Makan Besar

Hai, Sri

Makan besar adalah tajuk silaturrahim kami. Royzi Takaya yang membuat tajuk itu. Atho’ bilang, kami akan makan ikan. Saya senang sekali, saya suka ikan.

Sebelum berangkat, jajaran ikan bakar selebar telapak tangan sudah tergambar jelas dalam angan-angan saya. Sekali lagi, saya suka sekali ikan. Saya juga suka sayuran. Saya tidak begitu suka daging ayam dan daging sapi, bukan tidak mau.

Seandainya saya dihadapkan dua pilihan, saya tidak perlu pikir panjang untuk memilih ikan.
 
Di ruang tamu rumah Atho’ (saya pikir itu rumah bibinya), kami ngobrol berbagai hal. Saya tidak bisa ikut ngobrol terlalu banyak karena diliputi rasa grogi ketika di dekat perempuan yang baru saya kenal.

Saya menunggu makan besar itu segera tiba. 

“Ayo makan, makan, makan!”

Mendengar perkataan itu saya langsung semangat, yang ditunggu-tunggu telah tiba. Saya termasuk orang pertama yang mengambil makanan. Helmi paling pertama, ia lebih gesit dari saya.

Mata saya langsung tertuju ke tiga ikan panggang yang berada di sebuah piring putih. Ada tusukan sate daging dan tusukan telur pujuh, sayuran, kuah daging ayam, tempe, dan beberapa hidangan yang telah saya lupa. Saya tidak berniat untuk mengambil kuah itu, di pikiran saya hanya ada ikan. 

Saya ambil nasi, sate daging—saya kira sate itu dari daging sapi, ternyata daging ayam—dan tusukan telur puyuh, sayur tentunya tidak akan lupa.

Tidak ada ikan bakar yang saya bayangkan, adanya ikan panggang. Ikan itu sudah dipanggang oleh penjual, bukan dipangang sendiri. Ikan tongkol yang dipanggang seperti itu banyak ditemui di pasaran, warnanya jadi keemasan, nyaris tidak ada bekas arang di dagingnya. Saya tidak pernah melihat secara langsung cara memanggang ikan seperti itu.

Satu piring ikan itu saya turunkan dari atas meja. Akan tetapi, setelah ada di depan mata, saya merasa sungkan untuk memakannya. (Sebelumnya saya mohon maaf Atho’) sepertinya ikan itu tidak baru. Saya bisa menduganya ketika mencicipinya.

Saya suka sayur itu, bayam dicampur kacang yang telah diulek. 

Mengenai ikan panggang itu, akan lebih enak jika ikan itu disajikan dengan sambal yang terdiri dari cabe, kecap manis, dan jeruk nipis. Kalau mama beli ikan seperti itu di rumah, tidak jarang saya makan duluan sebelum dimasak kembali. Sudah dipanggang, enak.

Makan besar itu begitu bermakna bagiku, makan bersama para sahabat, ramai, ceria, nikmatnya terasa lebih. Saya pernah mendengar petuah bahwa makan bersama lebih berkah daripada makan sendiri.

Selain ikan, saya juga suka makan telur rebus. Di rumah, kadang saya bisa makan dua sampai tiga telur rebus sekali makan, bahkan bisa empat, kalau ada. Mama selalu banyak telur negeri, kiloan. Saya tidak tahu berapa, biasanya sekeranjang. Telur kadang seperti makanan di darurat karena mudah didapat dan mudah cara masaknya. Sekali lagi, kalau punya. 

Terima kasih, Atho’, tante, dan keluarga di sana yang telah menyediakan makan besar ini. 

Terima kasih juga kepada sahabat-sahabat yang bersedia hadir dalam makan besar ini.

Salam kepada keluarga di sana, Tho’. Dari aku pecinta ikan dan telur rebus.

Salam kepada keluarga di sana, Sri. Dari aku yang mencintaimu.

Meja baru
Rabu, 17/06/2020 16. 20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial