Niat


Oleh: Moh. Tamimi*

Pagi itu, Fajar seolah banyak pikiran membebani. Rumah tangganya yang baru beberapa pekan berjalan mengalami cobaan. Kebutuhan rumah tangga yang mendesak mengharuskan Fajar memeras otak sebelum memeras keringat. Pasangan muda itu kebingungan. Kemana hendak memenuhi kebutuhan hidup. Mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap untuk membiayai kebutuhan hidup mereka. Bumi terasa sempit, angin terasa terus menghantam. Saat itu, bagi Fajar tak ada keindahan alam yang mampu menyegarkan kepalanya. Padahal, ia tinggal tidak jauh dari hutan.
"Aku tahu!"
Fajar spontan terperanjat. Istrinya tidak kalah kaget dengan perilaku sontak suaminya.
"Ada apa kang?" Tanya istri Fajar.
"Aku sudah menemukan jalan keluar mengatasi perekonomian kita," jawab Fajar.
"Bukankah negara kita terkenal dengan Gemah Ripah Loh Jinawi? Dan alam ini telah menyediakan kebutuhan kita!"
"Maksud kakang?" Istrinya kebingungan.
"Sudahlah, kamu tenang saja. Suatu saat kau pasti akan mengetahuinya. Aku akan menemui Bayu dahulu. Mungkin dia bisa diajak kerja sama."
Istri Fajar semakin kebingungan terhadap tingkah-laku suaminya. Baginya, suaminya hanya memberikan misteri.
Fajar menyambar jaketnya dan bergegas pergi menuju rumah Bayu.
Ia mendapati Bayu berada di bawah teras rumahnya yang sederhana.
Bayu merasa senang mendapati sahabatnya berkunjung ke rumahnya. Namun, Bayu menangkap sesuatu yang berbeda dari pancaran raut muka Fajar. Ia hanya mengerutkan dahi menanggapi hal itu.
Sampai di rumah Bayu, Fajar seperti mengamati sesuatu. Toleh kanan, toleh kiri. Layaknya seekor monyet yang hendak mencuri pisang di kebun petani.
"Bayu, di sini gak ada orang lain selain kita kan?"
"Tidak ada," jawab Bayu. "Di sini cuman ada aku. Ibu-bapakku lagi ke sawah dan adik-adikku lagi ke sekolah. Kenapa?"
"Aku ada perlu kepadamu. Tapi, ini rahasia," bisik Fajar.
Sekali lagi, Fajar mendekatkan mulutnya ke telinga Bayu dan mentabirinya dengan tangan kirinya. Tak ingin, satu kalimat pun terbang terdengar orang lain selain mereka berdua.
"Hah, kau gila, Jar! Seharusnya sebagai lulusan MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) kau harus paham bahwa hal itu dilarang agama kita. Ingatlah, Jar, dalam Al-Qur'an kita diseru supaya tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. Selagi kita masih muda, Jar. Seharusnya kita menjaga alam ini supaya tidak rusak. Tidakkah kau tau, Jar, jika niatmu dilaksanakan akan berdampak sebagaimana menimpa Kalimantan, Riau, Sumatera dan sekitarnya. Asap mencemari udara. Fotosintesis takkan lagi berproses dengan baik. Tak ada lagi oksigen yang menyegarkan paru-paru kita. Kita akan sesak nafas dan mati, Jar."
"Tapi Yu," jawab Fajar. "Ada sesuatu yang mungkin kau lupa atau tidak sadari. Aku ini sudah menikah Yu, Bukankah sudah menjadi kewajiban suami menafkahi istrinya, dan kamu, kamu bisa membantu ayah-ibumu serta adik-adikmu untuk hidup semakin layak, Yu, tidak seperti sekarang yang ditimpa kemelaratan seperti ini. Bukankah agama kita juga menganjurkan untuk membantu kedua orang tua dan keluarga kita, Yu, dan bahkan menjadi suatu kewajiban seperti aku ini, harus menafkahi keluarga. Ah, lagian kalau sekarang Yu, rumus cuman ada dua, kalau tidak merusak ya dirusak," Sanggah Fajar.
"Alur pemikiranmu salah,Jar," jawab Bayu. "Agama kita memang menuntut kita untuk membantu keluarga dan menafkahi sanak keluarga, tetapi bukan begitu caranya. Kita harus menggunakan jalan yang benar. Jalan dan tujuan harus sama-sama baik. Jalan yang dihalalkan Allah dan Rasulnyalah yang baik. Tidak merugikan orang dan merusak alam sekitar. Malah kalau bisa, kita harus mencari penghasilan yang bisa merawat dan menjaga alam kita, memakmurkan masyarakat setempat bukan malah menyusahkan. Sebagaimana yang saya sebutkan barusan. Asap, polusi udara, pencemaran lingkungan dan lain-lainnya itu, yang merugikan. Tidak layak bagi kita yang masih muda ini membuat kerusakan, Jar, mari kita jaga alam kita, hutan kita, lingkungan kita, diri kita, saudara-saudara kita dan bumi kita dari kerusakan."
Bayu terus menceramahi Fajar, layaknya kyai menyampaikan mauidzah hasanah tanpa jemu, tanpa jeda. Seolah, Bayu tidak kehabisan kata-kata untuk memperingati sahabatnya itu. Sementara Fajar, seperti orang kebingungan. Pikirannya berlarian kemana-mana tak terkecuali istrinya di rumah. Seseorang yang sangat ia cintai. Ingin ia mempersembahkan segalanya untuk istrinya. Keringat, pikiran, dan jiwa raga ia persembahkan demi membahagiakan istrinya. Walaupun ia salah dalam mengartikan kebahagian. Sejauh yang ia pikir, ukuran kebahagian adalah materi. Seberapa banyak ia mempunyai materi, maka sebanyak itu pulalah nilai kebahagiaan baginya.
Mendengar kata-kata Bayu, pikirannya berkecamuk. Di lain sisi, ia adalah orang yang baik. Hanya saja, dikarenakan urusan perut, terkadang membuatnya khilaf. Berniat melakukan hal-hal negatif. Untung saja, istrinya selalu memperingatinya. Istrinya yang jelita dengan segala kelembutan hatinya, sering kali atau bisa dikatakan selalu bisa menaklukkan kekerasan pikiran Fajar dalam mencanangkan sesuatu. Oleh karena itu, saat ia memiliki sebuah gagasan yang bagus menurutnya tapi tentu tidak pada istrinya, ia langsung berangkat saja karena ia tak ingin, kali ini niatnya gagal lagi. Ia tak ingin istrinya menjadi penghalang rencananya. Tetapi kini, saat ia menyampaikan rencananya pada Bayu dengan harapan bisa diajak kerja sama, malah berbalik arah. Di depan Bayu, ia dihujani ayat-ayat Al-Qur'an bahwa niatnya tidak layak untuk direalisasikan. Kini, ia mulai merasa bimbang. Bicara masalah agama, sebenarnya Bayu bukan orang yang baru belajar. Ia lulusan MAK yang berada di bawah lindungan pesantren di daerah sekitar tempat ia tinggal. Hanya saja, setelah ia lulus MAK ia tidak melanjutkan studinya karena alasan biaya. Beberapa tahun setelah kelulusannya ia mempersunting seorang wanita yang membuat hatinya melayang-layang.
Selagi pikirannya berkelana, Bayu masih mengintrupsi Fajar. Intrupsi Bayu tentu saja berbeda dengan hujan intrupsi wakil rakyat di gedung parlemen yang banyak intrupsi tanpa bukti nyata bagi rakyat. Intrupsi mereka hanya demi perut mereka agar semakin gendut, sampai-sampai rekening mereka juga gendut. Sehingga, dialihkan ke rekening istri, anak-anak dan pembantu-pembantu mereka. Intrupsi Bayu pada Fajar lahir dari hati. Hati seorang pemuda yang peduli kepada orang lain, kepada lingkungan dan kepada alam dilandasi keyakinannya kepada Allah Swt., maka, tidak salah jika Bayu dikatakan bahwa ia mengaplikasikan dengan baik hubungannya dengan Allah, dengan manusia dan dengan alam. "Jar, kamu mendengarkanku?" Suara Bayu yang setengah menghardik mengagetkan lamunan Fajar.
"Eee, e e iya Bay," jawab Fajar sedikit gugup.
"Apakah kamu masih akan menjalankan niatmu Jar?" Bayu menyela. "Ingat Jar, dampak yang akan terjadi jika kamu melangsungkan niatmu itu di kemudian hari. Ingatlah asap sebagaimana daerah sebelah, ingat pula polusinya dan ingat juga kesengsaraan masyarakat yang akan terjadi."
"Aku bingung, Bay," jawab Fajar dengan nada lemas.
"Yakinlah Jar, Allah bersama kita. Dia tidak akan menyia-nyiakan kita. Kita terlahir beserta rezeki kita. Sebagaimana burung-burung yang terbang pagi dalam keadaan lapar dan kembali ke sarangnya dalam keadaan kenyang pada sore hari."
"Terima kasih Bay, aku akan mempertimbangkan kembali niatku. Aku akan pulang saja, mentari sudah meninggi, kasihan istriku sendiri di rumah." Sambil membetulkan jaketnya, Fajar beranjak dari kursi kayu Bayu, menyalami Bayu dan pulang. Sambil melangkah menuju pulang, pikiran Bayu tetap saja berkelebat penuh pertimbangan. Rencana untuk membakar hutan dan menjadikan tangannya pelaku ilegal logging untuk kemudian dijadikan lahan pertanian supaya meningkatkan perekonomian keluarganya, dengan penuh pertimbangan ia urungkan.
"Ah, sudahlah. Masih ada banyak jalan untuk bahagia."

*Mahasiswa INSTIK Annuqayah Guluk-guluk, Sumenep, Madura.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial