Cadar

Hai, Sri

Ketika saya silaturrahim ke rumah Atho’ dengan teman-teman angkatan organisasi, saya melihat dua teman saya menggunakan cadar warna hitam, satu menggunakan kacamata, satunya lagi tidak. 

Saya kenal salah seorang mereka. Saya bisa kenal dari suaranya. Perempuan yang berkacamata lebih pendek dan lebih kurus. Saya duga, waktu itu saya belum pernah bertemu dengannya. Sampai saat ini saya tidak tahu siapa nama lengkapnya. 

Saat melihat perempuan bercadar, penglihatan saya selalu tertuju ke matanya. Itu satu-satunya pintu semesta yang bisa kulihat darinya. Saya seperti melihat semesta ketika melihat mata seseorang, seolah-olah saya bisa memahami seseorang ketika melihat matanya.

Saya memaknai cadar adalah budaya yang disyariatkan. Aku biasa saja ketika melihat seorang bercadar. Bagi saya, cadar bukan satu-satunya yang menandakan bahwa ia adalah seorang yang bertakwa sepenuhnya kepada Allah. Akan tetapi, mungkin itu adalah ikhtiar mereka untuk bisa semakin dekat kepada-Nya.

Penggunaan cadar masih terus diperdebatkan sampai saat ini di kalangan para ulama. Saya tidak begitu peduli, seseorang mau bercadar atau tidak. Melakukan sesuatu atas dasar kesadaran lebih baik.

Para perempuan mau pakai cadar atau tidak bukan urusan saya. Saya hanya sedikit geli ketika melihat seseorang yang memakai cadar seolah-olah ia telah melaksanakan sepenuhnya syariat Islam, apalagi sampai merendahkan orang yang tidak pakai cadar atau pakaian yang tidak pantas dalam tolok ukur budaya setempat.

Merasa lebih baik karena telah melaksanakan sebagian sunnah nabi, bagi saya, adalah cobaan halus dalam menjerumuskan manusia ke jalan yang kurang baik. 

Begitu pun seperti saya saat ini, terbersit di pikiran saya bahwa saya lebih baik dari orang lain karena saya telah berusaha bijak. 

Sri, banyak saya temui orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang menempatkan perempuan sebatas objek, sumber maksiat. Laki-laki dan perempuan sama-sama subjek, sama-sama objek. Mereka bisa menilai dan dinilai.

Samasa saya menjadi jurnalis di sebuah koran harian, terdapat seorang perempuan yang diperkosa enam laki-laki secara bergantian. Kebanyakan orang menyalahkan si perempuan karena ia “kegatelan” dekat laki-laki. 

Saya tidak tahu, apakah ia berjilbab atau tidak. 

Saya pikir, mereka semua, jika saya boleh berpikiran buruk, sama bejatnya. Si laki-laki datang untuk “memburu”, si perempuan juga datang untuk “memangsa.” Siapakah di antara mereka yang menerkam? 

Seburuk apapun mereka saat ini menurut kacamata kita, tidak ada yang tahu kedudukan mereka di sisi Allah. 

Melihat kasus itu secara timpang, ada orang-orang yang memberikan solusi untuk berbusana “syar’i,” memakai cadar. Benarkah itu satu-satunya solusi yang baik?

Terkadang saya beranggapan, kampanye “syar’i” saat ini sebatas kampanye bisnis. Mengapa ibadah kita sangat mahal?

Perjalanan manusia sungguh panjang, tidak ada yang tahu seperti apa akhirnya. Tidak ada seorang manusia mana pun yang tahu ibadah yang mana saja yang diterima oleh Allah Swt. Mari terus berusaha rendah hati, Sri.

Sri, saya tidak bisa mempersembahkan seluruh nafas dan hidupku untukmu, aku ingin mempersembahkanya sepenuhnya kepada Allah. Mari kita sama-sama meraih ridha-Nya.
 
Dua perempuan bercadar tadi sangat ramah, saya senang sekali melihat mereka tidak seperti dalam pikiran buruk saya. 

Semoga kita semua mendapat ridha Allah Swt.

Sampai jumpa kesempatan mendatang, Sri. Salam kangen!

Meja baru,
Rabu, 17/06/2020 10. 59

Komentar

  1. Benar, tolak ukur kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya tudak hanya bisa dilihat melalui busana...

    BalasHapus
  2. Benar, tolak ukur kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya tudak hanya bisa dilihat melalui busana...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial