata dalam hati, "ya, aku harus memutuskan untuk memilih. Aku akan berusaha mencintai Lila. Biarlah Laila menjadi masa lalu terindah dalam hidupku. Tak peduli dengan perasaan ini. Buat apa aku pontang-panting mencintai orang yang belum pasti mencintaiku. Sedangkan Lila sudah nyata di depan mataku. Orang yang mencintaiku dengan tulus, dengan penuh kasih sayang." Qais membulatkan tekad menantang perasaannya. Bertekad melupakan Laila dan berusaha mencintai Lila.
(edisi 9)
Benar saja, seberapa kuat pun usaha Qais melupakan Laila, sungguh begitu sulit. Namun, ia paksakan hatinya mencintai Lila dengan cara meningkatkan jalinan komunikasi dengan Lila. Lila sangat bahagia, di hatinya tidak terdapat celah lagi untuk laki-laki lain yang bisa menempatinya. Layaknya cinta Zaliha pada Nabi Yusuf As. Zaliha, ya Zaliha. Wanita Mesir yang jatuh hati pada seorang Palestina. Walaupun, kebanyakan orang Indonesia menyebutnya Zulaiha. Padahal, tidak pernah ditemui dalam riwayat arab klasik yang menyebutnya Zulaiha kecuali dalam sinetron Indonesia. Kita tinggalkan kisah cinta Zaliha kepada Yusuf. Kita kembali kepada Lila, wanita cantik yang hatinya tengah berbunga-bunga. Lambat laun, Qais mulai bisa mencintai Lila. Sedikit demi sedikit cinta itu mulai bersemi di hati Qais. Setengah tahun berjalan. Qais sudah bisa lebih mencintai Lila.
(edisi 10)
Hampir selesai masa transisi Qais, cobaan kembali datang. Sekarang berbalik. Cinta Qais kepada Lila mulai diuji. Satu tahun berjalan, Qais sudah bisa mencintai Lila dan menjadikan Laila masa lalu terindah. Kini, Laila hanyalah sebuah kisah yang terkadang membuat Qais tersenyum mengingatnya. Sesekali Qais mengirim puisi kenangan kepada Laila. Walaupun, Laila tidak menjadi lagi wanita hebat yang berdiri tegak di belakang Qais. Selang berapa lama, saat Qais berlibur ke rumah neneknya di sebuah pulau yang berada di sebelah selatan Pulau tempat Qais tinggal. Tiba-tiba Laila mengirim sms yang bergitu mengejutkan bagi Qais, "kamu mau pilih Laila atau Lila? Tolong jawab dengan jujur." Bukan main, hati Qais seolah terkoyak kembali.
(edisi 11)
Setelah merenung sejenak untuk menjawab pertanyaan Laila yang mengejutkan ini, dengan penuh keyakinan Qais membalas sms Laila. "Saya pilih Lila, hehehe :D." Qais membalas sms Laila dibumbui candaan, supaya jika yang tanyakan itu benar, hatinya terasa lebih ringan. Dalam benak Qais terbersit, "Siapa suruh dulu tidak mau sama aku, kalau sekarang baru respon, dulu, tidak. Ah, biarlah sudah terlambat". Lamunan Qais terpecah seiring bunyi sms balasan dari Laila. "oh, ya sudah. Makasih." Jawaban ringkas namun penuh tanda tanya terhadap Qais. Rasa cinta yang baru saja terkubur, seolah bangkit kembali di hati Qais. Akan tetapi, Qais cepat-cepat menepis pikiran itu. "Ah, jangan. Ingat Lila, kasian dia. Dialah sekarang pilihanmu". Qais sok yakin dengan pilihannya. Walaupun sebenarnya masih ada sebersit hati untuk Laila, cinta pertamanya.
(edisi 12)
Di lain sisi Qais terus berusaha mencintai Lila dengan sepenuh hati. Janji sehidup semati di antara meraka kerap diungkapkan. Lila sangat senang dengan janji-janji manis Qais dan Qais tak bermaksud mendustakan janjinya pada Lila. Lila dan Qais kerap kali merencanakan masa depan mereka yang akan mereka hadapi, rumah tangga mereka, karir, gaya hidup sampai jumlah anak yang mereka inginkan.
"Suatu saat nanti aku ingin mempunyai anak empat denganmu seorang, dua laki-laki dan dua perempuan," ungkap Qais kepada Lila.
"Anak pertama kita, kamu ingin laki-laki atau perempuan, sayang?" Lila membalas.
"Laki-laki doong, biar nanti dia bisa menjaga adik-adiknya dengan baik, terutama yang perempuan."
"Tuh kan, kalau laki-laki kebanyakan menginkan anak pertamanya laki-laki."
"Yaa sudah kalau gak mau."
"Hee, enggak kok, sayang, mau banget. Bagimu aku selalu mau."
(edisi 13)
Rencana-rencana hidup yang demikian memang sudah menjadi kebiasaan Qais dan Lila setiap hari. Seolah-seolah mereka pasti dipersatukan dalam ikatan suci, pernikahan. Sesekali Qais bertanya kepada Lila untuk semakin memantapkan cintanya pada Lila. "Apakah kamu benar-benar mencintaiku?" Tanya Qais kepada Lila demi meyakinkan hatinya sendiri.
"Ya jelas laah, kamu masih meragukan cintaku? Kalau aku tidak mencintaimu, perjalanan kisah kasih kita tidak akan sejauh ini. Kenapa kau bertanya seperti itu? Apakah engkau yang sudah bosan padaku yang tak sempurna ini atau barangkali kau berpura-pura mencintaiku untuk menyenangkan hatiku semata?" Tanya balik Lila pada Qais dengan sedikir ragu dengan ucapannya sendiri.
"Ah, tidak dong sayaang, aku selalu mencintaimu dengan setulus hati selama engkau memenuhi syarat"
"Hah, syarat? Syarat apaan sih sayang! Kok ada gitu segala."
(edisi 14)
"Hehe, syaratnya mudah kok, sayang. Pertama, selama kamu mencintaiku, maka aku akan juga selalu mencintamu. Kedua, selama kamu masih baik, kalau kamu berubah menjadi orang jahat, ah siapa yang mau padamu, bikin takut aja. Dan ketiga, selama kamu tidak selingkuh, meskipun kamu mencintaiku dan kamu juga masih mencintaiku orang lain, wah, gawat itu, gak bisa dibiarin kamu nih. Harus cepat di eliminasi. Hehehe. Itu aja syaratnya, gampang kaaan!"
"Oooh itu ya sayaaang, gampaang, aku akan jaga cinta ini kok untukmu," Jawab Lila dengan senyum mengembang.
"Awas yaa, kalau sampai melanggar, tak gatok kepalamu itu," balas Qais sambil tersenyum manis pada Lila.
"Hehee, gak akan kok. Percaya deh!"
Selanjutnya Qais dan Lila bercengkerama menggabiskan waktu senja mereka. Laila tak terhiraukan oleh Qais. Padahal, dia merasakan sakit hati yang mendalam.
(edisi 15)
Laila, sungguh merananya dia, hatinya galau. Terkadang hatinya menangis dan tidak jarang pula air matanya menetes merenungi kehampaannya. Kini, sesorang yang selalu mengisi malam-malamnya tak lagi ada. Seolah ditelan Bumi. Qais, yang dulu selalu bertanya kabarnya tak lagi hadir, dia mendengar bahwa Qais telah bersama temannya Lila. Sebenarnya, sejak masih duduk di bangku MTs, Laila sudah menyimpan rasa kepada Qais. Hanya saja, karena ingin menjalin kemurnian agama-nya, ia selalu menolak rayuan Qais, godaannya. Ia sadar bahwa cinta suci dan harus ditempuh dengan jalan suci pula. Laila tidak mau cinta sucinya kepada Qais ternodai oleh tingkah lakunya yang tidak mencerminkan muslimah sejati. Ia tidak mau itu semua terjadi. Ia menginginkan ikatan cinta yang benar-benar suci yang mampu menuntunnya pada keridhoan sang Ilahi.
(edisi 16)
Tak ada daya bagi Laila untuk mengenang semua itu, mengenang sesuatu yang telah berlalu. Kini, ia harus memasrahkan semuanya pada takdir dan memang harus begitu. Tak ada yang bisa lepas dari ikatan takdir dan tak ada yang bisa melampaui garis takdir. Takdir telah ditentukan oleh Allah melalui malaikat sejak dalam kandungan. Walaupun sulit, semua itu akan tetap berjalan.
"Qais, aku juga menyayangimu. Tapi,,,!" Laila cepat menepis rasa itu. "Sudahlah."
Qais, yang begitu suka menulis, selalu saja menulis kisah masa lalunya tak terkecuali Laila. Puisi, Cerpen, dan gagasan sepeleh selalu saja ia tulis, di facebook pun kadang ditulis. Sekedar untuk meluapkan apa yang ada dalam dadanya. Tidak mungkin ia mencerikatan langsung kepada Lila, demi menjaga perasaan Lila. Sesekali Qais masih mengirimkan beberapa puisinya pada Laila. Walaupun, tidak sesering dahulu.
(edisi 17)
Suatu ketika, Qais baru pulang dari karantina menulis. sebelum sampai rumahnya, Qais menyempatkan diri mampir ke warnet. Kebetulan, warnet itu memang terletak di pinggir jalan. Sampai di dalam warnet, Qais membuka Facebook dan menulis status, "Hidup memang harus memilih, maka inilah pilihanku. Semoga ini yang terbaik." Setelah sekitar satu jam menjelajahi dunia maya, Qais pulang. Ia merasa rindu ke kampung halamannya setelah tujuh hari hidup di kota. Tentu, ia merasa senang sampai ke rumahnya.
Beberapa hari berselang. Qais membuka facebook kembali. Qais memang jarang membuka facebook karena hp-nya tidak mendukung. Jika ia ingin membuka facebook, maka ia harus ke warnet atau paling tidak pinjam kepada temannya.
Alangkah terkejutnya Qais, ketika statusnya yang dulu di facebook mendapat komentar yang mengkagetkan hati dari Laila.
(edisi 18)
Semenjak mendapat balasan itu, Qais mulai mengerti bahwa Laila sudah menerima keadaannya, menerima hatinya yang sudah sekian tahun menunggu kepastian. Walaupun sampai saat itu tak ada kepastian pasti dari Laila kepada Qais.
Di lain tempat, tanpa sepengetahuan Qais dan tak pernah ia akui kepada orang lain, air mata Laila tergenang. Terbayang wajah Qais yang selalu hadir di antara malam-malamnya. Laila tahu, bahwa Qais mencintainya dan ia pun juga begitu. Hanya saja, Laila tak ingin menjadi cinta monyet, cinta sekejap mata tanpa ada kesetian nyata, karena yang ia tau tentang kesetian adalah seberapa lama ia memegang komitmennya sendiri, seberapa lama ia berjuang dan bertahan. Kesetian yang lekang oleh waktu, baginya hanyalah kesetiaan semu. Ia beranggapan, jika Qais mampu berkomitmen sampai waktunya tiba yang tidak diketahui kapan, maka Qais benar-benar setia.
(edisi19)
Laila ingin melihat seberapa kuat Qais bertahan. Kini, yang ia tahu, Qais telah bersama Lila. Akhir-akhir ini ia baru mengetahui usaha Qais untuk menaklukkan dirinya dari temannya Naya, selain sahabatnya, Naya juga merupakan teman Qais, yang terkadang mencurhatkan sebagian isi hatinya kepada Naya. Naya sebagai semacam jembatan penghubung antara Qais dan Laila. Akan tetapi, hal itu baru diungkapkan Qais kepada Naya setelah harapan itu mulai memupus. Naya selalu menceritakan kepada Laila, sesuatu yang ia dapatkan dari Qais, setiap saat ketika bertemu dengan Laila. Terkadang mereka menceritakan semua itu secara berdua di bawah rindangnya pohon cemara yang berada di sebelah timur halaman sekolah mereka. Terkadang pula, Laila sedikit terharu mendengar penuturan Naya tentang i'tikad Qais meluluhkan hati Laila. Bagi Qais, seakan tak ada wanita indah lain selain Laila.
(edisi 20)
....
NB: Kisah ini masih terus berlanjut sampai saat ini, hanya masih belum ditulis. Saya sendiri, sebagai penulis, tidak tahu seperti apa nasib mereka pada akhirnya.
Komentar
Posting Komentar