Rekam Jejak Pengislaman Jawa
Oleh: Moh. Tamimi
Judul: Mengislamkan Jawa
Penulis: M. C. Ricklefs
Penerbit: Serambi, 2013
Proses islamisasi di tanah Jawa takkan habis dibahas sampai kapanpun kecuali jika pulau tersebut hilang dari peta dunia.
M. C. Ricklefs membahas proses Islamisasi itu semenjak tahun 1930-sekarang. Akan tetapi, yang dimaksud sekarang adalah ketika buku itu selesai ditulis.
Masyarat Jawa, mengalami depresi besar atas Penjajah Belanda karena tiga misi utama penjajah tersebut: Gold, Gospel, Glory.
Islam di hati rakyat Jawa sangat melekat. Hal ini, menurut laporan Sir Thomas Stanfod Raflesh, mengatakan, bahwa tidak ada desa di tanah Jawa kecuali di desa tersebut ada tempat beribadah (langgar).
Seorang Gubernur Jawa, ketika diajak memeluk Kristen, ia mengatakan "Saya lebih baik bertuhan satu dan beristri empat daripada beristri satu bertuhan tiga."
Pasca 1900, secara garis besar keislaman di Jawa terpecah menjadi dua: Tradisionalis dan Modernis.
Modernis teroraginisir lewat Muhammadiah, sedang Tradisionalis dengan NU (Nahdlatul Ulama) yang merupakan respon atas berdirinya Muhammadiyah.
Muhammadiyah berkembang pesat di perkotaaan dan NU di pedesaan. Hal itu, tidak terlepas atas pandangan masing-masing ormas mengenai Islam. Dari segi sosial dan polotik, rakyat Jawa terbagi menjadi dua: santri dan abangan. Pada perkembangannya kaum santri dan abangan membentuk partai-partai. Partai kaum abangan: PNI, PKI. Kaum santri: NU dan Masyumi. Kaum santri dan abangan selalu terjadi kebersitegangan dan mencapai puncaknya pada tahun 1965 atau lazim disebut G30S-PKI.
Buku ini banyak memaparkan data-data sensus dan hasil pemilu dari tahun ke tahun mengenai presentase perolahan suara partai-partai tersebut.
PKI (Partai Komunis Indonesia) melakukan pendekatan kepada rakyat dengan sangat masif. Mereka merekrut massa dengan berbagai cara. Mulai dari politik sampai kebudayaan.
Mereka tak jarang menjanjikan tanah untuk digarap bagi siapa saja yang mau bergabung dengan PKI. Lambang Clurit dan Palu di bendera mereka digambarkan oleh mereka bahwa mereka sangat dekat dengan rakyat yang notabenenya banyak dari kalangan menengah ke bawah. Pertunjukan kesenian lokal mereka jadikan media untuk berkampanye, seperti Lodruk, wayang, reog dan lain-lainnya. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang digawangi oleh Pramoedya Ananta Tour adalah lembaga kesenian yang dibentuk PKI dan NU mendirikan Lesbumi (Lembaga Sastrawan Kebudayaan Muslimin Indosia) sebagai respon atas berdinya Lekra. Namun sayang, Lesbumi tidak ada yang menggawangi dengan baik layaknya Pram di Lekra, sehingga Lesbumi tak sesukses Lekra. PKI juga mendirikan lembaga pertani demikian juga NU.
PKI tampil sebagai peringkat 3 dalam perolehan suara dibawah PNI dan NU.
Ketika PKI bersitegang dengan kaum Santri, pembantaian besar besaran dilakukan oleh keduanya.
Konon, apabila dirumah seorang komunis terdapat tanda-tanda tertentu di rumahnya, maka itu pertanda bahwa ia akan dibunuh. Pada masa bersitegang itu (Pasca Orla), tidak jarang mayat ditemukan di rawa-rawa, sungai-sungai dan tempat-tempat lain.
Banser (Badan Serbaguna) yang merupakan sayap militer NU memiliki peran penting dalam hal ini. Menurut M. C. Riklefs Banser hanya dijadikan alat oleh Militer Soeharto.
Jurus beladiri pun bermunculan. Banyak kekuatan-kekuatan spiritual di luar nalar manusia. Pemuda-pemuda banyak yang sudah diberkahi untuk memerangi para komunis.
Jawa saat itu banyak masyarakatnya yang menganut aliran kebatinan. Ada ratusan aliran kebatinan yang telah diidentifikasi dan banyak pula diantaranya di illegalkalkan pada masa Soeharto. Soehato sendiri menganut aliran kebatinannya sendiri. Ia menulis beberapa petuah yang disimpannya sendiri dan diperuntukkan untuk anak-anaknya.
Tokoh aliran aliran kebatinan yang cukup terkenal pada waktu itu adalah Mbah Wali. Ia menyatakan bahwa Gusti Pangeran tidak lebih dari sekedar kelamin. Gusti Pangeran terdiri dari dua kata, kata "Gusti" masuk pada kata "Pangeran" layaknya Zakar masuk pada vagina. Beranda rumahnya atau lumrah disebut emper kerap kali dijadikan tempat berembuk segala sesuatu yang penting, walaupun Mbah Wali sendiri tidak hadir dalam perkumpulan itu. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dikatakann dalam buku ini bahwa dinisbatkan pada kata emper (em-pe-er).
Bukan hanya aliran kebatinan, aliran tarekat juga berkembang pesat pada masa Soeharto. Teruma Naqsabandi, Qadiriyah, Syattariah dan Tijaniyah. Aliran tarekat yang disebut terakhir ini tidak sebagaimana tiga aliran tarekat pertama, umumnya aliran tarekat para mursyidnya mempunyai nasab yang sampai kepada nabi, Tarekat Tijaniyah tidak memiliki hal itu. Hanya saya mursyidnya Mengaku bermimpi dengan Nabi Muhammad dan ia diperintahkan untuk menyampaikan tarekatnya.
Soeharto, meskipun mempunyai ajaran kebatinannya sendiri, tidak terang-terangan dalam menjalankan misi pengislamannya. Ia berusaha melakukan pengislaman melalui berbagai lini terutama dengan tindakan keotoriterannya. Pancasila, dalam buku ini dikatakan, dijadikan kedok Soeharto dalam proses Islamisasinya, dalam ranah pendidikan ia mewajibkan 30% pengajaran agama Islam dan berusaha mengendalikan pesantren-pesantren.
Buku ini lebih banyak membahas proses Islamisasi pada masa Soeharto dan ormas-ormas Islam dari kiri-kanan. Akan tetapi, sepemahaman saya (pen.) sedikit sekali membahas proses Islamisasi pada masa pasca Soeharto dan lebih banyak dibahas proses Islamisasi Jawa ditinjau dari politik praktis berdasarkan survei perolehan suara.
Komentar
Posting Komentar