Surat Cinta Keenam (Surat Kehilangan)

Sri, flaskdiskku hilang (Madura: tasengsal). Aku sekarang di rumah cuma bersama nenek dan adikku yang baru duduk di kelas I MTs.. Keluargaku lagi ke Ponorogo, “mengawal” pamanku yang bakal melangsungkan akad nikah besok (19/12/19), tanggal bagus.

Aku sebenarnya sudah merencanakan untuk menulis surat untukmu sejak kemarin, cuma pikiranku sekarang hanya selalu teringat ke flaskdisk. Aku mengambil pelajaran dari kejadian ini, Sri, “Kehilangan benda kecil saja bingungnya sudah minta ampun, apalagi kehilangan seseorang yang begitu berarti seperti dirimu.” Cukup, Sri, aku tak bisa gombal lebih jauh lagi, kecuali nanti dapat ilham lagi.

Aku ingin bercerita lama-lama denganmu, Sri, lamaaa sekali. Meskipun lewat telepon, satu jam ngobrol bersamamu sudah kurang dari cukup. Aku ingin lebih lama lagi, meskipun aku kayak radio yang tidak menemukan frekuensi yang tepat.

Sri, aku ingin sekali untuk menetap di satu hati, dengan seseorang yang benar-benar mencintaiku. Inginku itu, ada seorang perempuan yang tidak ragu terhadap cintanya padaku. Seandainya saya tidak begitu menyukainya (tapi harus ada suka-sukanya), aku akan berusaha membalas cintanya. Aku selalu yakin dengan kekuatan cinta yang misterinya lebih misterius daripada sekadar mistis. Sepengetahuanku, para cewek yang dekat denganku selalu ragu terhadap dirinya sendiri untuk mencintaiku. Aku sadar itu.

Aku suka seorang perempuan. Aku semacam menemukan koneksi dengan perempuan itu. Sialnya, dia telah terikat/menunggu orang lain. Ia lebih suka orang macam Kadrun yang katanya suka memberikan kepastian, karena “kepastian adalah ketegasan,” katanya.

Coba kamu bertanya pada seorang kiai kampung, “bagaimana hukumnya kamu mencintaiku?” Biasanya mereka akan memberikan pilihan-pilihan hukum, mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama’, ada yang mengharamkan, ada yang memubahkan, bahkan ada yang mewajibkan. Contoh, kalau sekiranya kamu pura-pura tidak mmencintai, tidak mau mengakui, atau cintamu padaku dihalang-halangi, kamu bakalan mati atas dasar “jiwa kita satu,” maka mencintaiku adalah wajib, dengan alasan menjaga keselatan jiwamu.

Akan tetapi, kalau kaum Kadrun biasanya hanya akan memberikan dua pilihan, halal atau haram. Enak kalau pilihannya jatuh pada “halal,” kalau “haram” bagaimana dikau? Hohoho. Bakal menyakitkan tuh cinta.

Sungguh, aku ingim membunuh pacarmu dengan puisi, tetapi aku takut kata-kataku kotor oleh lumuran darah yang tak semestinya. Kata-kata punya kekuatan besar untuk meluluhkan, menundukan, membangkitkan, dan menghancurkan. Ingat bait kalimat Fernando Pessoa yang dikutip M Aan Mansyur dalam puisinya? “In order to understand, I destroyed my self.”

Aku memiliki ratusan buku, Sri. Akan tetapi, buku-buku itu tak ada yang mampu menjawab mengapa aku mencintainya? Teori Psikoanalisis Sigmun Freud hanya bicara historia-historia seorang pemimpi, mimpi dalam tidur yang kamu sebut bunga tidur itu. Kau bunga kehidupan, Sri, mekarlah serekah mungkin.

Sri, aku ingin bicara empat mata denganmu. Aku ingin belajar padamu, bagaimana caranya tidak meragukan cinta kita kepada orang lain?

Kamar Mama,18 Desember 2019 22. 57

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial