Ambisi
Hai, Sri
Beberapa hari lalu saya pergi ke rumah teman, Athoillah, di Desa Soddara, Pasongsongan. Saat itu kondisi saya kurang sehat, untung saja ada Helmi yang bersedia menyetir motor saya. Ia orang Telaga, Kecamatan Ganding.
Ada banyak teman yang akan pergi ke Soddara, kami seangkatan dalam organisasi.
Motorku Smash 110 cc produksi tahun 2006. Sudah lama ia bersama saya, sejak tahun 2015 kalau tidak salah. Duka cita sudah saya lalui dengan motor itu.
Hari itu, saat sampai di “Lorong Anyar”—sebuah nama jalan di Kecamatan Ganding—kami berdua berhenti menunggu Faika dan temannya. Ia juga mau ke sana. Di utara jalan tempat kami berhenti, saya melihat sebuah mesin pompa angin.
Melihat pompa itu sembari menunggu saya pikir tidak butuh lama untuk memperbaiki rantai motor saya yang kendor dan rem belakang yang bermasalah. Saat jalan, motor saya bunyi “klettek klettek” karena benturan antara rantai dan arm selalu terdengar.
Saya usulkan itu ke Helmi, ia setuju.
Mengingat pahit-manis bersama motor itu, sempat terpikir, “seandainya saya punya motor baru” namun seketika itu juga saya menepisnya sendiri, untuk apa motor baru jika motor ini masih berfungsi dengan baik. Yang terpenting, motor itu masih bisa memenuhi fungsinya.
Saya merasa heran kepada saya sendiri, Sri, mengapa saya tidak begitu berambisi untuk hal-hal seperti itu, punya kendaraan mewah atau barang-barang mewah. Di satu sisi, saya sangat bersyukur karena saya tidak perlu repot-repot mewujudkan ambisi itu.
Seorang teman pernah bilang kepada saya, “Mana hasil kerjamu, ini hasil kerjaku,” katanya sambil menunjukkan motornya. Saya lupa waktu itu menjawab apa tetapi yang terpenting bagi saya adalah “Ambisiku bukan ambisimu.”
Setiap orang tidak harus memiliki ambisi yang sama, seperti halnya saya dan dia.
Awal-awal saya bekerja, saya banyak menghabiskan gaji saya jalan-jalan ke luar kota. Sebenarnya bukan jalan-jalan murni, tetapi roadshow puisi sambil lalu jalan-jalan.
Jika diukur dari kacamata ekonomi, itu kurang baik karena tabungan saya makin menipis atau bahkan tidak ada. Apa gunanya punya uang jika tidak digunakan dengan baik dan untuk kebaikan, saya selalu berpikir begitu.
Akan tetapi, saya punya kepuasan batin yang tidak mereka miliki. Saya tidak peduli mereka mempunyai ambisi seperti apa, saya hanya peduli kepada ambisi saya sendiri.
Menurut saya, kebahagiaan tidak bisa diukur dari seberapa banyak punya tumpukan harta, uang dan beberapa fasilitas mewah. Saya sudah merasa cukup dengan hidup sederhana, bukan berarti saya mau menolak karunia Allah yang begitu melimpah ini. Saya sangat bersyukur dengan karunia ini.
Harta bukan tujuan utama kita hidup kan, Sri? Kehidupan, harta benda, ambisi, bukan suatu hal yang harus kita benci. Semua punya fungsi dan tujuannya sendiri. ia disyukuri dan digunakan sebaik mungkin adalah jalan terbaik.
Sri, saya rindu kamu. Sampai jumpa di kesempatan mendatang!
Meja baru,
Rabu, 17/06/2020 08. 32
Komentar
Posting Komentar