Tunangan
Hai, Sri
Beberapa hari yang lalu di desa saya geger acara tunangan besar-besaran. Ada sekitar tujuh puluh orang yang datang dari pihak laki-laki ke pihak perempuan, ada seratus lebih orang dari pihak perempuan ke pihak laki-laki (ada 30 mobil rombongan). Harga satu kue dari pihak perempuan ada yang seharga 1,5 juta. Uang yang dikasih pihak laki-laki ke pihak perempuan sebanyak 40 juta (uang ini semacam untuk membeli semua bawaan ‘main’ dari pihak perempuan).
Sepanjang hidup saya, ini adalah acara tunangan terbesar. Mereka berdua sama-sama anak kepala desa.
Saya melihat sekilas video yang beredar, kuenya diletakkan dalam kaca. Kabarnya, kue itu setinggi setengah meter, susun tiga seperti sebuah menara.
Sebenarnya saya tidak begitu peduli tentang acara tunangan itu. Saya ingin tahu lebih lanjut, bagaimana perasaan keduanya. Ada kabar burung, salah satu dua sejoli itu awalnya tidak mau. Saya tidak mengerti, sebenarnya apa yang mereka rayakan, siapa yang menginginkan seperti itu?
Sri, seandainya hal itu terjadi pada dirimu, apa yang akan kamu lakukan. Kamu mencintai seseorang, tetapi tidak direstui oleh orang tuamu. Orang tuamu lebih memilih orang yang tidak kamu sukai untukmu?
Saya pernah mendengar kejadian seperti itu, Sri. Saya kasihan. Saya pikir, jalan satu-satunya masalah seperti itu adalah istikharah. Hasilnya, harus saling menerima karena itu jalan yang terbaik menurut Tuhan, bukan sakadar atas dasar hawa nafsu kita.
Kalau pun itu terjadi kepada saya, saya ingin terlebih dahulu meyakinkan orang tua saya bahwa kamu adalah perempuan baik-baik dan pantas untuk diperjuangkan, sejujur mungkin, sebaik mungkin. Seandainya orang tua yang awalnya menolak keras, siapa tahu bisa berubah ragu-ragu. Keragu-raguan itu bisa dimanfaatkan, saat itulah permintaan istikharah bisa dilakukan kepada orang tua.
Akan tetapi, kalau pihak kamu, misalnya, yang kurak sreg, itu urusan kamu. Kita sama-sama berjuang ya.
Saya tidak mau memaksakan kehendak, restu orang tua mungkin adalah segalanya bagi saya dalam urusan ini. Seandainya pilihan orang tua yang akhirnya ‘keluar’ saya akan berusaha mencintai orang itu sebaik mungkin. Saat ini, saya hanya mencintaimu.
Untungnya, Sri, orang tua saya “yes” ke kamu, pernah “no” ke orang sebelum kamu.
Saya kasihan ketika melihat orang-orang yang tidak direstui, tetapi anaknya sudah saling suka. Saya pernah merasakan seperti itu tetapi saya juga merasakan kebahagiaan direstui, seperti saat ini.
Saya pernah lihat, ada yang sampai kabur, ada yang direstui tapi disuruh pergi, ada yang mengalah kepada orang tua, tetapi yang paling ekstrim adalah dihamili dulu. Katanya, menghamili adalah cara lain untuk melamar (saya tidak tahu dari mana asal kalimat ini, ini bukan dari saya). Sebisa mungkin, gunakan cara-cara baik untuk tujuan-tujuan baik.
Hal terpenting dari semua ini adalah jangan berharap kepada manusia, tetapi hanya berharaplah kepada Allah, bergantung diri sepenuhnya kepada Allah Swt. seperti saat kita selalu lantunkan dalam salat, “iyyaka na’budi wa iyyaka nasta’in.”
Berharap kepada manusia akan banyak mendatangkan kekecewaan.
Sampai jumpa di kesempatan mendatang, Sri.
Tunggu aku di rumahmu!
Meja baru,
Kamis, 18/06/2020 10.35
Manusia memang berhak punya sejuta rencana, namun juga tidak boleh lupa.. Bahwa satu²nya penentu yang paling Hak adalah Allah SWT. Jadi, mari bersyukur atas segala rencana yang ternyata tidak Allah berikan sesuai ingin kepala manusia, sebab bukanlah yang baik buat kita😊
BalasHapusTerima kasih sudah mampir di blog saya
Hapus