Kuasa Teknologi pada Peradaban Sosial Indonesia
“Make the lie big, make it simple, keep saying it, and eventually they will believe it.” (Adolf Hitler)
Seiring zaman yang terus bergerak, teknologi terus mengalami kemajuan, baik di bidang informasi, komunikasi dan transportasi. Hadir mesin-mesin yang terus adu kecanggihan antar perusahaan. Seolah menantang kehidupan untuk bisa terus dimanfaatkan. Hadir pula aplikasi-aplikasi super hebat untuk bisa mengeksiskan diri, memberikan fasilitas supaya bisa menunjukkan bahwa kita mempunyai ini dan itu, dari sekedar baju baru sampai isi baju.
Teknologi informasi dan komunikasi ini mempunyai dua dampak, baik dan buruk, terhadap kehidupan sosial masyarakat. Layaknya dua sisi pedang yang tak dapat dipisahkan. Sebagaimana halnya pedang, tergantung siapa yang menggunakan. Pedang di tangan seorang petani, bisa dapat membabat pohon berduri yang tumbuh liar di ladang. Di tangan tukang jagal, bisa digunakan untuk memotong leher sapi atau kambing. Di tangan tukang begal, perampok dan teroris, pedang bisa digunakan memotong leher sesama manusia sebagaimana selalu tersiar di berbagai media massa.
Struktur masyarakat Indonesia, dasarnya, merupakan masyarakat yang suka bergotong royong, membantu sesama dalam mengerjakan segala pekerjaan, lebih-lebih yang bersangkut paut dengan kebutuhan bersama. Struktur tanah Indonesia menggambarkan manusia-manusia yang menginjakkan kaki di atasnya. Tanah liat di Indonesia ini tak mudah bercerai berai, selalu mengikat satu sama lain. Jika tanah diambil, ia akan bergumpal. Tidak seperti padang pasir yang terbang ke sana ke mari mengikuti arah mata angin, tak memiliki daya untuk mempertahankan diri di tempat.
Akan tetapi, sungguh disayangkan, seiring hadirnya teknologi yang seolah sudah menjadi "tuhan" itu, tanah-tanah di bumi Indonesia mulai berubah. Tanah yang bergumpal, berangsur-angsur menjelma debu yang beterbangan mengotori kaca rumah. Cacing tanah tak lagi hidup mesra mengurai dan menyuburkan tanah. Sendainya para cacing tanah ini bisa berkata, mungkin mereka akan mengatakan, "Ya Tuhan, seandainya aku boleh memilih, aku ingin mati di tangan-Mu daripada di tangan manusia tak berperasaan itu." Mereka tak tahan lagi menanggung hidup karena serangan heroik pestisida yang disemprotkan oleh manusia-manusia dengan buah tekhnologinya yang serba cepat dan hegenis.
Cacing-cacing tanah itu, mungkin pula, akan mencacimaki manusia dengan berkata, "manusia egois, sungguh egois, tak pernah memikirkan kelangsungan hidup kita yang telah membantu menyuburkan tanahnya." Hanya saja, kita sebagai manusia tak mau menyadari semua itu.
Setiap manusia membutuhkan manusia yang lain, membutuhkan hidup bersosial. Namun kehidupan sosial yang indah itu, kini telah diganti perannya oleh media sosial. Buah tekhnologi yang mampu menguasai manusia. Hidup sosial di media sosial jauh lebih Ngetren dari pada hidup bersosial di tengah-tengah masyarakat.
Emil Durkheim pernah mengatakan, "semakin individu seseorang, maka semakin ia membutuhkan terhadap masyarakat lain."(Tony Rudiansyah, Emil Durkheim, Jakarta: Kompas, 2015, hal. 40) Sejauh sekilas mata, pernyataan Durkheim ini masih bisa dibenarkan, namun "butuh" di sini, menurut hemat saya, sudah mengalami perubahan makna. Jika dahulu kala, pada masa Durkheim, yang dimaksud butuh tehadap masyarakat lain ialah melakukan interaksi sosial. Akan tetapi, saat ini, ia benar butuh terhadap masyarakat lain, hanya saya sebatas butuh, tanpa melakukan interaksi secara fisik. Sekarang, berbelanja tinggal klik di toko-toko online, uang ditransfer ke nomor rekening. Melakukan komunikasi tinggal pencet, suara langsung terdengar, wajah langsung terpampang di layar kaca dengan bantuan kamera.
Sebenarnya bukan mesin-mesin dan aplikasi-aplikasi itu yang menjadi masalah utama, namun dampak yang ditimbulkan oleh alat-alat canggih itu yang menjadi permasalahan, bagi yang tidak menggunakan sebaik mungkin. Jika buah pikiran yang bernama tekhnologi itu dimanfaatkan dengan baik dan dicarikan solusi terhadap dampak buruknya, mungkin kehadiran alat canggih itu bukan suatu masalah. Masalahnya, masyarakat hanya memikirkan manfaatnya. Mereka sudah berani mengatakan "elu elu, gue gue" sudah egois kerena telah punya ini dan itu, bisa ini dan itu. Budaya gotong-royong sudah terkikis karena sudah hadir yang lebih hegenis, cepat, dan tepat untuk menyelesaikan semua pekerjaan.
Revolusi industri di Inggris menjadi awal semua ini. Semenjak saat itu, industri besar-besar terus dikembangkan dan disebarkan dengan dalih kita harus memanfaatkan sumber energi alam yang tersedia dan terpendam selama ini sebaik dan sebanyak mungkin.
Potensi alam terus dikeruk, masyarakat semakin obsesif untuk memilikinya.
Ahmad Baso memiliki pandangan berbeda mengenai masyarakat. Menurut Ahmad Baso dalam bukunya "Islam Nusantara" mengatakan bahwa masyarakat berasal dari kata "musyarokah" yang dimaknai gotong royong. (Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma' Ulama Indonesia, jilid 1, Jakarta: Pustaka Afid, 2015, hal. 30) Dalam kaidah Fiqih musyarakah berarti bagi hasil. Oleh karena itu, beliau menyimpulkan bahwa yang dimaksud masyarakat adalah sekelompok manusia yang melakukan pekerjaan secara gotong royong demi kemaslahatan orang banyak. Beliau, Ahmad Baso, kurang sependapat dengan terjemahan masyarakat menjadi society*(Ibid. hal., 195) oleh orang barat. Sejauh saya memahami, pandangan Ahmad Baso ini ditinjau dari struktur sosial yang berbeda antara masyarakat barat dan masyarakat Nusantara, lebih tepatnya masyarakat Indonesia.
Maha benar teknologi yang telah menguasai peradaban dengan segala informasi dan kenyamanannya itu, lambat laun, baik disadari atau tidak, telah mengubah tabiat sosial masyarakat Indonesia. Jika dahulu berjalan ke pasar masih beramai-ramai, sekarang sudah ada kendaraan-kendaraan pribadi. Jika dahulu saat hendak bertamu ketika sampai depan rumah si tuan mengucapkan salam, sedangkan sekarang bila sudah sampai di depan rumah si tuan, mengambil hp dan menghubungi orang di dalam dengan berkata, "halo, saya sudah berada di depan rumahmu, cepat keluar."
Semua yang datang dari Barat seolah sudah menjadi kebenaran, sedangkan yang dari timur seolah kekerasan, dan sesuatu yang datang dari Indonesia sendiri dianggap menjadi sebuah keterbelakangan. Padahal, terkadang yang datang dari barat adalah sesuatu yang ngaco', pergaulan yang tak sehat, tetapi itulah media dengan kemaha kuasaannya.
Sampai di sini, benar apa yang dikatakan oleh Adolf Hitler seperti yang saya kutip di awal tulisan ini. Kita cukup mengatakannya berulang-ulang kesalahan-kesalahan kita, orang akan membenarkannya. Di setiap masalah yang digembar-gemborkan secara berulang-ulang, pasti ada sesuatu yang ditutupi di dalamnya.
Apa yang akan terjadi pada generasi bangsa ini 20 atau 30 tahun mendatang, jika hal ini tidak dicarikan jalan keluar? Apalagi jika seperti yang ditafsir oleh Tere Liye di tahun 2045 mendatang dalam novelnya yang berjudul "Hujan", semua serba canggih, mendesain dan membuat baju secepat mencetak kertas, mobil tak lagi butuh sopir, membuat makanan tinggal klik. Semua orang akan semakin individualis dan lebih mengedepankan keeksisan diri. Sudah saatnya bukan lagi menyalahkan jaman, saatnya melakukan gerakan peduli lingkungan dan kehidupan bersosial demi berlangsungnya kehidupan yang aman, nyaman, tenteran dan bersahaja. Gunakan tekhnologi sebaik mungkin dan seefisien mungkin.
Mengakhiri tulisan ini, layak kiranya mengutip penggalan syi'ir Imam Syafi'i:
Kita menghina zaman, padahal kehinaan pada diri kita
Tidak ada kehinaan pada zaman, dan tidak pula pada yang lain
Suci bersih zaman ini, kalau dia bisa berkata kepada kita sucikanlah dirimu.
Semoga hadirnya tekhnologi di tengah-tengah masyarakat Indonesia ke depannya membawa kesejahteraan masyarakat. Tulisan ini hanya merupakan fakta-fakta lapangan yang kemudian bisa kita telaah untuk dicarikan solusi bersama demi tatanan sosial yang lebih baik.
Komentar
Posting Komentar