Alat Pengukur Waktu

Oleh: Moh. Tamimi*

Kamu tahu alat pengukur waktu? Jam, bukan! Jam itu penanda waktu bukan pengukur waktu itu sendiri. Nah, pertanyaan ini muncul saat saya bincang-bincang bersama teman-teman perihal kekuasaan dan keqodiman Tuhan. Pertanyaan kelasiknya seperti ini, “apakah Allah mampu menciptakan semisal diriNya sendiri? Ah, bukan, bukan itu dahulu yang kami bahas waktu itu. Akan tetapi, kami membahas kekodiman Al-Qur’an yang merembet pada kekelan Tuhan.

Waktu itu saya masih menggebu-gebunya berargumen, “kebaqa'an Tuhan terbebas dari ruang dan waktu. Ini yang benar-benar absolut. Sedangkan makhluk Tuhan terikat dalam ruang dan waktu. Kalau seperti surga, neraka, dan lain-lain, itu dikekalkan oleh Allah. Kekekalannya tentu tidak sama dengan kekekalan Tuhan. Saya meyakini, kalimat "kholidiina fiihaa" adalah sebuah kalimat  untuk menunjukkan keterbatasan akal kita untuk menjangkaunya. Karena ia (surga) bukan tujuan utama kehidupan ini.

Ilustrasi: kalau kita di suruh pergi ke Jakarta untuk menikmati hidup yang mantap, apakah tidak ada tempat lain selain Jakarta.Tentu saja tidak. Saya hanya cukup yakin, iman, tanpa harus selalu mempertanyakan dzat Tuhan, sekali lagi, sesuatu yang terbatas tidak akan mampu memikirkan sesuatu yang tak terbatas,” kataku dengan penuh keyakinan.

Eh, kok tiba-tiba ada teman saya yang menyeletuk begini, ini adalah awal pembahasan kami mengenai waktu.

“Sehari, dua hari, dan tiga hari itu WAKTU, Satu meter, dua meter, dan tiga meter itu PANJANG.. Daripada menanyakan apakah Al-Quran itu qadim-kekal ataukah baharu, ada baiknya kita menanyakan tentang WAKTU yang kita pergunakan untuk mengukur qadim dan kekal itu sendiri. Apakah WAKTU itu adalah Tuhan? Tentu bukan. Ia diciptakan dan oleh karenanya ia tidak qadim dan tidak kekal. Lho dari mana kamu mengatakan WAKTU tidak qadim dan tidak kekal. Apakah ada satuan pengukur waktu selain WAKTU itu sendiri? Kalau ada pertanyaan ‘Sebelum ada waktu apakah bla bla bla?’ Saya pikir ini pertanyaan yang salah. Tak perlu dijawab. Karena tidak ada SEBELUM kalau tidak ada WAKTU.”

Ayoo, mau jawab apa kamu! “Saya ingin menambah kebingungan itu,” kata temanku melanjutkan, saat kami lagi pusing-pusingnya, kebingungan, adu argumen. Sudahlah, kalau masalah kekuasaan Allah, yang di awal, kamu gak usah pikirkan, baca saja di novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shyrazi itu. Dijamin, masalahmu akan tidak beres.

“[Tuhan...,] tambahkanlah untukku kebingungan terhadap-Mu),” begitulah kira-kira arti sebuah hadis Nabi. Jangankan kebingungan terhadap Tuhan, terhadap ciptaannya saja saya sudah sungguh mati aku jadi penasaran, sampai mati pun takkan mampu kuungkapkan. Memang Dia yang penuh misteri, diantara banyak yang misteri. Mohon jangan bernyanyi dulu.

Saya angkat bicara dengan penuh sok gagah berani, “Terkait masalah waktu dan adanya tolak ukur waktu selain waktu itu sendiri, sangat sedikit disinggung oleh Muhammad Al Fayadl, dalam buku Teologi Negatif Ibn Arobi, yang mengutip dari Martin Heidegger, "being and time". Istilah Heidegger, dalam ranah metafisika, the open, das offene (yang terbuka), tentang ada (being).dan kebenaran ada (truth of being). Mengenai jawabannya, masih tidak tahu. ini sebatas pemantik saja. Paling tidak, ada sedikit rujukan untuk terus mencari/dicari.

Founding Mother komunitas kami angkat suara, jangan tanya bagaimana caranya mengangkat suara, “Aduhhh Tamimi, ingat Heidegger ingat bagaimana cintaku bertepuk sebelah tangan.” Katanya, ia sudah lima belas tahun tak mampu menaklukkan buku tipis karya Martin Heidegger, gak bisa-bisa. Dia mampu gak mampu menaklukkan si Martin, saya tak peduli. Gimana situ, mampu, hah? Kalau saya jujur saja. Saya baca tentang Heidegger (pemikirannya) di sini, duh, cukup untuk menguras otak dalam waktu sepuluh menit, njlimet, diulang-diulang tetap saja. Walau ada sedikit tambahan kata seumpama being dan truth of being.

Bagi saya, ada dua macam waktu, waktu yang bersifat empiris (dalam artian dapat diketahui), seperti waktu di dunia ini, dan waktu yang bersifat metafisik, seperti waktu di akhirat/alam ghaib.

Adakah pengukur waktu selain waktu itu sendiri?

Tidak ada, karena waktu yang empiris ini adalah bagian "terluar" dalam cakupan ruang dan waktu. “terus, bagian terdalamnya apa?” gak tahu tuh. Sedangkan waktu selain itu hanya bisa didekati dengan perasaan (dzauuq). Bicara masalah ada saja masih misteri, menurut Fauz Noor dalam Tapak Sabda, "ada adalah ada" ada yang pertama adalah subjek, ada yang kedua adalah objek (baca: Fauz Noor, "Tapak Sabda"). Mbulet gimana pun, masih tetap terjebak subjek dan objek.

Kalau ada kalimat/ucapan "aku menunggumu lama sekali," padahal hanya 5 menit menunggu. Kalimat begini juga, "loh kok sudah sore yaa," padahal hampir seharian mereka pacaran. Dalam contoh di atas ini adalah "perasaan" dalam realitas waktu.

Beda halnya dengan pengalaman batin Ibnu Hajar Al-Asqolani yang tidur selama 5 menit, tetapi bermimpi belajar seolah-olah 100 tahun. Nah, inilah yang saya maksud dzauuq, hanya individu-individu tertentu yang bisa mengalaminya. Lagi, sebagaimana Isro'nya Nabi Muhammad Saw. ke Sitrotul Muntaha. Di situ, realitas waktu juga dipertaruhkan, bagaimana akal menalar.

Oh ya, ada lagi, tidurnya Ashabul Kahfi dalam kurun waktu 309 tahun ini, juga menjadi misteri, secara hukum alam, seharusnya mereka lapuk atau paling tidak menjadi sangat tua. Khusus pembahasan ini, sepertinya sudah ada yang membahas, yaitu dalam buku "Misteri Ashabul Kahfi" tetapi saya masih belum baca dan lupa nama pengarangnya.

Namun demikian, bisa saja, sebagaimana menurut Sabrang, anak Cak Nun, dalam semesta ini ada the connection of world. Hanya saja, kita masih belum menemukan koneksinya dalam sesuatu tersebut. Berlandaskan pandangan itu, konteksnya masih tetap dalam realitas waktu yang empiris ini.

Masih tentang kesendirian waktu. Bertanya tentang "sesuatu itu sendiri", atau bertanya tentang "sesuatu secara apa adanya", tentu ada problem yang ditanyakan. Begitu kata Fayadl, bukan kata saya loh yaa.

Apakah ada ukuran waktu selain waktu itu "sendiri?" Pertanyaan mendasar serupa, masih kata Muhammad Al-Fayadl, “apakah teologi itu sendiri, jika ditinjau dari esensi dan apa yang intrinsik di dalam dirinya?” Mohon maaf jika menggunakan bahasa melangit dan melenceng, soalnya gak tau lagi yang lebih pas.

Sendiri dan kesendirian ini selalu jadi masalah yaa, gak percaya? Lihat saja para jomblo yang lagi Ngenes di sampingmu, sama kayak saya, jomblo juga, tetapi saya anti ngenes lho ya.

Si cantik dari gua hantu menimpali diskusi kami,"waktu punya kekuatan, menyimpan misteri masa depan, termasuk nasibmu, Mi. Waktu mempunyai kekuatan menggulung masa lalu dan menghampar masa depan yang masih misteri, termasuk misteri istri istrinya Tamimi, untuk ini, waktu hanya bisa didekati dengan iman.”

“Pada akhirnya, yang fana ini hanya bisa memahami yang fana pula, itu pun tidak sepenuhnya. Maka, yang terpenting bukanlah sesuatu yang ada di sana atau di luar kita. Bukan qodim atai tidak qodim bukan  apakah suara atau sekedar getaran. Yang terpenting adalah apakah hati kita sudah cukup lunak bisa mencerap kebenaran dan hikmah di dalamnya sehingga hidup bisa lebih bermanfaat, lebih bahagia, dan membahagiakan.” Tutup Founding Father komunitas kita, walaupun saya sendiri masih belum puas dan ingin mengakhiri.

Kalau kalian tahu/menemukan alat pengukur waktu, mohon beri tahu aku ya. Ditunggu oleh-olehnya!

*tukang ngayal

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tarekat Qadiriyah

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Pendidikan Sosial