Korelasi Islam dan Nasionalisme di Pesantren
Oleh: Moh. Tamimi*
Tulisan ini tidak terlalu serius, soalnya mau nulis yang serius saya tidak bisa. Bukan apa-apa, tetapi karena sangat kekurangan referensi dan kurang tekun belajar, apalagi tentang Islam dan nasionalisme, ditambah lagi tentang pesantren. Saya tidak pernah menjadi santri resmi, kalau mau disamakan dengan istilah Clifort Greetz, saya ini santri abangan (bukan kaum abangan). Kenapa tidak, siang pulang, malam baru ke pondok, itupun jarang-jarang. Harap maklum, iman saya fluktuatif tingkat tinggi.
Saya sengaja muter-muter supaya tulisan saya ini semakin panjang dan mempersempit pembahasan tiga kata pokok di atas. Islam yang banyak dikontrofersikan, nasionalisme yang penuh pemaknaan, dan pesantren yang selalu diklaim penuh kejumudan. Apabila sampai di sini anda sudah bosan membaca tulisan saya, silahkan letakkan kembali ke tempat semula. Akan tetapi, bila anda masih berminat untuk membacanya, silahkan minum kopinya dulu.
Islam yang makna umumnya adalah berserah diri/pasrah sepenuhnya kepada Allah Swt. ternyata masih belum pernah tuntas untuk dipahami. Ada yang pasrah dengan sepenuhnya pasrah, ada yang pasrah dengan tanpa menghilangkan ikhtiar, dan ada yang pasrah sepenuhnya kepada dirinya sendiri tanpa ada campur tangan tuhan.
Kata din dalam bahasa Arab berarti cara hidup secara keseluruhan. Kata Dharma dalam bahasa Sangsakerta juga "sebuah konsep 'total', tak dapat diterjemahkan, meliputi hukum, keadilan, moral dan kehidupan sosial. Ini Kata Karen Amstrong. (Karen Amstrong, 2016: 19)
Saya merasa kesulitan memaknai Islam, bagi saya Islam yang benar-benar universal masih belum terlaksana, entah karena saya tidak tahu, atau memang tidak ada. Bagaimana tidak, Islam selalu dibenturkan dengan berbagai hal, padahal, seharusnya spirit Islam digunakan untuk sebuah misi ketuhanan dan misi kemanusiaan dengan benar-benar atas nama kemanusiaan, bukan kekuasaan semata. Salah satunya dengan nasionalisme, walaupun pengertian nasionalisme di sini masih problematis, namun akhir-akhir ini Islam dan nasionalisme seolah dua hal yang berseberangan, dua hal tidak mungkin bersatu. Saya sadar, saya yang awam ini belum tahu apa-apa tentang Islam dan nasionalisme yang "sesungguhnya".
Tampaknya, sampai di sini, perlu dikemukakan arti nasionalisme yang selalu dibenturkan dengan agama (Islam) itu. Menurut Dr. Mochtar Pobotinggi, yang dikutip oleh Daniel Dhakidae dalam pengantar buku Imagined Communities tentang nasion dan bangsa, nasion (nation) adalah kolektifitas politik. Sedangkan bangsa adalah kolektivitas sosiologis. Akan tetapi, pengertian ini mengandung banyak problem sebagaimana disampaikan oleh Daniel Dhakidae. Di lain pihak nation dipandang dalam arti komunitas yang baru menjadi politikal ketika melampaui suatu proses radikal yaitu proses konstruksi sosial menjadi komunitas terbayang.
Pengertian nasion menurut Mochtar, beda halnya dengan yang didefinisikan oleh Benedict Anderson. Anderson mendefinisikan nasion sebagai "an imagined political community" adalah suatu yang terbayang karena anggota suatu bangsa yang sangat kecil pun tidak akan tahu sebagian besar anggota yang lain, tidak kenal, tidak bertatap muka atau bahkan tidak pernah tahu sama sekali keberadaan satu anggota yang lain, mendengar namanya pun tidak.
Berdasar beberapa pengertian di atas, saya merasa lebih aman menggunkan pengertian ang terakhir karena dari pengerti pertama, jika diimbuhi isme—nasionalisme, impian menuju kolektifitas politik—dalam artian bebas menjadi, impian suatu masyarakat politik yang sulit dicapai. Akan tetapi, menurut istilah Soekarno yang akan dikutip di bawah ini, nasionalisme adalah "bangunan rasa hidup."
"Nasionalisme kita adalah suatu nasionalisme yang menerima rasa-hidupnya sebagai suatu wahyu dan menjalankan rasa-hidupnya itu sebagai suatu bakti. . . . Nasionalisme kita ada nasionalisme yang membuat kita menjadi perkakasnya tuhan, nasionalisme kita menjadi hidup dalam roh." (Benerict Anderson: 2008, xxxv)
Ada cita rasa sendiri yang dimiliki Soekarno terkait nasionalisme. Pada akhirnya, nasionalisme akan menemukan bangsa, bangsa akan mengumunkan negara, dan negara akan mengumumkan bangsa. Makna nasionalisme tidak sesederhana "kebangsaan" menurut pengertian kamus ilmiah populer, jauh lebih rumit dari itu. Semakin menarik di sini, berawal dari nasionalisme timbul bangsa dan negara, dua kata yang selalu bergandengan erat, dua kata itu merupakan satu kesatuan yang tak bisa pisahkan untuk saat ini, namun bisa dibedakan
Hanya saja, jangan sampai, nasionalisme ini merias wajahnya menjadi imperialis terhadap bangsanya sendiri. Dengan dalih nasionalisme, semua hal dilakukan, termasuk pembantaian sebagaimana dilakukan Hitler dan kawan-kawan. Sudah cukup penderitaan yang dirasakan masyarakat di berbagai belahan dunia yang dilakukan oleh "nasionalisme-nasionalisme resmi" itu yang bereinkarnasi menjadi imperialisme barat, sudah cukup sebagai gambaran para rakyat di Asia-Afrika, termasuk Indonesia sendiri. Rasa nasionalis ini harus hadir dalam setiap jiwa-jiwa rakyat. Jangan malah sebaliknya, karena para nasionalis dicap buruk lantas ingin merobohkan dan menghilangkan mereka berikut "bangunannya," apalagi berkedok agama.
Identitas Keagamaan
Betapa banyak, orang yang mengaku mencintai agamanya tetapi tidak mencintai tanah airnya. Padahal, tanpa tanah air tempat ia berpijak, maka dimanakah mereka akan melaksankan ritual ibadahnya, di atas awan? Inilah suatu kefatalan yang mungkin tak pernah mereka sadari atau pura-pura bodoh dengan semacam itu. Lantas, maunya apa? Jangan menjadi "bisul-bisul pertiwi," kata penyair Jerman, Sandor Petofi (1823-1849)
Walaupun bukan dari agama Islam, mungkin perlu diceritakan di sini perihal perlawan Martin Luther terhadap Vatikan, dalam pelariannya dari kaisar Paus Leo X, Martin Luther menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Jerman dengan indahnya, sehingga hal ini menjadi kebanggaan terbesar tersendiri bagi orang-orang Jerman terhadap bahasa mereka. Mereka beranggapan bahwa tidak ada karya sastra yang sebagus itu sepanjang sejarah. Luther sendiri tidak percaya dengan capaiannnya itu. Konon, sampai saat ini, di Jerman jarang ditemui atau bahkan tidak ada bahasa/tulisan lain di tempat umum selain bahasa Jerman, itu dari saking bangganya orang Jerman dengan bahasa mereka.
Bukan malah ingin membudayakan bangsa sendiri dengan budaya luar, itu salah alamat namanya. Kebudayaan khas Indonesia ini mau diarab-arabkan semua, sebagaimana kita saksikan setiap hari di layar kaca maupun di kehidupm nyata bangsa kita, Indonesia ini. Seolah-olah kalau sudah pakai bahasa ana dan ente telah menganut dan memahami Islam secara keseluruhan. Karena telah mengganti sebutan langgar menjadi musholla, sembahyang menjadi solat, saudara menjadi akhi/ukhty, berarti telah mengamalkan ajaran agama Islam dengan taat. Harus ada sinergi yang kuat antara sikap nasionalisme kita dengan pemahaman kita terhadap Islam supaya tidak lagi menjadi rancu. Keduanya berjalan beriringan tampa saling senggol satu sama lain.
Mengingat sabda Kanjeng Nabi Muhammad Saw. kepada sahabat, "roja'na min jihad al-asghar ila jihad al-akbar" (kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar), sepulang dari perang Badar. Para sahabat bertanya-tanya, perang apa lagi yang lebih dahsyat. Rasulullah Saw. menjawab, "perang hawa nafsu." Menurut Ar-Razi, sebagaimana dikutip oleh Gus Dur dalam pengantar buku Ilusi Negara Islam, jihad dalam konteks perang (qital) pun harus diawali dengan kemenangan pertama, terutama terhadap diri sendiri, seperti tidak munafik, tidak riya', dan tidak untuk kepentingan pribadi.
Menurut Karen Amstron, "saking sulitnya kita menghapuskan gambaran agresif agama dalam kesadaran sekuler sehingga kita terus saja memikulkan beban dosa-dosa kekerasan abad kedua puluh ke punggung agama, lalu melepasnya ke padang gurin politik. (Karen Amstrong, 2016: 18)
Dialog terus menerus antara Islam sebagai perangkat ajaran agama dengan nasionalisme mengakar kuat dalam sepak terjang perjuangan dan perjalanan Indonesia harusnya (telah?) meningkatkan kesadaran bahwa negara Indonesia sudah tepat menjadi bangunan yang mengakui keragaman etnis, budaya, suku, agama, dan ras. Bukan malah menjadikan keberagaman tersebut sebagai bahan empuk untuk "digoreng."
Para "penganut" aliran aktivis garis keras seakan-akan menganggap dirinya paling mengerti tentang agama, terhadap tafsir kitab suci dan muatan hadis nabi. Sehingga, merekalah satu-satunya wakil tuhan di muka bumi ini dan berhak bertindak sesuai kehendak mereka. Pertanyaan mendasar, "apakah mereka benar-benar tahu tentang hukum Allah dengan sebenar-benarnya tanpa keraguan sedikit pun?" Seandainya mereka menjawab "iya" saya kok semakin sangsi dengan mereka itu karena bagaimanapun keterbatasan meraka tidak akan mampu menjangkau ketidak terbatasan tuhan.
Nanti, pada akhirnya, yang mereka perjuangkan bukan lagi spirit keberagamaan itu sendiri melainkan agenda politik yang berkedok agama. Betapa banyak sejarah yang mengungkapkan hal serupa, "kemasannya" adalah membela agama, namun pada hakikatnya mememperjuangkan kepentingannya mereka sendiri. Kita hidup dalam dunia yang penuh kepentingan, bukan lagi dalam dunia yang serba netral.
"Kemasan" memang selalu menggiurkan para pelanggan, tanpa tahu bagaimana persisnya isi dalam kemasan itu. Sama halnya dengan gerakan-herakan garis keras yang selalu menggunakan kalimat-kalimat bahasa Arab supaya terlihat "menarik" dan penuh suasana Islami tanpa mengetahui esensi Islam itu sendiri sebagaimana dipahami dan diamalkan oleh para wali, ulama, dan orang-orang saleh terdahulu.
Seolah tak ada islah (mengasingkan diri) dalam Islam, yang ada hanya paksaan dan kekerasan, pemberontakan atas bangsa yang tidak berlabel Islam seperti Indonesia ini. Pada akhirnya, jika terus seperti ini, jangan heran jika ada Islamphobia karena masyarakat luas melihat Islam penuh keberingasan, bukan agama cinta dan kasih sayang yang menyejahterakan umatnya. Para kelompok garis keras ini selalu mengukur kebenaran dengan menggunakan pemahaman idelogis dan politis, bukan berdasakan pemahaman pada rahmat dan spiritual terbuka. Ideologi dan politik sifatnya memang selalu pada kekuasaan semata.
Sekilas mata yang tampak di permukaan, di negeri Indoneaia ini, adalah bagaimana para ulama supaya tunduk pada pemerintah/kekuasaan dengan adanya instuisi berlabel Islam. Hal ini kurang sesuai dengan kultur Indonesia yang selalu digambarkan dalam cerita wayang, para kaum Ksatria selalu tunduk dan hormat kepada kaum Brahma, para raja yang selalu takdim pada para resi. Nah, ini, malah sebaliknya.
Tak ayal, mereka selalu mengatakan bahwa mereka memperjuangkan amar makruf nahi mungkar, demikian pula dengan konsep rahmatal lil alamin selalu digunakan dalam memformalisasikan Islam, jika tidak atau menolak, maka tidak jarang akan dicap murtad, kafir, dan yang lebih tragis lagi, boleh dibunuh. Padahal, bukan demikian spirit Islam. Sejatinya dalam Islam tidak pernah ada paksaan (laa ikroha fiddiin, Al-Baqaroh, 2:256), sekadar menyampaikan, memberikan informasi, dan terserah mereka mau atau tidak, pastinya dengan konsekuensi yang ada.
Lagi pula, kata makruf di sini, amar makruf nahi mungkar, jika ditelisik dalam, bahasanya, maka makruf adalah isim maf'ul dari fi'il madi 'arofa yang arti dasarnya "kenal", ta'aruf " saling berkenalan", sedangkan isim maf'ulnya mempunyai makna sifat yaitu "yang dikenal/dikenal" berarti kalau di tarik pada kontek kalimat di atas adalah "yang dikenal baik." Demikian pula dengan kata mungkar.
Penggunaan bahasa seperti ini sangat penting demi pemahaman tentang Islam lebih lanjut dan Islam itu sendiri yang akan ternodai oleh ulah mereka itu. Penggunaan bahasa yang sama itu menjadi sangat berbahaya karena berbekal bahasa-bahasa itu, banyak umat Islam terkecoh, di mana saja dan kapan saja. Dengan strategi demikian, maka doktrin mereka akan sangat mudah menyusup ke mayoritas umat Islam, ditambah lagi dengan suplaian dana yang luar biasa besar dari pihyang dibarengi dengan militansi mereka itu.
Dalam sebuah penelitian sebagaimana dibeberkan oleh Gus Dur, bahwa aktivitas Saudi di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari kampanye senilai US$ 70. 000. 000. 000, selama kurun waktu 1979-2003 untuk menyebarkan paham wahabi di seluruh dunia. Berbekal jenggot dan celana jingkrang, mereka menampakan bahwa Islam yang demikian yang harus diperjuangkan mati-matian, padahal dari tangan-tangan merekalah kekerasan dan norma kehidupan beragama semakin tercederai, dan kita sebagai sesama umat Islam harus ikut menanggung malu atas perilaku mereka itu.
Nasionalis dari Pesantren
Walaupun pesantren selalu dikatakan kolot, jumud, kumuh dan label jelek lainnya, ditambah lagi dengan istilah tradisionalis yang di satu sisi merugikan pihak pesantren itu, kalau modern, berarti situ maju, kalau tradisional berarti situ terbelakang, pesantren tetap eksis memerankan peranannya sebagai lembaga pendidikan berbasis Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja). Namun demikian, ada pula pesantren KW atau pesantren siluman (tiba-tiba ada) yang mencederai marwah pesantren karena mendidik "tukang jagal."
Tak ada perubahan kurikulum pesantren dari dulu sampai sekarang, metode belajarnya pun ya tetap itu-itu saja, semisal sorogan dan semacamnya. Toh, sampai saat ini itu tetap relevan untuk diterapkan.
Kembali ke khazanah pesantren dalam memaknai nasionalisme. Menurut Ahmad Baso, ilmu politik nusantara itu, dalam hal ini yang bersumber dari pesantren, masih tetap aktif menentang legitimasi politik kolonial-liberal-modern (Ahmad Baso: 2013, 4). Karena dari pesantrenlah gerakan pinggiran yang berelasi dari desa ke desa itu terbentuk dan kuat. Hubungan kiai-santri yang tak lekang oleh waktu.
Doktor Sutomo pernah berkata, "pesantrenlah yang menjadi sumber ilmu pengetahuan, menjadi mata air ilmu, bagi bangsa kita sebulat bulatnya. pengetahuan pada murid muridnya; memberi alat-alat untuk berjuang di dunia ini; pendidikan yang bersemangat kebangsaan, cinta kasih pada nusa dan bangsa khususnya, dan pada dunia dan sesama umat umumnya; murid-murid akan menyediakan diri untuk menunjang keperluan umum; kekuatan batin didik; kecerdasan roh diperhatikan dengan sesungguh-sungguhnya, sehingga pengetahuan yang diterima olehnya itu akan dapat digunakan dan diselesaikan untuk menjalani keperluan umum terutamanya. (ejaan telah disempurnakan dari teks aslinya).
Berdasarkan dari pernyataan Doktor Sutomo ini, Ahmad Baso menarik empat poin terkait ilmu pokitik pesantren, dalam hal ini hubungannya dengan sikap nasionalis pesantren nantinya.
Pertama, ilmu politik pesantren merupakan sebuah pengetahuan yang bisa dipelajari oleh anak-anak bangsa sebagai sebuah disiplin ilmu, maksudnya mempunyai pengetahuan politik sendiri.
Kedua, ilmu politik pesantren merupakan alat-alat guna untuk berjuang di dunia ini supaya bisa berbakti dalam kehidupan dunia. Secara tersirat, bisa memaknai bahasan ilmu politik ini sebagai sarana untuk bergaul dan bersatu sebangsa dan setanah air.
Ketiga, ilmu politik pesantren untuk semangat kebangsaan, cinta kasih pada nusa bangsa, pada dunia, dan sesama umat manusia.
Keempat, ilmu politik pesantren untuk menemukan cara menghadapi dan bersiasat dengan bangsa-bangsa lain.
Poin ketiga di atas dapat kita garis bawahi saat ini dalam memaknai korelasi Islam dan nasionalisme di pesantren. Kalau nasalah keislaman, saya masih percaya penuh terhadap pesantren yang berpaham Aswaja, pengikut NU, baik secara jam'iyah ataupun jama'ah. Walaupun seperti yang saya katakan di atas, banyak penyusupan-penyusupan terhadap pesantren maupun ke kepada NU sendiri sebagai kepanjang tanganan orang-otang pesantren.
Nah, kalau masalah nasionalisme ini, poin ketiga si atas sudah sangat jelas bahwa spirit politik pesantren adalah untuk semangat kebangsaan demi menebar cinta kasih pada nusa dan bangsa, pada dunia, dan pada seluruh umat manusia.
Jadi, mana mungkin, Islam beringas, culas, dan tidak berperasaan terhadap sesama bangsa yang penuh keberagaman ini. Pesantren seolah miniatur nusantara, Indonesia kini, yang pernah berjuluk gemah ripah loh jinawi ini. Di sana, yang muda takdzim kepada yang tua—apalagi sesepuh—yang tua menghormati yang muda-muda, sebagaimana tergambarkan dalam cerita wayang yang telah saya singgung di atas.
Keberagaman karakter, watak, suku, ras, yang ada di pesantren adalah wadah pembelajaran dalam bertoleransi kepada sesama. Mungkin, dalam bahasa pesantren kurang dikenal istilah nasionalisme, tetapi tidak jarang terdengar istilah Hubbul Waton yang esensinya sama dengn nasionalisme.
Jika harus menyebut nama tokoh, betapa banyak tokoh nasionalis yang berasal dari pesantren. Kia Wahab Chaabullah, Bung Tomo, Soekarno sendiri yang menjadi icon nasionalisme Indonesia berasal dari pesantren. Kiai Wahid Hasyim yang mampu mendialogkan agama dengan kebangsaan dengan baik sehingga tertuang redaksi pancasila poin pertama. Gus Dur yang tidak asing lagi si berbagai kalangan, dan masih banyak lagi.
Nilai keislaman yang benar-benar rahmatal lil alamin benar-benar dihayati adalah di dunia pesantren. Mengutip pernyataan Quraish Shihab, "perubahan dapat terlaksana jika adanya penghayatan nilai-nilai Al-Qur'an serta kemampuan memanfaatkan sekaligus menyesuaikan diri dengan hukum-hukum sejarah." (M. Quraish Shihab, 1999: 245-247)
Sebagi penutup tulisan ini, layaklah kiranya saya mengitip pernyataan Panembahan Senopati Mataram kepada Pangeran Banawa Pajang yang dimuat di Babat Tanah Jawi edisi Meinsma (hlm. 176) yang terjemahannya sebagai berikut:
"Kalau anda menghadapi kesukitan dalam urusan politik, tata negar dan pemerintahan, tanyalah pada para ulama. kalau kamu imgim tahu tentang ilmu ramakan dan prediksi apa yang akan terjadi di masa depan, tanyalah ahlinilmu laduni dan ilmu falak. kalau kau ingin tahu tentang ilmu kesaktian, tentang managemen pengorganisasian dan mobilisasi, belajatlah kepada ahli tapa dan kajm sufi."
apa yang saya tulis di sini sekadar kadar pengetahuan saya yang ridak seberapa, kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan.
Daftar Pustaka
Amstrong, Karen. 2016. Fields of Blood. Bandung.Mizan.
Anderson, Benedict. 2008. Imagined Communities. Yogyakarta. Insist Press.
Baso, Ahmad. 2013. Pesantren Studies 4a. Juz pertama. Jakarta. Pustaka Afid.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur'an. 1999.
Tim Penulis, 2009. Ilusi Negara Islam. LibForAll Fondation.
*Ditulis saat menjadi Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep. Prodi Pendidikan Bahasa Arab Semester VII.
Sip
BalasHapus