Silaturrahim ke Pasongsongan

Minggu, 14 Juni 2020, aku pergi ke Pasongsongan, ke seorang sahabat yang beralih status menjadi teman. Aku masih menjemput temanku di Telaga, Ganding. Ia yang akan nyetir motorku nanti. Bukan karena ia sopirku, tetapi karena aku kurang sehat. 

Beberapa hari sebelumnya aku sakit perut, perih, sakitnya dekat hati, tapi bukan sakit hati. Pagi itu saja, sebelum berangkat aku masih muntah-muntah di kamar mandi.

“Sopirku” Helmi namanya. Meskipun sekarang statusnya teman, kita nyaris memimpin pasukan kavaleri untuk konfrontasi, untungnya masih bisa berdamai sebelum perang besar terjadi.

Si Paiq, cewek yang tidak mau saya deskripsikan seperti apa dia, katanya akan menunggu di “Lorong Anyar.” Aku tidak tahu dimana itu, pokoknya aku percaya saja pada supir. Di tempat yang dijanjikan, ia masih belum datang. 

Aku melihat mesin kompresor di utara jalan, saya pikir itu bengkel atau paling tidak punya stang, linggis, dan alat-alat pembuka baut. Aku tidak pegang uang sama sekali, dompet saya melompong. 

Aku tanya Helmi, apakah ia punya uang. Punya. Aku usul, sembari menunggu, sambil reparasi motor, rem belakang dan rantai motorku kurang stabil. “peremajaan” motor masih belum selesai, si Paik dan dan seorang temannya sudah melintas. Kita di tunggu di persimpangan jalan, entah dimana koordinatnya. 

Aku kira, kami akan lewat Pasar Ganding, sehingga aku bisa ambil uang di ATM sana.

Sepanjang jalan, aku dan helmi bercerita banyak hal, aku tidak akan ceritakan itu di sini. Ada yang rahasia, tapi bukan perasaan (para perempuan di Grup WA selalu bahas ginian saat aku ketik ini).

Aku memotret ke sisi kiri-kanan jalan, motor tetap melaju. Sopirku tangguh, kerikil-kerikil tajam, legam, dia libas.

Sawah-sawah, hutan, bebukitan kita lewati. Aku selalu potret itu semua. Aku punya dua alasan kenapa saya sering motret. Pertama, karena suka, sekaligus banyak hal yang bisa kukenang dari foto it. Kedua, aku tukang tulis masalah konservasi lingkungan dan sejenisnya. Jika ingin informasi lebih lanjut, bisa chat pribadi.

Aku dan Helmi Runner Up sampai pertama kali, disusul Takaya. Sebenarnya sih dengan si Paiq juga, tapi si Paiq kenak tikung.

Mohon maaf, pemirsa, aku tidak betah nulis secara formal untuk ini.

Si tuan rumah menyambut kedatangan kami. Sampai di depan pintu, spontan aku bergumam dalam hati, “wah kemasan ini sepertinya akan formal.” Biasanya, kalau grup kami saling main, silaturrahim seperti ini gak resmi-resmi amet, bicara dan bertingkah sesukanya. 

Katanya, akan ada para bidadari dan ukhty-ukhty. Mode “gombal” sudah aktif kalau lihat ukhty-ukhty. 

Tak berapa lama, tujuh bidadari mendarat di halaman. Aku yakin mereka tidak kesasar, Cuma kenapa gitu, mereka gak mendarat di sungai dulu, atau didanau, biar dramatis kayak di film-film. Kan azik. 

Ada wajah-wajah baru yang tidak kukenal. Mulutku mulai kelu. Pori-pori kulitnya mulai melebar seperti, air keringat mulai keluar. Hal ini selalu terjadi ketika aku berada di dekat perempuan yang tidak kukenal akrab. Sejak MTs. Jam istirahat saya selalu habiskan dengan teman laki-laki dan perpustakaan. Penjaga perpus perempuan, dia baik dan akrab dengaku, cantik lagi, sudah punya anak lagi.

Aku menunggu momen ”makan besar,” tidak kunjung keluar. Aku sejak dalam pikiran saat itu, aku harus ngapain. Mau nonton televisi, aku tidak suka. Mau baca buku, takut dibilang asosial. Mau dengerin lagi kesukaan, takut dibilang norak. Mau tetap diam, tubuh tak bersahabat. Aku pilih nonton televisi. Jadi diri sendiri rada-rada sulit memang.

Aku ingin sekali melihat sedalam-dalamnya mata para ukhty-ukhty yang pakai cadar. Entah, eye to eye itu serasa melihat semesta. Bukan yang lagi tersenyum yang ingin kulihat, tapi mata itu. Duh, mata, aku ingin menjelma kilau matamu. Aku ingin menjadi doa di nadimu. Hei, Ukhty, doaku di nadimu. 

Straight from my heart. Everything I Do, I Do it for you. Here I am. Shine a light. Please forgive me. Summer of 69.  Run to You. Heave. Itulah judul-judul lagu Bryan Adams yang sering kudengarkan.

Makan besar sudah diumukan.  “Ikan, Ikan, Ikan” terus berkelebat di pikiranku. Aku suka ikan, aku suka sayuran, aku suka telur, tapi aku kurang suka daging ayam dan sapi. Aku juga tidak suka masakan yang manis-manis, tapi aku sangat suka senyum manismu, Sri.

Hai, Sri, kamu apa kabar? Aku pasti akan berkirim surat lagi untukmu, Insyaallah.

Alhamdulillah, di prasmanan, ada sepiring sayung, telur puyuh, dan tiga ikan panggang. Maaf ya para daging ayam, kalian nyingkir dulu. Aku mau fokus. 

Makan bareng dengan tujuh bidadari dan beberapa buaya darat, senang tapi grogi, padahal aku sangat ingin sekali makan berdua gitu dengan cewek. Sepertinya sampai sekarang tidak benar-benar kesampaian, adanya bertiga, biar syetannya nyingkir. Pernah minum berdua, tapi dengan adik sendiri, sensasinya kurang.

Si ibu-ibu yang semoga lekas dikaruniai anak kembar laki-laki dan perempuan bilang kepada para bidadari dan buaya bahwa wajahku mirip dengan Cleopatra. Adduh, harus punya jurus ampuh. “biasanya jodoh,” kataku. Alhamdulillah ampuh, aku percaya kekuatan kata-kata.

Makan besar sudah selesai, aku kembali ke ruang tamu terakhir. Masih ada introgasi kecil-kecilan, biasanya aku yang sering introgasi kepada orang lain.

Saat aku kembali ke ruang tapi, para bidadati itu sudah tidak ada. Saya sangka sudah pulang duluan, ternyata masih salat. Semoga tidak dijemput malaikat. Aamiin.

Aku sedikit lega, aku bisa lebih bebas bergerak. Teman-teman laki-lakiku sibuk dengan androidnya masing-masing. Aku, apa yang mau disibukan, tak ada orang spesial yang harus kuhubungi. Aka ambil buku di tas, aku bawa dua buku dari rumah. Buku Jembatan Spiritual dan Religius Puncak Spiritual antara Tuhan, Manusia dan Alam karya Sayyed Hussein Nasr dan Email dari Amerika karya Janet Steel. 

Aku baca karya Janet, Janet adalah guruku. Ia seorang profesor sejarah media asia dari Amerika. Ketahuilah, ini sedikit pamer yang tidak perlu kalian ketahui, tapi pengen aku tulis.

Baru mau selesai dua esai, para perempuan yang salah satunya bikin aku penasaran itu sudah datang. Getaran jiwaku sudah tidak seperti awal bertemu. Sedikit mereda. 

Mereka merencanakan pergi ke rumah Ria, mana kutahu Ria yang aku maksud. 

Setahuku, Ria itu cantik. Hai Ria, kamu cantik. Aku selalu mengingatmu di malam-malamku. “Kalau siang?” kalau siang aku sibuk, tapi doaku di nadimu, kekasihku.

Kami berkunjung ke rumah Ria yang mereka maksud, keluarganya ramah. Terus, ada dedek cantiknya di sana, aku dan dia belajar tentang katak, kodok, kupu-kupu, dan lebah. Itu adalah hewan-hewan yang hebat, tidak seperti buaya dan ular yang hanya suka memangsa dan mengelit. 

Kami disuhu pentol ghape”, maknyus cuy, sambalnya mantap. Aku pengen makan lebih banyak lagi, pengen rasanya main ke sana lagi. Hahaha. Pentol itu dimana beli ya? Pengen beli. Aku sudah berulang kali lewat jalan depan rumah Ria itu, cuma kan gak tahu kalau di sana adalah rumahnya.

Kami melanjutkan perjalan ke pelabuhan di Pasean, Pamekasan. Jaraknya dekat. Helmku sedikit basah, tadi hujan saat masih di rumah Ria.

Apakah kalian tidak bosan membaca tulisan ini?

Pelabuhannya bagus. Kami parkir motor di samping pintu masuk pelabuhan, tarif 3. 000/motor. Di sana, tak ada ritual lain selain foto-foto. Foto bersama tentu tak terlewatkan. Aku sempat foto berdua dengan si Ukhty itu. dia adalah si Jablay, aku memanggilnya Jablay. Rada-rada Jablaynya Titi Kamal lah. 

Kadang tuh aku mikir pas sudah foto berdua dengan cewek, apakah perempuanku akan menerima ini, apakah ia akan menerima masa laluku yang seperti ini? Aku banyak sekali foto berdua dengan cewek, tetapi tidak ada yang benar-benar berdua, selalu di keramaian. Kadang nih, aku potong tuh foto biar kelihatan berdua. 

Terkadang, masa lalu bisa menghalangi masa depan.

Di pikiranku dulu, jika ada yang judge aku karena kejombloanku ini, foto-foto itu bisa dijadikan penawar, apalagi jika ada yang tanya tunangan dan semacamnya itu. kalau ada yang tanya=tanya begituan, biasanya aku langsung kasih fotoku dengan perempuan cantik, biar diem dia. Ya ada juga yang benar-benar ingin foto berdua, karena moment atau apalah, intinya ingin foto berdua.

Aku sudah capek yang mau ngetik. 

Kali ini, aku yang nyetir menuju pulang, lewat Ambunten, biar tidak lewat bukit dan hutan lagi. Gas full.

Meja Baru, 15 Juni 2020 22. 35

Komentar

  1. Amburadul. Intinya tidak ketemu. Maksdunya juga tidak tersampaikan dengan jelas. Terlalu kepikiran ukhty ya. Faye.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial