Surat Pembantaian
Aku tak punya keris sesakti keris Mpu Gandring milik Ken Arok atau sekuat Pedang Naga Puspa milik Arya Kamandanu, tapi aku punya kata-kata serupa “Syair Berdarah" Arya Dwipangga. Aku tahu dan sadar, kata-kata tak cukup untuk menaklukkan Mei Shin seperti Kamandanu dan menaklukan Ken Dedes seperti Arok. Aku sadar itu.
Aku ingin membantaimu dalam surat ini. Perempuan selalu merepotkan. Jika melakukan hal-hal baik pada perempuan, mereka sangka, laki-laki kerap kali dianggap menaruh hati. Perempuan bisa sekehendak hati memutuskan. Kalimat ini memang njlimet, sejlimet perempuan.
Beberapa kisah di bawah ini hanya contoh.
Suatu ketika aku bekerja di kantor, ngetik tulisan. Sebagai seorang kuli tinta waktu itu, saya dikejar deadline. DL jam 17. 00. Sekitar jam 15. 30, ada seorang teman perempuan minta bantuan untuk dicarikan buku.
Kantor saya dekat toko buku, sekitar 400 meter. Saya sanggup, tidak banyak bicara (karena diburu DL) saya langsung berhenti ngetik, meluncur menggunakan motor ke toko buku untuk mencari buku yang dimaksud.
Buku yang dimaksud tidak ada di toko buku. Saya bilang tidak ada ke yang bersangkutan. Ia tidak percaya saya sudah di toko buku, minta foto, saya foto. Bukan bilang terima kasih, malah bilang “siapa suruh pergi ke toko buku.”
Saya mangkel. Saya jadi tidak mengerti bagaimana maksud minta tolong dicarikan buku, mau beli. Ia masih saja banyak cingcong bla bla bla lanjut minta bantuan. Saya tidak begitu respon, hal ini meredam kemarahan saya, saya mau marah-marah juga malas, tidak ada gunanya.
Sejak saat itu, saya tidak begitu menghiraukan lagi ketika perempuan itu mau minta bantuan. Jangan harap kau akan mendapatkan kepercayaanku lagi, black list.
Cerita kedua. Kejadian ini jauh lebih dulu dari kejadian yang pertama, ketika saya masih MA. Ada seorang teman perempuan minta bantuan untuk dicarikan rok warna putih ke teman-temanku. Katanya, besok ia akan tampil sebagai salah satu tim paduan suara di sebuah acara. Sore itu dia belum juga mendapatkan rok itu.
Saya hubungi semua teman-temanku. Yes, ada teman yang punya. Aku marani rok itu menjelang maghrib, azan magrib saat perjalanan pulang. Saya kasih tahu bahwa roknya sudah dapat, spesifikasinya saya utarakan. Ia minta diantar. Saya antar setelah isya', motor saya pinjam saat itu karena belum punya. Gulita malam, jalan berkelikir dan berlubang saya tempuh. Rok serah terima, saya langsung pulang. Irit kata-kata, saya selalu gugup ketika berhadapan dengan perempuan saat itu, sekarang pun kadang masih.
Saya lega bisa membantu. Akan tetapi, yang membuat saya sakit hati, rok itu tidak dipakai karena kekecilan. Beberapa hari setelah serah-terima ia mengatakan kepadaku. Lebih ngenesnya lagi, ia tahu sejak awal bahwa rok itu tidak akan muat. Kalau memang sudah tahu tidak muat, kenapa masih minta diantar, dul? Buang-buang waktu dan tenaga saja. Saya lebih senang terus terang saja dari awal, kan tidak perlalu ada lebih banyak tenaga dan waktu yang dibuang percuma. Perempuan ini bernasib sama dengan perempuan pertama, black list.
Cerita Ketiga. Ini saya tidak begitu tega menceritakannya. Semoga kamu tidak mati atau sakit karena kata-kataku, bagaimana pun, saya harus utarakan ini. Ada seorang perempuan minta bantuanku untuk mengambil sebuah berkas PKL ke rumahnya, di rumahnya hanya ada mbahnya, lalu discan dan dikirim. Saya mau saja, saya berangkat sore itu dengan temanku. Aku mengajak teman karena menjaga berbagai kemungkinan, salah satunya kemungkinan gugup. Sore itu si mbah tidak ada di rumah, saya langsung pulang dan langsung ke acara TM. Saya telat, TM sudah selesai.
Ia minta malamnya suruh lagi, biasanya si mbah kalau malam selalu ada. Aku tidak mau, pamali ke rumah perempuan malam-malam. Saya rekomendasikan seorang teman perempuanku yang juga teman perempuannya untuk marani. Katanya ia tidak punya kontaknya. Ia minta paginya kepadaku. Pagi, sekitar jam 07. 30, saya sampai di rumahnya. Si mbah tidak ada. Saya chat, lalu balasannya “Oh iya lupa bilang. Tantri yg mau ngambilin. Hehe. Maap yaa.”
Nasib perempuan ini tidak seperti pertama dan kedua, masih ada faktor lupa untuk ditolerir.
Menyebut mereka “perempuan" bukan “wanita" ada bentuk penghormatan tertinggiku untuk mereka. Semoga menjadi perempuan-perempuan hebat. Jangan anggap laki-laki berbuat baik pada kalian karena ada rasa, lalu kau melakukan berbagai kesewenang-wenangan, kadang mereka berbuat karena memang sudah perilaku baik mereka, atas nama kebaikan, bukan yang lain. Namun, mungkin saja ada alasan lain, ada maunya.
Tempat PKD, Nurul Huda, Ging-Ging, 17 Januari 2020 09. 24
Aku ingin membantaimu dalam surat ini. Perempuan selalu merepotkan. Jika melakukan hal-hal baik pada perempuan, mereka sangka, laki-laki kerap kali dianggap menaruh hati. Perempuan bisa sekehendak hati memutuskan. Kalimat ini memang njlimet, sejlimet perempuan.
Beberapa kisah di bawah ini hanya contoh.
Suatu ketika aku bekerja di kantor, ngetik tulisan. Sebagai seorang kuli tinta waktu itu, saya dikejar deadline. DL jam 17. 00. Sekitar jam 15. 30, ada seorang teman perempuan minta bantuan untuk dicarikan buku.
Kantor saya dekat toko buku, sekitar 400 meter. Saya sanggup, tidak banyak bicara (karena diburu DL) saya langsung berhenti ngetik, meluncur menggunakan motor ke toko buku untuk mencari buku yang dimaksud.
Buku yang dimaksud tidak ada di toko buku. Saya bilang tidak ada ke yang bersangkutan. Ia tidak percaya saya sudah di toko buku, minta foto, saya foto. Bukan bilang terima kasih, malah bilang “siapa suruh pergi ke toko buku.”
Saya mangkel. Saya jadi tidak mengerti bagaimana maksud minta tolong dicarikan buku, mau beli. Ia masih saja banyak cingcong bla bla bla lanjut minta bantuan. Saya tidak begitu respon, hal ini meredam kemarahan saya, saya mau marah-marah juga malas, tidak ada gunanya.
Sejak saat itu, saya tidak begitu menghiraukan lagi ketika perempuan itu mau minta bantuan. Jangan harap kau akan mendapatkan kepercayaanku lagi, black list.
Cerita kedua. Kejadian ini jauh lebih dulu dari kejadian yang pertama, ketika saya masih MA. Ada seorang teman perempuan minta bantuan untuk dicarikan rok warna putih ke teman-temanku. Katanya, besok ia akan tampil sebagai salah satu tim paduan suara di sebuah acara. Sore itu dia belum juga mendapatkan rok itu.
Saya hubungi semua teman-temanku. Yes, ada teman yang punya. Aku marani rok itu menjelang maghrib, azan magrib saat perjalanan pulang. Saya kasih tahu bahwa roknya sudah dapat, spesifikasinya saya utarakan. Ia minta diantar. Saya antar setelah isya', motor saya pinjam saat itu karena belum punya. Gulita malam, jalan berkelikir dan berlubang saya tempuh. Rok serah terima, saya langsung pulang. Irit kata-kata, saya selalu gugup ketika berhadapan dengan perempuan saat itu, sekarang pun kadang masih.
Saya lega bisa membantu. Akan tetapi, yang membuat saya sakit hati, rok itu tidak dipakai karena kekecilan. Beberapa hari setelah serah-terima ia mengatakan kepadaku. Lebih ngenesnya lagi, ia tahu sejak awal bahwa rok itu tidak akan muat. Kalau memang sudah tahu tidak muat, kenapa masih minta diantar, dul? Buang-buang waktu dan tenaga saja. Saya lebih senang terus terang saja dari awal, kan tidak perlalu ada lebih banyak tenaga dan waktu yang dibuang percuma. Perempuan ini bernasib sama dengan perempuan pertama, black list.
Cerita Ketiga. Ini saya tidak begitu tega menceritakannya. Semoga kamu tidak mati atau sakit karena kata-kataku, bagaimana pun, saya harus utarakan ini. Ada seorang perempuan minta bantuanku untuk mengambil sebuah berkas PKL ke rumahnya, di rumahnya hanya ada mbahnya, lalu discan dan dikirim. Saya mau saja, saya berangkat sore itu dengan temanku. Aku mengajak teman karena menjaga berbagai kemungkinan, salah satunya kemungkinan gugup. Sore itu si mbah tidak ada di rumah, saya langsung pulang dan langsung ke acara TM. Saya telat, TM sudah selesai.
Ia minta malamnya suruh lagi, biasanya si mbah kalau malam selalu ada. Aku tidak mau, pamali ke rumah perempuan malam-malam. Saya rekomendasikan seorang teman perempuanku yang juga teman perempuannya untuk marani. Katanya ia tidak punya kontaknya. Ia minta paginya kepadaku. Pagi, sekitar jam 07. 30, saya sampai di rumahnya. Si mbah tidak ada. Saya chat, lalu balasannya “Oh iya lupa bilang. Tantri yg mau ngambilin. Hehe. Maap yaa.”
Nasib perempuan ini tidak seperti pertama dan kedua, masih ada faktor lupa untuk ditolerir.
Menyebut mereka “perempuan" bukan “wanita" ada bentuk penghormatan tertinggiku untuk mereka. Semoga menjadi perempuan-perempuan hebat. Jangan anggap laki-laki berbuat baik pada kalian karena ada rasa, lalu kau melakukan berbagai kesewenang-wenangan, kadang mereka berbuat karena memang sudah perilaku baik mereka, atas nama kebaikan, bukan yang lain. Namun, mungkin saja ada alasan lain, ada maunya.
Tempat PKD, Nurul Huda, Ging-Ging, 17 Januari 2020 09. 24
Komentar
Posting Komentar