Kenangan dari Aceh



Hai, kamu. Aku tidak tahu kamu siapa. Aku bingung mau dikirim kepada siapa suratku ini. Saat ini aku berada di Cafe Surya, Pamekasan. Aku ke sini untuk menemui temanku dari Aceh, Rahmat Ali/Maheng/Rahmat Ismail.

Maheng banyak menceritakan hal-hal menarik, mulai dari pertikaian GAM dan TNI di tanah kelahirannya, pengalamannya menjadi jurnalis online di Jakarta, kuliah, percintaan, dan beberapa perjalanan hidupnya. Aku sangat senang bertemu dengannya, banyak berbagi pengalaman.
Maheng adalah salah satu korban Tsunami Aceh, ia dan keluarganya selamat.

Perjalanan hidupnya penuh lika-liku, menurutku sangat mengerikan. Suatu ketika, ia melihat sendiri di depan mata kepalanya seorang GAM yang nyaris membunuh ayahnya dengan cangkul, badan ayahnya sudah dibekuk, dinaiki layaknya kuda, namun selamat karena keburu datang tentara sehingga tentara GAM itu kabur sebelum sempat mencangkul ayahnya. Pernah pula seorang TNI memopor ayahnya karena disangka bagian dari GAM. Kemudian hari, seorang TNI yang memopor ayahnya itu minta maaf karena telah salah sangka. Ia dan keluarga sempat berpisah karena diburu oleh orang-orang GAM. Ia diadopsi orang. Bukan hanya sekali ayahnya dihajar, jika ada orang sipil berjalan sendirian, langsung hajar. Tulang bahunya patah.

Menulis hura-hara di tanah kelahirannya itu menjadi sebuah novel. Katanya, ia menulis dengan penuh emosi karena ia menyaksikan sendiri peristiwa kelam itu. Sayang, file komputernya diobok-obok temannya. File novelnya hilang. Ia sempat frustasi, tak mau lagi menulisnya.

Saat tsunami, ia masih berada di Aceh, tetapi waktu itu ia tidak terkena langsung bah tsunami. Ia ada di sebuah desa yang tidak terjangkau air bah. Waktu ia mendengar sebuah ledakan, orang-orang berkerumun, “memangnya masih mau perang, kan tentara sudah tidak ada?” katanya meniru ucapan seseorang menjelang musibah itu terjadi. Getaran gempa, menurutnya tidak terlalu kuat, sekitar 5 SR. Air laut menjangkau daratan sampai 8 km. Menurutnya, di Aceh waktu itu tidak ada istilah tsunami. Tahunya air laut meluap. “Air laut meluap bagaimana?” Ia meniru ekspresi orang yang kaget waktu itu.

Di Aceh tidak pernah terjadi tsunami sebelumnya. Itu pertama kali. Ia berargumen, seandainya Aceh tidak tertimpa tsunami, mungkin Aceh sudah merdeka. Prinsip orang Aceh’ “Lebih baik mati daripada menyerah.” Dentuman saat itu, awal mula tsunami terjadi.

Seusai tsunami, helikopter-helikopter yang membaca sembako beterbangan di Aceh. Orang-orang dalam helikopter itu melemparkan sembako dari udara. Hal itu berlangsung tidak lama sesudah tsunami.

Di dunia jurnalis, ia mendapatkan gaji yang lumayan banyak. Per tulisan 50 ribu untuk straight news dan satu foto, 75 ribu untuk features dan satu foto. Dalam satu hari ia mampu menulis 4-20 berita. Pernah suatu ketika, ia menulis dua berita sekaligus, dua tangannya mengetik tulisan masing-masing, “kalau sudah tekanan bisa,” katanya.

Suatu ketika, ia pernah dikejar orang berbaju preman saat meliput tentang lahan yang hendak dibangun bandara. Ia berhasil selamat, sembunyi di sebuah ruangan.

Ia terbiasa meliput sampai jam 1 malam. Lama kelamaan ia merasa tidak kuat, ia tidak mau menjelaskan ia bertahan berapa lama di media itu.

Kuliahnya masih belum selesai, semester 11. Ia menanggalkan pekerjaannya untuk kembali fokus kuliah. Ia ingin lulus tahun ini untuk memenuhi harapan orang tuanya. Katanya ia akan menikah dalam waktu dekat, aku tidak tahu yang ia maksud “waktu dekat” berapa lama. Orangnya ganteng. Ceweknya orang Sunda. Darah Aceh-Sunda akan bersatu.


Aku bercerita tentang khayalanku, tentang kekasihku yang masih belum ada di sisiku (memang belum ada sih), rencana pernikahanku seusai lulus kuliah. Ia seangkatan denganku, tahun 2014.

Saat kutulis surat kabar ini, dia sedang tidur di samping kananku, di kursi kafe. Di luar hujan. Kami menunggu hujan reda. Kopi hitamku masih tinggal separuh cangkir. Kopiku tidak dikasih gula tapi tidak terasa pahit. Suasana batinku masih “manis-manisnya” mengingat sesosok perempuan yang benar-benar manis dalam bayanganku.

Aku tidak menulis beberapa bagian cerita penting yang ia ceritakan kepadaku, demi menjaga privasi orang lain, dan dugaan-dugaan yang tidak terbukti. Aku ingin bercerita lebih banyak lagi, tentang cinta, cita-cita, ratapan, dan harapan.

Seorang perempuan berkulit putih dengan postur tubuh pendek, berkerudung warna krim, baju putih bermotif bunga-bunga, berlengan panjang warna merah, sibuk foto-foto. Berbagai latar kafee yang penuh dengan ornamen, hiasan, lukisan, ia “tempel” untuk foto-foto.

Aku ingin menatapnya, tapi takut membuatku lupa pada “yang di rumah.”

Salam, semoga kabar beritaku bermanfaat bagimu.

Pamekasan, Selasa, 7 Januari 2019 21. 27

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tarekat Qadiriyah

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Pendidikan Sosial