Nekad
"Waah, kamu hebat yaa! Kamu memang punya bakat untuk menjadi penulis"
Kalimat itu yang sering saya dengar dari teman-temanku karena aku menjadi juara 3 lomba menulis karya ilmiah remaja se-Madura.
Mereka menganggap, apa yang aku capai karena bakat. Padahal, seandainya meraka mau tahu dibalik semua kemenenganku, saya yakin mereka tidak lagi mengatakan bahwa aku juara semata-mata karena bakat. Aku, yang aku ketahui. Bekalku adalah tekad. Ya, berkat tekad dan sedikit nekad, aku berusaha menjadi yang terbaik.
Aku memberanikan diri keluar dari kotak hitam kehidupan teman-temanku. Walaupun aku hanya seorang diri, aku tak peduli. Aku hadapi semua tantangan.
Waktu itu, teman-teman sejawatku selalu menghabiskan waktunya untuk nongkrong di parkir, di kantin, di taman, atau di tempat-tempat yang nyaman untuk nongkrong. Mereka, berbicara tentang tekhnologi, kekasih mereka, kelihaian mereka merayu wanita, kehebatan mereka mengendarai motor, bahkan pengalaman mereka karena telah menaklukkan banyak cewek.
Itupun tak pernah ada habisnya dibahas setiap hari. Saya menyadari, bahwa remaja seperti kami memang sedang dalam masa pencarian jati diri. Ingin diakui ke-aku-annya. Mencari perhatian dari lawan jenis, dari rekan-rekan remaja yang lain yang kadang tidak masuk akal. Bagaimana tidak, hanya demi diakui ke-aku-an mereka, mereka mengecat rambut meraka menjadi merah, memodifikasi motor mereka menjadi bolong-bolong, mengganti knalpot standart menjadi knalpot bersuara nyaring dan lain-lain. Sedangkan aku, tidak melakukan hal itu. Selain karena aku tak punya motor dan biaya untuk diakui ke-aku-anku melalui materi, aku juga tidak senang jalan hidup seperti itu.
Setiap hari, setiap jam istirahat di sekolah, aku menghabiskan waktuku membaca buku di perpustakaan. Jikalau perpustakaan sedang tutup, aku tetap menyendiri membaca buku yang aku bawa dari rumah di bawah pohon cemara di samping sekolah. Ketika aku keluar perpustakaan, teman-temanku bersorak-sorak kepadaku, mengolok-ngolokku. Aku tak menghiraukan mereka.
Biarlah suara mereka menghilang bersamaan desiran angin, sepeti ungkapan orang Romawi Kuno "verba volant, scripta manent."
" Hei! Dukun, nanti hujan atau tidak?" begitulah kata temanku saat aku bertemu mereka. Sesudah mereka mereka mengatakan itu padaku, mereka akan tertawa terbahak-bahak.
"Culun, culun, ke sini ayo gabung dengan kita" panggil seorang temanku.
"Iya benar, kutu buku, mari ke sini. Jangan hanya baca buku saja kamu, entar botak." tambah yang lain.
"hahahahaha"
kujawab semua itu dengan senyuman. Kuanggap, mereka masih belum sadar saja bahwa membaca itu benar-benar penting. Terutama demi kelanjutan dan kesuksesan dunia akademik.
Suatu ketika, aku mendapat kabar dari temanku bahwa ada lomba KIR (Karya Ilmiah Remaja) tingkat SMA/sederajat se-Madura. Aku bertekat untuk bisa berpartisipasi dalam lomba itu, yang diselenggarakan oleh salah satu Universitas di Sumenep. Oleh karena itu, aku semakin meningkatkan kegiatan membacaku. Setiap hari, semenjak aku mengetahui pengumuman itu, aku targetkan harus membaca seratus halaman.
Capek membaca di rumah, aku pindah ke luar rumah, kadang aku membaca di bawah pohon Jati yang jaraknya agak dekat rumahku, kadang pula, aku membaca di tempat teduh, beralaskan hamparan rumput yang menghijau. Aku mengumpulkan data-data untuk aku tulis kemudian hari.
Ketika sudah hampir tiba deadline lomba, maka baru aku menulisnya. Alhasil, di kemudian hari aku masuk sepuluh besar, mempresentasikan tulisan dan menjadi juara tiga.
Proses itulah yang sering dilupakan teman-temanku. Aku juara, bukan semata-mata karena bakat, sebagaimana mereka katakan padaku.
Sebagai remaja, aku juga pencinta wanita, penikmat keindahan dunia, namun aku tahan semua gejolak nafsuku demi masa depan yang lebih baik karena aku yakin akan bunyi hadist subbahu al-yauum, rijaalu al-wadaa' (pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan) dan ibda' binafsih (mulailah dari diri sendiri).
*Penulis adalah Mahasiswa INSTIKA, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura
Kalimat itu yang sering saya dengar dari teman-temanku karena aku menjadi juara 3 lomba menulis karya ilmiah remaja se-Madura.
Mereka menganggap, apa yang aku capai karena bakat. Padahal, seandainya meraka mau tahu dibalik semua kemenenganku, saya yakin mereka tidak lagi mengatakan bahwa aku juara semata-mata karena bakat. Aku, yang aku ketahui. Bekalku adalah tekad. Ya, berkat tekad dan sedikit nekad, aku berusaha menjadi yang terbaik.
Aku memberanikan diri keluar dari kotak hitam kehidupan teman-temanku. Walaupun aku hanya seorang diri, aku tak peduli. Aku hadapi semua tantangan.
Waktu itu, teman-teman sejawatku selalu menghabiskan waktunya untuk nongkrong di parkir, di kantin, di taman, atau di tempat-tempat yang nyaman untuk nongkrong. Mereka, berbicara tentang tekhnologi, kekasih mereka, kelihaian mereka merayu wanita, kehebatan mereka mengendarai motor, bahkan pengalaman mereka karena telah menaklukkan banyak cewek.
Itupun tak pernah ada habisnya dibahas setiap hari. Saya menyadari, bahwa remaja seperti kami memang sedang dalam masa pencarian jati diri. Ingin diakui ke-aku-annya. Mencari perhatian dari lawan jenis, dari rekan-rekan remaja yang lain yang kadang tidak masuk akal. Bagaimana tidak, hanya demi diakui ke-aku-an mereka, mereka mengecat rambut meraka menjadi merah, memodifikasi motor mereka menjadi bolong-bolong, mengganti knalpot standart menjadi knalpot bersuara nyaring dan lain-lain. Sedangkan aku, tidak melakukan hal itu. Selain karena aku tak punya motor dan biaya untuk diakui ke-aku-anku melalui materi, aku juga tidak senang jalan hidup seperti itu.
Setiap hari, setiap jam istirahat di sekolah, aku menghabiskan waktuku membaca buku di perpustakaan. Jikalau perpustakaan sedang tutup, aku tetap menyendiri membaca buku yang aku bawa dari rumah di bawah pohon cemara di samping sekolah. Ketika aku keluar perpustakaan, teman-temanku bersorak-sorak kepadaku, mengolok-ngolokku. Aku tak menghiraukan mereka.
Biarlah suara mereka menghilang bersamaan desiran angin, sepeti ungkapan orang Romawi Kuno "verba volant, scripta manent."
" Hei! Dukun, nanti hujan atau tidak?" begitulah kata temanku saat aku bertemu mereka. Sesudah mereka mereka mengatakan itu padaku, mereka akan tertawa terbahak-bahak.
"Culun, culun, ke sini ayo gabung dengan kita" panggil seorang temanku.
"Iya benar, kutu buku, mari ke sini. Jangan hanya baca buku saja kamu, entar botak." tambah yang lain.
"hahahahaha"
kujawab semua itu dengan senyuman. Kuanggap, mereka masih belum sadar saja bahwa membaca itu benar-benar penting. Terutama demi kelanjutan dan kesuksesan dunia akademik.
Suatu ketika, aku mendapat kabar dari temanku bahwa ada lomba KIR (Karya Ilmiah Remaja) tingkat SMA/sederajat se-Madura. Aku bertekat untuk bisa berpartisipasi dalam lomba itu, yang diselenggarakan oleh salah satu Universitas di Sumenep. Oleh karena itu, aku semakin meningkatkan kegiatan membacaku. Setiap hari, semenjak aku mengetahui pengumuman itu, aku targetkan harus membaca seratus halaman.
Capek membaca di rumah, aku pindah ke luar rumah, kadang aku membaca di bawah pohon Jati yang jaraknya agak dekat rumahku, kadang pula, aku membaca di tempat teduh, beralaskan hamparan rumput yang menghijau. Aku mengumpulkan data-data untuk aku tulis kemudian hari.
Ketika sudah hampir tiba deadline lomba, maka baru aku menulisnya. Alhasil, di kemudian hari aku masuk sepuluh besar, mempresentasikan tulisan dan menjadi juara tiga.
Proses itulah yang sering dilupakan teman-temanku. Aku juara, bukan semata-mata karena bakat, sebagaimana mereka katakan padaku.
Sebagai remaja, aku juga pencinta wanita, penikmat keindahan dunia, namun aku tahan semua gejolak nafsuku demi masa depan yang lebih baik karena aku yakin akan bunyi hadist subbahu al-yauum, rijaalu al-wadaa' (pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan) dan ibda' binafsih (mulailah dari diri sendiri).
*Penulis adalah Mahasiswa INSTIKA, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura
Komentar
Posting Komentar