Surat untuk Anisah Qanita Lestari

Hai, Anisah Qanita Lestari. Apa kabar? Saya mau panggil kamu sesukaku ya. Saya ingin bebas memanggil kamu, Anis, Nita, atau Tari. Eh, Tari kok kurang sip ya, saya ubah saja deh. Kalau Susi saja bagaimana? Bebas, bebas, bebas, dan bebas, kita harus bebas. Liberty, liberty, liberty, kata cewek-cewek di Prancis dahulu kala.

Orang Prancis bisa masak Pete gak ya? Saya mempunyai pengalaman sungguh aneh tapi nyata dengan Pete. Kamis, 19 Desember 2019, adalah hari pernikahan pamanku, Muhammad Lefand—nama aslinya Muhammad—sekaligus Hari Pete bagiku.

Saat itu, semua keluargaku pergi ke Ponorogo untuk menikahkan pamanku, di rumahku hanya ada tiga orang: adik laki-lakiku yang masih duduk kelas 1 MTs, nenek dari ibuku yang sudah ditinggal kekasihnya, dan saya yang tidak memiliki kekasih. Di rumah banyak bahan-bahan mentah untuk di masah, tempe, tomat,  terong, cabai, telor, pete, dan berbagai rempah-rempah. Saya biasa memasak sendiri, namun hari itu saya penasaran dengan yang namanya pete itu. Seumur hidup, hanya hari itu saya memegang pete langsung, jangankan memakannya.

Berhubung saya penasaran, saya memilih untuk memasak pete itu. Sebelumnya saya tidak pernah masak pete. Adik saya tanya, “Memang kamu bisa, kak?” dengan yakin dan mantap sekali saya bilang bisa.

Saya pikir, Pete ini sejenis dengan “malanding.” Menurut ilmu biologi standart saya, ia sefamili “fabaceae,” kingdom “Plantae.” Kamu harus tahu, nis, untuk mengetahui istilah itu saja saya harus buka google, wikipedia versi Bahasa Inggris yang saya sulit mengerti, katanya kalau di Jakarta, Nasi Goreng Pete adalah masakan populer.

Kita kok ngelantur kemana ya, intinya saya mau bilang bahwa saya tidak bisa masak pete, Bahasa Indonesianya “Petai.” Saya masak pete itu dengan kulitnya. Saya potong-potong sekitar 1 cm, direbus dengan beberapa siung bawang putih, detik-detik terakhir saya bubuhkan tomat, lalu “tiriskan.”

Lanjut, setelah direbus, saya goreng. Eh, salah-salah, kalau tidak salah irisan tomat itu saya bubuhkan saat proses penggorengan, bukan saat direbus. Digoreng dengan suara wajan, “tong-seng” ala iklam mie instan.

Sekilas info, saya ngetik “pete” di kolom google, yang keluar adalah Pete Buttigieg (Mayor of South Bend).

Alhasil, pete sudah selesai dimasak. Aromanya harum, menggoda hidung. Tampilannya tidak kalah bagus dengan masakan hotel bintang lima—saya pernah merasakan hotel bintang lima selama tiga hari di Serpong, Semarang—sebelum saya makan, tentunya saya mau pamerkan dulu, foto cekrek, cekrek, buat status WA. HP diletakkan, saatnya makan. Pete dituju pertama kali, aroma rempah menyebar ke hidungku, saya gigit, keras, saya kunyah-cecap, pahit. Waktu itu, saya pikir, keras dan pahitnya pete tak sekeras dan sepahitnya kehidupan. Saya pikir, pete itu keras karena rebusannya kurang lama. Alhamdulillah, sangkaanku salah dan kau mungkin tahu sebabnya.

Pete lupakanlah, saya bawa tidur saja. Sebangun tidur, komentar-komentar tentang pete berjejal. Para cewek-cewek cantik protes. Hahaha. But, tidak kenapa lah, yaa, karena laki-laki sejati adalah mereka yang bisa mencari duit buat membeli kebutuhan hidup, makan, salah satunya pete. Hihi.
***

Jum’at keluargaku sudah datang. Mereka membawa kabar bahwa keluarga di Ponorogo akan datang ke sini hari Senin. Ada sedikit berbeda dari “perayaan” kali ini. Tidak ada daging sapi sama sekali.
Bukan hanya keluarga dari Ponorogo yang datang pada hari Senin, dari Jember juga. Rombongan dari Jember ini sejatinya tidak memiliki ikatan darah, namun mereka sudah seperti keluarga, terutama bagi Paman saya yang telah lebih 10 tahun hidup di Jember.

Para tamu disuguhi Semangka, Melon, makanan ringan khas sini seperti rengginang, kripik, dan lain-lain. Makannya diasuguhi masakkan ikan laut, ada yang dipanggang ada yang digoreng, ayam geprek, terong, nasi jagung, ghangan marongghi, dan lalapan. Ini acara resmi Madura tapi tidak menggunakan daging sapi, bagi saya ini spesial karena saya kurang suka daging sapi/ayam.

Iseng-iseng saya bilang ke mama, “Ma, nanti kalau pas saya seperti ini enak.” Tetapi mama tidak sependapat denganku. Katanya, kalau kedua mempelai dari warga Madura, maka wajib pakai daging sapi, kalau pakai ikan seperti ini akan diomongin para tetangga. Ditambah lagi, suguhan ini setengah pesanan karena orang Jawa suka makanan seperti itu, apalagi ikan. Katanya, di Ponorogo jauh dari laut, membeli ikan tidak semudah di sini.

Sekian dulu, beb. Niatnya saya mau nulis surat yang paanjang, tetapi tidak jadi karena saya harus menyelesaikan tugas sekolah malam ini.

Sampai jumpa! Hug and kiss me.

Kamar Sendiri, 25 Desember 23. 23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial