Dunia Pemikiran Mahasiswa Perguruan Tinggi Islam

Mahasiswa, dalam artian sempit adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Baik perguruan tinggi Islam atau umum. Maha, dalam kata 'Mahasiswa' mempunyai arti lebih, lebih dari sekedar siswa. Seperti Maha Kuasa berarti lebih menguasai dari penguasa. Ditinjau nama gelar (Mahasiswa) ini, sudah selayaknya Mahasiswa menimba ilmu dengan baik untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat di kemudian hari. Sumbangan-sumbangan pemikiran para Mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control sangat diperlukan hadirnya di tengah-tengah masyarakat serta perilaku yang dapat dijadikan teladan bagi penuntut ilmu lainnya terutama pelajar/siswa. Jika demikian, gelar mahasiswa sungguh sangat berat dan diharapkan oleh khalayak banyak.
Namun demikian, terkadang Mahasiswa tidak menunjukan jati diri yang sesungguhnya. Harapan besar masyarakat kepada Mahasiswa ternyata hanyalah sekedar harapan dikarenakan perilaku-perilaku mahasiswa yang tidak menunjukkan sosok seorang teladan. Malahan meresahkan masyarakat dengan pemikirinnya. Sebagai salah contoh, di UIN Sunan Ampel tahun lalu (2014) saat orientasi mahasiswa baru menggembar gemborkan spanduk bertuliskan "Tuhan membusuk" dengan dalih bahwa di sekitar wilayah tersebut nilai-nilai ketuhanan telah tidak ada. Namun jika demikian kenapa yang digugat Tuhan, kenapa bukan orang-orang yang tidak menjalankan aturan Tuhan, kenapa Tuhan yang disalahkan!. Pemikiran ini tidak jauh berbeda dengan pemikiran Nitscze (w. 1900) yang mengatakan God is Dead (Tuhan telah mati).
Mungkin, para Mahasiswa ini merasa "wah" dengan pemikiran barat ini, sebenarnya yang menjadi permasalahan bukan karena pemikiran barat dan timurnya, tetapi pemikiran yang masuk tidak direnungkan dan disaring dahulu, kalau dalam bahasa komputer copy paste. Kalau sekedar copy paste kenapa tidak mengcopy pemikiran yang baik-baik saja. Seperti Qurais shihab, Abul Hasan al-Asy'ari, al-Maturidi, Gusdur atau pemikir-pemikir Islam lainnya!.
Padahal, seharusnya, dikarenakan saat acara orientasi mahasiswa baru, terlebih lagi perguruan tinggi Islam. Alangkah lebih baiknya meneriakkan dan menuliskan di spanduk hal-hal yang semakin meneguhkan keimanan mahasiswa bukan malah semakin membingungkan mahasiswa sekaligus meresahkan masyarakat. Seperti "Tingkatkan Keimanan, Raih Kemuliaan" atau lain sebagainya. Perguruan tinggi Islam, lebih-lebih UIN, IAIN dan STAIN yang berada dibawah lindungan Departemen Agama seharusnya pula menjadi benteng pertahanan terhadap pemikiran-pemikiran nyleneh. Sekali lagi, bukan masalah pemikirian dari barat atau timur tetapi kemampuan menyaring yang sangat dibutuhkan. Sebagaimana halnya dulu pada masa kejayaan Islam, pada masa Dinasti Abbasiyah, semua pemikiran masuk dan dipelajari di dunia Islam, lebih-lebih dari Phitagoras, Socrates, Plato dan Aristoteles. Demikian juga di dunia barat, semua pemikiran masuk dan dipelajari disana termasuk dari pemikir Islam seperti Al-Farobi, Ibnu Sina, Ibnu Rusdy, Al-Khawarizmi dan lain-lainnya tak terkecuali. Membuang yang buruk dan mengambil yang baik. Tidak ada batas antara barat dan timur. Bukan hanya di UIN Sunan Ampel, Di IAIN Sunan Gunung Jati Bandung (Sekarang UIN) pada hari pelaksanaan orientasi Mahasiswa baru juga terdengar teriakan dan spanduk bertuliskan "Selamat Bergabung di Area Bebas Tuhan". Di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang UIN) meluluskan tesis berjudul "Menggugat Otentisitas al-Qur'an". Di STIKA Guluk-guluk (sekarang INSTIKA) terbit buletin Fajar dengan cover yang bertuliskan "Islam yes, Syari'ah Islam No" serupa selogan yang dilontarkan oleh Nurcholis Majdid yang mengatakan "Islam yes, Partai Islam No". Di perguruan Tinggi ini pula, diluluskan skripsi berjudul "Dekontruksi Tafsir Gender al-Qur'an" yang berisi gugatan bahwa al-Qur'an bias gender. Sungguh aneh. Padahal, INSTIKA sendiri adalah Perguruan Tinggi yang berada dibawah naungan pesantren. Tidak tahu, skripsi ini lulus sensor atau lulus dari sensor.
Namun kenyataanlah yang mengatakan seperti itu. Pantas saja suatu ketika Gusdur mengatakan bahwa ia tidak mempercayai bahwa para mahasiswa yang merupakan agen perubahan yang paling efektif
PTAI, layaknya oase di gurun pasir yang gersang, memberikan secercah harapan untuk tetap bertahan hidup bagi orang-orang yang hidup di daerah Gurun. Namun, jika airnya sudah kering, maka apa yang dapat kita timba lagi. Demikian juga dengan perguruan tinggi Islam, jika di kampus tersebut telah kering dari pemikiran-pemikiran yang semakin memajukan Islam, lalu apa yang dapat kita harapkan dari kampus berbasiskan Islam!. Mahasiswanya sudah bertingkah laku aneh dan menyimpang dari ajaran Islam sendiri. Justru saya pikir lebih aman kuliah di perguruan tinggi umum dari pada perguruan tinggi Islam, buat apa kuliah di perguruan tinggi Islam jika hanya menambah buruk pemikiran keislaman saja. Mending belajar tekhnologi dan pertanian dari pada Theologi.
 Disadari atau tidak, Pendidikan di Indonesia, lebih tepatnya di perguruan tinggi Islam telah kehilangan eksistensi dan wibawanya. Bagaimana saya tidak mau bilang begitu, kemauan sebagian mahasiswa yang serba instan semakin banyak. Tugas-tugas kuliah mengambil jalan pintas tanpa memperhatikan proses panjang yang baik. Sehingga, acapkali pemikirannya juga instan dan seringkali juga tidak utuh. Katakanlah ingin menjiplak pemikiran Friedrich Nitzscze, Muhammad Abduh, Harvey Cox, Kalr Marx dan lainnya, hanya tahu sepotong-potong diperparah lagi kurang dipertimbangkan secara matang. Sehingga, apa yang disampai kemuka umum hanya luapan emosi karena telah mengetahui sebagian kecil pemikiran orang lain. Tanpa dasar yang kuat dan wawasan yang luas, para mahasiswa menggembar-gemborkan pemikiran orang lain seolah-olah mereka telah mengetahuinya secara utuh. Padahal, kalimat "Proses yang baik akan menghasilkan hasil yang baik" sering kali kita dengar dimana-mana, di sekolah, bangku kuliah, televisi, radio dan di berbagai media.
Perguruan tinggi yang diharapkan dapat menjadi tameng kebodohan malah menjadi sarang sipilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) tidak utuh. Tidak tahu, apakah ini karena ada orang ketiga yang memang sengaja menyusupkan penyakit ini atau memang para mahasiswa yang kurang mengerti, namun yang pasti masalah Sipilis berkembang pesat di perguruan tinggi berbasis Islam dan lebih jarang di kampus-kampus umum. Sebenarnya saya pribadi tidak heran dengan hal ini karena biasanya (maaf) para mahasiswa jurusan usluhuddin kebanyakan mahasiswa buangan, buangan yang saya maksud di sini adalah mahasiswa yang mendaftar di fakultas lain namun karena tidak diterima atau nilai tes masuk tidak mencukupi maka dilempar ke fakultas usluhuddin dengan dalih bahwa di fakultas usluhuddin sedikit mahasiswa dan peminatnya. Seharusnya mahasiswa fakultas usluhuddin diisi oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dibidangnya, minimal punya dasar untuk mempelajari ilmu usluhuddin sehingga tidak banyak mahasiswa nyasar. Ada pemikiran baru, langsung copot sana-sini. Itupun bukan karena memahami, tetapi hanya karena ikut-ikutan belaka. Kemandekan berpikir membuat mereka mencari sensasi dengan cara meneriakkan pemikiran yang memang kontroversial. Seolah gagah karena telah menjiplak bahasa orang lain. Bukan karena kita takut terhadap tema-tema kontroversial melainkan karena kita prihatin melihat mahasiswa tidak mempunyai kreatifitas lebih. Kalau hanya meneriakkan Tuhan telah membusuk misalnya, apa gunanya. Ingin mengkritik masyarakat, bukan malah makin baik tetapi makin resah. Palingan yang didapatkan hanya kata "wah" karena telah berani melecehkan Tuhan.
Demikian uraian singkat ini, di akhir tulisan ini perlu kiranya saya mengutip kalimat Goenawan Muhammad (2013) “kritik adalah usaha bersama untuk mendekatkan diri kepada kebenaran, bukan pembenaran”. apa yang sampaikan hanya sebatas sumbangan gagasan saja. Maka, apabila terdapat kesalahan, kritik dan saran dipersilahkan dengan cara serupa dan menunjukkan kesalahan saya yang perlu diperbaiki. Wallahu A'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial