Pulau Surga
Aku tiba di pelabuhan Bringsang, Gili Genting. Ini adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pulau itu. Aku datang untuk liputan. Motor smash merah tahun 2006 ‘ku bawa menyeberang lautan. Selama ini, Pulau Gili Genting hanya sebuah khayal bagiku. Aku terobsesi untuk menjelajah dari pulau ke pulau, bukan dari dari luka ke perih.
Aku menyusuri garis pantau, mengamati setiap gazebo, mencari seorang perempuan yang telah menungguku sejak pukul 09. 00, saat itu sudah pukul 10. 39 WIB. Aku telepon untuk memastikan keberadaannya. “I see you, terus ke arah barat,” katanya di seberang telepon.
Ada seorang perempuan yang tak terlihat jelas wajahnya dadahdadah kepadaku di kejauhan, dalam sebuah warung yang tutup. Aku pikir, pasti dia. Pertemuan ini adalah pertemuanku dengannya untuk kedua kalinya. Ada seorang perempuan mengenakan masker berwarna biru di depannya, aku tanya, namanya Ifa.
Nama temanku, Sri. Ia yang selalu hidup dalam khayalanku selama ini. Melihat dirinya, aku merasa berada di Pulau Surga, ia bidadarinya. Andai saja aku punya keberuntungan seperti keberuntungan Jaka Tarub, akan kucuri selendangnya, kubawa pulang.
Jaka Tarub hanya sebuah legenda. Akan kucuri hati bidadari itu. Melihatnya, jiwa jombloku bergetar hebat.
Pasir putih terhampar luas. Puluhan home stay berjajar dengan indahnya di tepi pantai. Ada sebuah warung makan buka tepat di tengah antara kanan dan kiri jajaran home stay. Tulisan “Pantai Sembilan" berdiri tegak, di ujung barat dan ujung timur. Para wisatawan bercengkrama dengan teman atau pasangannya masing-masing.
Aku teringat pertanyaan salah satu awak sampan yang aku tumpangi, “kamu kok sendiri, tidak bawa pacar, kayak mereka,” sambil menunjuk beberapa muda-mudi di belakangku. Aku duduk di ujung sampan, duduk bersila dengan laki-laki separuh baya itu.
“Perempuanku menunggu di pulau,” batinku.
Di mulut, aku berkata, “gak apa-apa, santai saja.”
Perempuan bidadari saat ini sudah ada di depanku. Tak ada selendang yang ia pakai. Ia mengenakan baju merah darah, bercelana putih, berkerudung hitam, mengenakan lipstik merah tua. Terdapat sebuah gelang hitam di pergelangan tangannya.
Aku mengamatinya sambil basa-basi seputar makanan, keadaannya, keadaan pulau itu, dan sejarah mengenai Pantai Sambilan yang terbilang kesohor dalam tiga tahun terakhir. Wajahnya bulat, berkulit putih, bukan putih susu, putihnya ada gelap-gelapnya, putih kecoklatan.
Aku betah di Pulau Surga. Mungkin si bawah beberapa tingkat seperti betahnya Nabi Idris As. saat berkunjung ke Surga, ia tak ingin kembali, namun harus kembali. Aku pun juga harus kembali ke kampung halaman, betapa pun betahnya aku di sana.
Matahari mulai menyingsing ke arah barat, kami bertiga berjalan beriringan menuju masjid di sebelah barat pantai. Beberapa pemuda yang sedang bermain domino mengamati kami yang berjalan berjajar berdua, Ifa ada di depan kami. Salah satu pemuda itu memanggil Sri yang telah berlalu dari hadapannya dengan sebutan berbeda sebagaimana aku ketahui dan kusebut namanya.
Selesai sholat, aku melihat mereka berdua memakai lipstik sambil tertawa. Aku pura tidak hirau. Kukeluarkan bukuku, kuberikan pada mereka, untuk Sri.
Kami kembali ke pantai. Di lidah pantai, terdapat sebuah dipan dengan properti seperti dipan pernikahan, ada kain putih dengan motif bunga-bunga menyelimuti dipan itu. Aku dan Sri berswafoto, seperti sepasang pengantin, latar pengantin.
Aku melihat bibir manisnya merekah. Saat itu, kami melupakan kesedihan masing-masing. Aku tidak mengerti, apakah kami benar-benar bahagia saat itu atau hanya sebatas saling menutupi luka. Aku tak peduli. Aku ingin lebih dekat lagi.
Kamar, 28 Januari 2020 23. 19
Komentar
Posting Komentar