Sketsa Wajah
Aku “digempur” para gamers. Aku merasa gelisah, aku tidak terbiasa dalam suasana seperti ini. Kopiku sudah kabis, kantukku hilang. Aku berada di sebuah kos teman di Pamekasan. Mereka para jurnalis kampus. Tadi siang, mereka bergebu-gebu bicara soal dunia pers. Aku tanya mereka tentang liputan apa saja yang mereka baca, yang berkesan. “Saya tidak tahu kalau urusan buku,” katanya. “Loh, katanya kamu pengurus ... (disensor).”
Aku ingin ngobrol dengan mereka lebih banyak tentang dunia mereka, tetapi mereka menunjukkan dunia mereka padaku, dunia game. Aku sudah seperti hakim saat ini.
Aku tidak ngantuk, menulis adalah salah satu cara mengenyahkan kejenuhanku ini.
Surat ini adalah teman setiaku, ia menampung apa saja yang aku utarakan.
***
Kamu yang terdiam dalam keheningan, membiarkanku melakukan apa saja menikmati kesunyian. Kesunyin demi kesunyian kulalui, temaran lampu, suara jangkrik, dan hewan-hewan yang tidak kutahu rupanya akrab di telingaku.
Seberkas wajah kosong melintas dalam benakku, ingin kunarasikan wajah itu. Aku tak bisa masuk dalam imajinasi itu lebih dalam. Aku ingin lebih dekat, sedekat nadi dan nafas dalam tubuhku. Jari-jariku tak bisa memegang jari-jari lentik itu. Ia menghilang saat berusaha kuraih.
“Kamu siapa?” kataku.
Ia tak menjawab, segurat senyum di bibirnya merekah. Hanya bibirnya yang semakin jelas kulihat, wajahnya masih serupa lukisan tak utuh dalam kanvas. Jari-jariku tak bisa berhenti mengetik huruf demi hurut tentang sosoknya. Aku ingin berhenti sejenak, ingin melihatnya lebih jeli bayangan itu. "Aku akan memandangmu."
Sudah lama kupandangi wajah itu. Semakin jelas gurat wajahnya, semakin jelas beberapa helai ramputnya. Dalam sekejap, ada sebuah tangan dari sisi kanan menghapus bayangan itu. Serentak hilang semua.
Aku ingat-ingat kembali, di bagian tengah ada dua garis bengkok, aku pikir itu hidung. Garisnya pendek, paling hidungnya pesek. Ya, aku yakin hidungnya pesek. Aku masih belum bisa mereka wajahnya seperti apa, lonjong atau lebar atau bundar. Dagunya sedikit terbentuk, tampaknya sedikit lancip. Ah, tangan brengsek, aku tak bisa melihatnya lebih dari itu.
Tangan siapa itu! Apakah itu tangan pengkhayal lain seperti diriku yang mengkhayalkan orang yang sama? Siapa berani-beraninya mengkhayalkan perempuan yang sama denganku. Siapa yang mengkayal lebih dulu di antara kita? Atau mungkin dia pelukis wajah itu! Ini gawat, gawat, gawat. Aku bisa kalah. Aku harus berjuang untuk khayalanku sendiri. Takkan kubiarkan khayalan lain itu mengganggu khayalanku. Orang brengsek!
Gamers di sampingku masih riuh, “welcome to enemy,” “double kill,” itu yang kudengar. Suara seorang wanita dari dalam ponsel. Gamers misuh-misuh tanpa saling menatap.
Selamatkan aku dari gempuran ini. Bawa aku kembali pada sketsa wajah perempuan yang selalu hadir dalam benakku itu. Aku ingin dia menemani sepiku. Sebelum jari-jariku menjadi badai angin, cepatlah datang kau perempuan. Lihat aku sekali lagi, tersenyumlah sekali saja, akan kukenang sepanjang usia.* Datanglah dalam kenyataanku, aku menunggumu. Ijinkan aku menghapus air mataku di pipimu.
Pamekasan, 8 Januari 2019, 00. 28.
*Potongan puisi Sofyan RH. Zaid
Komentar
Posting Komentar