Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2020

Pulau Surga

Gambar
Aku tiba di pelabuhan Bringsang, Gili Genting. Ini adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pulau itu. Aku datang untuk liputan. Motor smash merah tahun 2006  ‘ku bawa menyeberang lautan. Selama ini, Pulau Gili Genting hanya sebuah khayal bagiku. Aku terobsesi untuk menjelajah dari pulau ke pulau, bukan dari dari luka ke perih. Aku menyusuri garis pantau, mengamati setiap gazebo, mencari seorang perempuan yang telah menungguku sejak pukul 09. 00, saat itu sudah pukul 10. 39 WIB. Aku telepon untuk memastikan keberadaannya. “I see you, terus ke arah barat,” katanya di seberang telepon. Ada seorang perempuan yang tak terlihat jelas wajahnya dadahdadah kepadaku di kejauhan, dalam sebuah warung yang tutup. Aku pikir, pasti dia. Pertemuan ini adalah pertemuanku dengannya untuk kedua kalinya. Ada seorang perempuan mengenakan masker berwarna biru di depannya, aku tanya, namanya Ifa. Nama temanku, Sri. Ia yang selalu hidup dalam khayalanku selama ini. Melihat dirinya, ak...

Bagaimana Kabarmu di Malang?

Hai, beb. Bagaiamana kabarmu di Malang? Sejak satu minggu terakhir saya menyibukkan diri untuk liputan, seolah sudah tak ada waktu lagi untuk menulis surat untukmu. Aku sengaja melakukan itu. Alasannya, aku tak begitu mengerti. Besok, Senin (27/01/2020), saya mau ke Pantai Sembilan, Gili Genting, sendirian. Liputan sekaligus jalan-jalan. Aku ingin ke kota dimana kamu ada saat ini. Jumpa denganmu sekaligus jalan-jalan. Mungkin hidupku masih kurang jalan-jalan, aku mau tuntaskan bersamamu. Resiko laki-laki yany selalu merayu cewek sepertiku, sulit dipercaya cewek. Aku dulu sengaja melakukan ini, biar para cewek tidak percaya padaku. Sekarang sudah berhasil, meski kuucapkan berulang-ulang padamu, kau tak percaya. Hahaha. Tadi editorku tanya, “yang banjir sudah ditulis?” Wawancara sudah ditranskip sebenarnya, Cuma belum selesai ditulis. Ada banyak timbunan wawancara/berita, tapi tidak saya tulis. Para editor di Jakarta lagi sibuk ngurusi salah satu rekan jurnalis mereka yang ditangk...

Pagi di As-Salam

Gambar
Hai Perempuanku, malam ini aku menginap di Kebun Konservasi As-Salam. Senang aku bisa melihatmu kemarin. Mungkin itu yang terakhir dalam minggu ini. Maaf, aku tak bisa menyapamu lebih baik dari itu. Aku mendapat ilmu banyak di sini, walau kadang aku ngantuk saat pematerian. Maklum lah, diburu rasa bosan. Di sini, aku tidak benar-benar sepi. Ada banyak kawan baru, ada suara alam, ada dirimu dalam ingatanku. Kamu sudah mau berangkat, yaa, selamat jalan, sampai jumpa pagi. Aku akan ke Pantai Sembilan, Gili Genting, hari Senin, Insyaallah. Agendaku jalan-jalan,  liputan, dan menemui Sri. Hahaha. Jangan cemburu dong, aku padamu. Wkwk. Aku sedikit masuk angin, sejak kemarin sebelumnya. Hari Rabu, saya liputan ke Pamekasan, Wisata Puncak Ratu dan TPA Angsana. Saat di jalan, aku melihat penambangan batu, aku foto, aku dipanggil-dipanggil oleh pekerja (aku kira begitu), lalu aku kabur. Sebenarnya bukan untuk diliput cuma untuk dokumentasi saja. Kembali ke acara, aku biasanya n...

Nikmatnya Rindu, Pedihnya Luka

Aku tidak ingin ditaklukkan perempuan. Aku ingin menaklukkan perempuan. Aku senang merindukanmu. Aku senang membayangkanmu menjelang tidur. Aku senang memikirkanmu. Aku senang mengingat tawamu versi “wkwkwkwk" di WA. Aku senang mengkhayalkan visualisasi teks chat denganmu. Aku senang sekali. Aku senang bisa menikmati rindu padamu. Aku senang merawat rindu ini untukmu. Aku ingin selalu merawatnya untukmu. Aku senang. Aku senang sebentar lagi akan bertemu denganmu. Aku senang akan bersamamu. Aku senang melihat senyummu. Aku senang. Aku akan sangat senang jika suatu saat bisa memelukmu. Aku senang bisa saling peluk. Aku senang pelukan. Aku senang meluk. Aku senang dipeluk. Aku senang pelukan hangat. Aku masih belum pernah dipeluk perempuan. Aku beberapa kali dipeluk teman-temanku  dari luar kota. Aku senang dipeluk, walau di jalan, stasiun, terminal, atau di tempat-tempat ada pelukan, tempat dimana tidak ada larangan untuk sebuah pelukan. Seharian aku mewawancarai  lima nara su...

Surat Pembantaian

Aku tak punya keris sesakti keris Mpu Gandring milik Ken Arok atau sekuat Pedang Naga Puspa milik Arya Kamandanu, tapi aku punya kata-kata serupa “Syair Berdarah" Arya Dwipangga. Aku tahu dan sadar, kata-kata tak cukup untuk menaklukkan Mei Shin seperti Kamandanu dan menaklukan Ken Dedes seperti Arok. Aku sadar itu. Aku ingin membantaimu dalam surat ini. Perempuan selalu merepotkan. Jika melakukan hal-hal baik pada perempuan, mereka sangka, laki-laki kerap kali dianggap menaruh hati. Perempuan bisa sekehendak hati memutuskan. Kalimat ini memang njlimet, sejlimet perempuan. Beberapa kisah di bawah ini hanya contoh. Suatu ketika aku bekerja di kantor, ngetik tulisan. Sebagai seorang kuli tinta waktu itu, saya dikejar deadline. DL jam 17. 00. Sekitar jam 15. 30, ada seorang teman perempuan minta bantuan untuk dicarikan buku. Kantor saya dekat toko buku, sekitar 400 meter. Saya sanggup, tidak banyak bicara (karena diburu DL) saya langsung berhenti ngetik, meluncur menggunakan m...

Semangat Kuda, Tenaga Ayam

Gambar
Simbol: lambang tidak terhingga versi mangkok dan sendok Saya pernah merasa bahwa saya seperti hewan itu (tapi saya bukan hewan) yang mempunyai semangat seperti kuda, tetapi tenagaku hanya sekuat tenaga ayam. Dasar, manusia lemah. Hahaha. Manusia memang lemah, tidak mempunyai daya atas kehidupannya sendiri. Pemahaman saya sudah khas orang “ kanan” tidak? Tadi siang saya membantu pembangunan rumah mertua kakak saya yang ganteng budiman (Pertanyaan: di kalimat ini yang ganteng kakak saya atau mertua kakak saya?), pas masih pagi menjelang siang, areal lututku terbentur beton (itu dulunya adalah gedung pendeng setinggi setengah meter), sakit, nyeri, sampai sekarang. Padahal hanya terbentur. Seperti “hanya” diriku padamu, beb, “hanya melihat, hanya mengagumi.” Persis di atas lutut kiriku bagian kiri lebang, ada warna birunya, yang pasti ini bukan darah biru. Aku bukan keturunan darah biru. Birunya cintaku padamu. Ah, rayuan pasaran. Tidak cukup sampai di situ, kaki kiriku (kalau ti...

Sekilas

Aku sangat mengantuk sekali, capek, lelah, tapi capek dan lelahku menyenangkan kali ini. Aku menikmati aktivitasku hari ini. Aku memaksakan diri untuk tidak tidur dan mencatat momen yang sangat berkesan hari ini. Aku bukan orang lemah yang perlu kamu tolong, tapi aku orang kuat yang akan memperjuangkanmu. Aku sampai ke rumah dari kampus waktu azan magrib. Sore tadi aku melihat batu pualam tersenyum, sekilas tapi cukup kukenang sepanjang usia. Bukan batu, itu wajah, bukan wajah batu atau wajah membatu, hanya saja wajahnya putih seperti batu pualam. Senyum itu, senyum yang pernah masuk dalam khayalanku, serupa lukisan sketsa, segurat wajah dan bibir yang tersenyum. Aku masih penasaran, tangan siapa tempo hari yang mengibas khayalanku tentang sketsa wajah itu. Sungguh, aku ingin membunuhnya. Aku ingin membunuhnya dengan timbunan surat, biar stres dia mengganggu ketenangan khayalanku. Aku melihat senyum itu memang sekilas, sekilas dalam khayalan, sekilas dalam kenyataan, abadi dala...

Cerita yang Tak Utuh

Aku sudah tidak kuat ngantuk. Otakku harus direfrehsing sejenak. Pikiran bisa menjadi tenang tatkala aku menulis apa saja, yang santai, seperti menulis surat ini untukmu, nis. Nisa. Aku sejak tadi pagi, nih, otak -atik buku dan corat-coret kertas, tangkap layar untuk beberapa bagian penting dari buku pdf. Lelah tapi seneng, ada kepuasan tersendiri ketika aku telah menyelesaikan pekerjaan dan menemukan gagasan atau ide-ide baru di tengah perjalanan. Sungguh, aku mencintaimu dengan sepenuh hati. Ada bebepa rentetan kejadian yang ingin kutulis, aku ingin menulisnya dengan lebih rinci daripada yang kutulis dalam surat ini. Kemarin lusa, gas motorku cekka ’, gas full terus sejak dari Pasar Paragaan. Untungnya saya masih bisa mengandalkan rem depan dan belakang, gak enak kalau hidup ngegas terus, sama tidak enaknya dengan naik motor yang gas poll terus. Pas pindah gigi, ada semacam atraksi di tengah jalan, ngangka ’. Saat itu aku nyalip mobil, aku gas poll, eh malah tiba-tiba gas ga...

Sketsa Wajah

Aku “digempur” para gamers . Aku merasa gelisah, aku tidak terbiasa dalam suasana seperti ini. Kopiku sudah kabis, kantukku hilang. Aku berada di sebuah kos teman di Pamekasan. Mereka para jurnalis kampus. Tadi siang, mereka bergebu-gebu bicara soal dunia pers. Aku tanya mereka tentang liputan apa saja yang mereka baca, yang berkesan. “Saya tidak tahu kalau urusan buku,” katanya. “Loh, katanya kamu pengurus ... (disensor).” Aku ingin ngobrol dengan mereka lebih banyak tentang dunia mereka, tetapi mereka menunjukkan dunia mereka padaku, dunia game. Aku sudah seperti hakim saat ini. Aku tidak ngantuk, menulis adalah salah satu cara mengenyahkan kejenuhanku ini. Surat ini adalah teman setiaku, ia menampung apa saja yang aku utarakan. *** Kamu yang terdiam dalam keheningan, membiarkanku melakukan apa saja menikmati kesunyian. Kesunyin demi kesunyian kulalui, temaran lampu, suara jangkrik, dan hewan-hewan yang tidak kutahu rupanya akrab di telingaku. Seberkas wajah kosong melintas...

Kenangan dari Aceh

Gambar
Hai, kamu. Aku tidak tahu kamu siapa. Aku bingung mau dikirim kepada siapa suratku ini. Saat ini aku berada di Cafe Surya, Pamekasan. Aku ke sini untuk menemui temanku dari Aceh, Rahmat Ali/Maheng/Rahmat Ismail. Maheng banyak menceritakan hal-hal menarik, mulai dari pertikaian GAM dan TNI di tanah kelahirannya, pengalamannya menjadi jurnalis online di Jakarta, kuliah, percintaan, dan beberapa perjalanan hidupnya. Aku sangat senang bertemu dengannya, banyak berbagi pengalaman. Maheng adalah salah satu korban Tsunami Aceh, ia dan keluarganya selamat. Perjalanan hidupnya penuh lika-liku, menurutku sangat mengerikan. Suatu ketika, ia melihat sendiri di depan mata kepalanya seorang GAM yang nyaris membunuh ayahnya dengan cangkul, badan ayahnya sudah dibekuk, dinaiki layaknya kuda, namun selamat karena keburu datang tentara sehingga tentara GAM itu kabur sebelum sempat mencangkul ayahnya. Pernah pula seorang TNI memopor ayahnya karena disangka bagian dari GAM. Kemudian hari, seorang...

Surat Cinta Kesepuluh (Surat Cinta Terakhir)

Gambar
Seikat pohon cabe di tanganku siap ditanam. Fotografer: Mama Sri, aku hanyalah remahan kerupuk bagimu. Meskipun kamu pedas menolak cintaku, kamu adalah sambal yang membuatku berarti walau hanya sekejab lidah. Apalah dayaku yang menjadi remahan, disapu begitu saja atas nama “kebersihan.” Ini surat cintaku yang terakhir untukmu. Kali ini aku mau serius terhadap perasaanku. Selama ini aku  selalu menghibur diri. Kamu belum tahu siapa aku sesungguhnya. Selama ini hatiku luka. Aku menyibukkan diri dengan berbagai hal, menulis dan membaca buku adalah salah satunya. Masih kurang, aku semakin menyibukkan diri dengan baca buku sambil main hp. Sekarang aku ingin konsisten untuk memperjuangkan satu orang, meskipun sudah dipepet orang tetapi masih ada peluang. Surat-suratku kepadamu selama ini hanyalah setengah khayal. Ada beberapa orang yang mungkin cemburu padamu, meskipun kamu hanyalah temanku, aku bisa mengerti bagaimana perasaan perempuan. Di sisi lain, kamu cantik. P...

Laporan Gaya Baru

Gambar
5 Januari 2019 Aku dan Rofiki melewati jembatan bambu yang diberi tanah di atasnya. Kami masuk pada semua kafe dengan desain gubuk bambu. Ada pohon Sawo besar di depan warung pemesanan kopi. Kami memilih duduk di bagian timur.  Aku pikir, itu lebih kondusif dan nyaman karena tak ada orang sama sekali di sana. Roychan masih berada di jalan. Katanya, ia masih berteduh dari hujan. Kami berdua bicara apa saja, serba santai, sesekali kami mengungkapkan kekecewaan kami secara lirih kepada pemilik kafe, tapi cuma dikatakan lirih diantara kita berdua, karena sandi wifi tidak diberikan, cuma disambungkan oleh pelayan ke ponsel kami. Lagi, kalau mau dipakai ke laptop harus bayar Rp1 ribu per jam. Niat download film buyar. Sekitar pukul 13. 30 Roychan datang. Ia melangkah ke arah kami dengan senyum khasnya. Kacamatanya ikut bergerak seiring gerak bibirnya yang mengembang. Si calon filsuf sudah datang, di jaketnya masih tersisa tetesan air hujan. Kami tidak langsung mulai ...

Surat Cinta Kesembilan (Cinta Matematis)

Gambar
Meskipun suratku belum kamu balas, Sri, aku tetap mau menulis surat lagi untukmu. Bahuku sudah berangsur-angsur sembuh.  Semalam aku baca novel “Germinal” karya Emile Zola, menceritakan kaum buruh batu bara di Prancis yang selalu ditekan kehidupannya oleh pengusaha. Angin revolusi kaum kiri mulai dihembuskan, pemogokan kerja dirancang. Mereka membangun kesadaran, memanfaatkan ketertekanan buruh untuk melawan. Aroma revolusi semakin dekat. Ceritanya cukup sampai  di situ, saya baru baca sampai halaman 308 dari 876 halaman. Saat ini aku berada di lahan jagung milikku, jadi ojek. Hahaha. Bahuku masih terasa sakit, walau berangsur membaik. Di jalan berkerikil, aku melihat burung puyuh terbang tiba-tiba, lalu berlari menyosor tanah dengan cepat. Semilir angin berhembus. Tubuhku sedikit kedinginan diterpa angin. Lihat tubuhku di foto itu, masih belum mandi. Ada yang bertanya padaku, seperti apa kriteria perempuan yang aku sukai? Sudah berulang kali aku sampaikan, aku tidak...

Surat Cinta Kedelapan

Surat ini kutulis saat bahu kiriku sakit, aku tidak bisa mengangkat lenganku terlalu tinggi. Akan tetapi, aku masih bisa untuk merentangkan lenganku menyambut kedatanganmu dan memelukmu, Sri. Tidak seperti biasanya, surat ini kutulis dalam grup What's App yang anggotanya hanya aku sendiri, aplikasi microsoft word di hpku tidak berfungsi dengan baik. Semangatku menulis surat untukmu membara, tidak bisa dihentikan hanya karena bahu sakit dan microsoft word tidak stabil. Sri, jangan pikir karena aku merayu banya perempuan lalu aku tidak setia kepada perempuanku. Apabila aku telah memutuskan untuk bersama, yang lain nyingkir dulu. Masalahnya, aku sulit jatuh cinta beneran. Ketika mulai suka ke orang, eh malah telah kepepet orang lain. Hahaha. Apes! Aku sangat tidak mentolerir perselingkuhan, sama sekali. Kalau sudah sama-sama memutuskan bersama, jangan sampai itu terjadi.  Aku pernah dengan perempuan ular seperti itu. Dia cantik, makin hari makin cantik saja kelihatannya, tetapi ci...