Surat untuk Eneng

Selfi bersama: Helmi, Saya, dan Warits

Selamat malam, neng. Salam kenal. Semoga pertemanan kita tidak pernah menjadi sahabat, cukup teman. Teman bermain, teman ngobrol, teman ngopi, teman belajar, teman hidup, teman tidur. Duh, maafkan kakang, neng, kakang khilaf. Kalau khilaf tidak akan masuk penjara kan, masukkan aku ke surga! Cukup penjara aku dengan cintamu, eh jangan, kita berdua saja deh dalam “sel” cinta-cintaan. Kita ke surga saja ya, lebih enak.

Niatnya saya tidak mau menulis tulisan seperti ini, tetapi ajaib nih jempol. Bertindak, berpikir, dan menulis alay menurunin marwah cowok semi keren seperti saya.

Sekitar jam 08. 00 WIB saya berangkat ke cafee di wilayah kota dengan teman saya, Helmi, yang saya tunggu di pertigaan Pasar Lenteng. Pagi itu saya lupa makan, tidak biasanya. Saya baru makan setelah sampai ke rumah, setelah isya’.

Di cafee, saya dan teman-teman ngobrol ngarul ngidur berbagai hal, dari sekitar jam 09. 00 sampai sekitar jam 13. 00 WIB. Di tengah-tengah obrolan, si Iis Style Jablay “mempertemukan” kita, klepek-klepeklah aku melihat cewek syantik.

Meskipun sempat terlihat malu-malu mau, nampaknya eneng agak kocak untuk diajak ngobrol.  Saya suka seperti itu. Kadang otak ini sudah ruwet memikirkan berbagai hal, sehingga butuh relaksasi dengan cara bercanda, guyon, wa humor wa akhowatuha.

Eneng yang baik lagi asyik dan menarik. Senyum, senyumanmu mengabadi dalam foto, gigi putih berjajar rapi, tidak seperti milik saya yang (ada) ke depan dan belakang dan hilang--Alhamdulillah Ya Allah atas segala Anugerah-Mu. Hilanglah bayang-bayang bayangan setelah rupamu terlihat dalam kenyataan. Duh, neng, neng, nang, ning, nung, neng, neng, neng, ghung, ghung, ghung... mari kita kita simak Sandiwara Radio “Tutur Tinular” yang ditulis oleh S. Tijab. Sudah, cukup.

Duh Eneng, teman hidupku. Selamat malam Jum’at. Semoga malam-malammu indah selalu. Baru saja mata saya taketthap, langsung mau mimpiin kamu. Khayalan ini terlalu cepat ingin berjumpa denganmu. Ongghu yaa.

Neng, kakang hanyalah anak orang biasa. Ibu kakang seorang guru MI sekaligus petani. Bapak kakang seorang tukang bangunan sekaligus petani. Kakang sendiri banyak mengabiskan waktu di jalan dan dalam kamar. Terlalu lancang buat kakang untuk mengkhayalkan “sekamar” “serumah” “sehidup” “semati” dengan Eneng, oh ya lagi, “secinta” dan “setanah air” Tanah airku Indonesia. Sedangkan Eneng memiliki darah merah kehitam-hitaman, ada darah birunya juga. Apalah kakang, neng.

Sambung menyambunglah, neng, dengan kakang, tetap maju tak gentar dan bersatu kita teguh, bercerai kita berantakan. Dari Sabang sampai Merauke, berjajar anak-anak, anak-anak kita. Yuhuuu.

Sudah. Semoga kita menjadi teman terbaik selamanya! Bilang amin yang panjang dan khusyuk. Aaamiiiiiiiiin.

Kamar Privat, 26 Desember 2019 23. 30

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial