Menyembuhkan Luka, Menuntaskan Rindu
“Tak ada luka yang lebih sederhana,” begitulah petikan puisi Moh. Fauzi.
Masih ada luka yang mendera dadaku, masih ada rindu yang belum kutuntaskan. Aku simpan sendiri luka dan rindu itu. Tak ada yang tahu, tak ada yang mau tahu. Satu-satunya penawar luka dan rindu itu adalah temu.
Siang menjelang sore, aku baru saja menjual kacang hijau ke pengepul. Aku belum mandi. Paket koutaku baru diisi. Ada sebuah panggilan via WhatsApp dari temanku. Ia bilang, sahabat-sahabat seperjuangan sudah berkumpul di Cafee. Aku diminta untuk segera berangkat ke sana.
“Tapi aku masih belum mandi.”
“Sudah, gak usah mandi.”
Aku langsung mengambil jaket, cari kunci motor, langsung berangkat tanpa pikir panjang. Aku ngebut. Motorku hanya 110 cc, gas full-pun serasa tidak berjalan, aku ingin sampai sekejap mata. Pikiranku sudah sampai.
Teman-temanku sudah berkumpul, minuman sudah tersedia di meja mereka. Aku langsung memesannya. Quraisy baru datang memesan minuman. Aku memesan kopi jahe, salah satu minuman kesukaanku jika aku ke cafee Hompimpa, Asta Tinggi.
Siang itu, Quraisy banyak mendapatkan pertanyaan. Ia orang Pamekasan yang baru saja pulang dari Batam, pengabdian. Ia menceritakan tentang kota metropolis, mulai dari pesantren tempat ia mengabdi sampai tempat-tempat prostitusi.
Pesantren di sana tidak sebagaimana pesantren di tempat ia mondok. Suasanya berbeda, bahan ajarnya beda, tingkatan kitabnya beda. Di sana, tingkat MA masih ada yang belajar Iqra'. Menurutnya, ia merasa mendapatkan barokah dari pesantren tempat ia nyantri, terutama masalah administrasi.
Sejenak kami tertegun, sejenak kemudian kami tertawa terbahak-bahak. Pengunjung lain di samping kami bermain gitar sambil bernyanyi.
Bersama mereka, aku merasa sembuh dari berbagai luka hati yang mendera. Rindu mulai tuntas. Aku senang walau lebih banyak mendengar waktu itu.
Sahabat sahabatku ini adalah sahabat seperjuangan semasa kuliah, kami seangkatan di PMII. Di antara kami mayoritas adalah pengurus PK PMII Guluk-Guluk dan KBM (Keluarga Besar Mahasiswa) mulai dari BEM, DMP, UKM, sampai Takmir Musala kampus. Aku sendiri, dulu aktif di LPM.
Kini, mereka mempunyai kesibukan tersendiri. Ada yang bekerja di NGO, pendidikan, bisnis, ada juga yang masih pengangguran. “Pengangguran” di sini berarti tidak punya gaji, bukan tidak ada kerjaan. Biasanya mereka yang pengangguran membantu orang tua di rumah atau bertani.
Kami menghabiskan waktu dengan bercanda, seolah tak kehabisan bahan candaan.
Quraisy, tipikal orang yang gaya bicaranya santai, tenang, jelas, dan lugas. Muzammil gaya bicaranya selalu ngegas, bukan marah-marah tapi suaranya memang selalu tinggi. Aku sering bicara gak begitu jelas. Helmi kalau bicara lambat, seperti terpotong-potong, tapi kadang lancaaar banget. Waris kalau bicara cepat dan jelas (ia selalu pamer tentang dirinya yang sudah menikah dan menikmati hidup seperti dalam video tujuh menitan, istrinya tengah hamil lima bulan). Herman dan Lutfi bicaranya khas Sumenep bagian timur, sangghit, intinya dialeknya beda (entar hanya saling nuduh siapa yang sangghit).
HP kami diletakkan saat itu, fokus berbagi cerita, walau kadang diambil juga. Perjamuan siang itu bubar, lebih tepatnya pindah tempat, setelah Ashar, sore, ke kosan Atho' (dia mantan presiden mahasiswa). Tadi dia telat. Bagusnya, ia langsung mentraktir kami, memesankan kami minum lagi.
Bersambung...
Mantap
BalasHapusTerima kasih
Hapus