Pentol

Hai, Sri

Apa kabar kamu di sana?

Sekarang pikiran saya sedang mumet, tidak tahu kenapa dan tidak tahu pula mau apa. Saya hanya ingin makan pentol sampai kenyang. Akan tetapi, makan pentol sendiri serasa kurang nikmat.

Aku sudah banyak makan pentol di berbagai tempat, mungkin sudah puluhan tempat, mulai dari pedagang pentol di sekolah sampai di pasaran.

Dari berbagai pentol yang pernah saya makan dari berbagai tempat, pentol yang rasanya masih membekas di khayalan adalah Pentol Ghape’ di Pasongsongan. Saya tidak membeli pentol itu. Waktu itu saya dari rumah Atho, lanjut bertamu ke rumah Ria di Pasongsongan. Saya tidak tahu siapa Ria, saya hanya mengikuti teman-teman. Di sana, kami disuguhi Pentol Ghape’ dan Pattek (aku lupa namanya untuk yang ini).

Saya pertama kali makan pentol seperti itu, baunya harum bawang daun, sepertinya juga ada aroma ikannya. Bentuknya bundar dan pipih, tipis. Saat dimakan, disobek-sobek, dilipat, dicelupkan ke sambal bening.

Saya tidak begitu tahu sambal itu terbuat dari apa, tapi bening, ada potongan bawang dan cabenya. Beberapa hari sesudahnya, saya tanya ke Ria, terbuat dari apa sambal itu. Katanya, ia terbuat dari tepung kanji, bawang merah, bawang daun, dan cabe. Saya juga pertama kali melihat dan makan racikan sambal seperti itu. Pernah makan sambal yang menggunakan bahan dasar tepung, tapi biasanya tidak bening, coklat. Itu pun sambal untuk gorengan, Tahu Isi atau Teote.

Saya tidak begitu makan hidangan yang satunya, Pattek, selain teksturnya sedikit keras, rasanya kok serasa tidak pas di lidah. Kalau kata orang Madura “seddha’.”

Makan pertama kali, saya jadi ketagihan untuk makan pentol itu lagi, benar-benar nikmat. Mungkin akan jauh lebih nikmat jika dinikmati berdua denganmu, Sri.

Pentol urutan kedua yang paling enak, selama dalam dunia perpentolan saya, adalah Pentol Thulit di Bluto. Saya pikir, pentolnya biasa saja, pentol tahu, hanya saja ukurannya pas, teksturnya lembut. Banyak saya temui pentol tahu seperti itu, tapi jarang ada yang lebih enak. Bedanya, terletak di sambalnya.

Sambal pentol tahu yang satu ini berbahan dahan petis, dilengkapi jeruk nipis dan cabe. Saya tidak tahu, apakah diberi tambahan garam dan merica atau tidak, soalnya ada petis yang memang tidak usah diberi garam. Ketika saya berkunjung ke tempat pentol itu, saya sering beli sampai puluhan ribu, bukan untuk dimakan sendirian. Sampai puas pokoknya.

Selanjutnya, di urutan ketiga, adalah pentol abang-abang di sekolah MA saya dulu. Saya tidak tahu namanya abang itu siapa, ia jual pentol keliling menggunakan sepeda ontel. Tidak peting ia pakai alat transportasi apa namun yang pasti pentolnya enak.

Sayang, pentol ketiga ini mungkin hanya menjadi sejarah, saya sudah lama tidak bertemu dengannya. Saya masih hafal wajah penjualnya. Selama saya mengajar di almamater MTs-MA saya, saya tetap tidak bertemu lagi dengan si abang pentol itu.

Kalau Pentol Thulit, saya bisa kapan saja datang ke sana, tempatnya berada di sekitar kecamatan Bluto, kurang lebih 5 km dari rumah. 

Akan tetapi Sri, saya masih ingin makan lagi pentol seperti pentol yang ada di rumah Ria itu. Saya rindu pentol itu, tapi aku lebih rindu kamu.

Sekali lagi, saya tidak tahu kenapa pikiranku mumet saat ini, entah karena rindu kamu atau ingin makan Pentol Ghape’ atau dua-duanya. Rindu kamu, ingin makan Pentol Ghape, berdua denganmu.

Sri, semoga ulang tahunmu tahun ini menyenangkan!

Sampai jumpa di kesempatan mendatang.

Meja baru, 22/06/2020 16. 19

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial