Postingan

Pertemuan di tepi jurang kesedihan

Gambar
Semar jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Nini Towok. Foto: Moh. Tamimi/Lokasi: Candi Tegawangi, Kediri . Aku hanya ingin mencobanya lebih baik lagi daripada sebelumnya. Hari ini, masih kupendam cintaku padamu. Aku merasa, kamu benar-benar berbeda dari perempuan-perempuan yang selama ini kutemui. Semoga aku bisa meminangmu, menikahimu, dan menjalani hidup bersamamu selamanya dengan sepenuh cinta yang kita miliki. Pertemuan pertama itu sangat mengesankan bagiku, kamu tampak ramah, hangat menyapaku walaupun kita tidak pernah bertatap muka sebelumnya, atau aku yang tidak menyadari. Sungguh, aku jatuh hati padamu dalam obrolan pertama itu. Kamu benar-benar menunjukkan kecantikan yang memancar dari dalam dirimu, kecantikan yang bersumber dari kebaikan hatimu. Aku tak ingin melakukan kesalahan yang sama berulang kali. Berulang kali kujatuh, namun saat itu aku harus bangkit. Kebangkitanku kali ini terasa lebih spesial karena tahu-tahu aku bertemu kamu di bibir jurang, kamu yang baru saj...

Cofee Break in Pare

Saya hanya punya waktu 20 menit untuk menulis cerita ini. Saya sekarang ada di jalan Brawijaya, Pare, Kediri. 15. 10 WIB. Dipotong 5 menit karena masih menonton ringkasan pertandingan Ajax dan Benfita dalam Liga Champion. Saya sedang menikmati kopi bersama temanku, namanya Wahyu Aditya. Ia seorang dokter dari Riau, Sumatera.  Cafee ini terletak di pinggir sungai, seandainya sungai di depan saya ini bersih tentu ini akan menjadi pemandangan yang indah. Sayangnya, masih banyak sampah terlihat mengendap di dasar sungai. Apakah pernah kamu membayangkan bagaimana indahnya menikmati secangkir Kopi Turki yang beraroma cengkeh itu di tepi sungai yang indah, seperti sebuah khayalan belaka itu terjadi di Indonesia. Saya yakin itu bisa direalisasikan, asal ada kesadaran kolektif dalam merawat dan membangun bantaran sungai dengan baik. Percuma merawat hilir saja jika dari hulu selalu dikirimi sampah.  Senin mendatang, saya akan coba mempresentasikan perjalanan benda-benda di sekitar kita ...

Apa yang perlu kamu korbankan dalam hidupmu?

Apa yang perlu kamu korbankan dalam hidupmu: karir, cinta, atau pendidikanmu? Apa kamu juga ingin bertanya seperti itu padaku? Jelasnya, apa yang telah aku korbankan dalam hidupku sejauh ini? Begitu bukan! Aku bingung menjawabnya, sama bingungnya dengan menjawab pertanyaan, “Apa yang sebenarnya kukejar dalam hidupku ini?” Namun yang pasti, aku telah mengorbankan cintaku untuk pendidikan, “mengorbankan” pendidikan untuk liputan? Aku bekerja untuk membiayai kuliahku. Aku mengajar di sekolah untuk menghidupkan ilmu. Ilmuku tidak ada yang tuntas. Terkadang, aku ingin fokus mengejar sesuatu tapi tidak pernah tercapai. Ingin fokus kuliah, tapi aku harus kerja. Ingin fokus kerja, tapi aku harus punya ilmu yang memadai. Sebagai manusia biasa, aku juga ingin punya cinta, namun harus (telah) kukorbankan demi misi pertama. Aku ingin menikah saja setelah kuliah. Setelah kuliah, angan-anganku mulai menawarkan hal-hal yang tidak begitu kupedulikan sebelumnya: ingin keliling di benua biru, ingin be...

Cerita Dara dan Bagaskara

Gambar
Samawa : pemberian kliping koran kepada mempelai Oleh: Moh. Tamimi* Namanya Sasadara, artinya “bulan.” Aku biasa memanggilnya Dara. Sasadara diambil dari bahasa Jawa. Namaku Bagaskara, artinya “matahari.” Sama dengan Dara, namaku juga berasal dari bahasa Jawa. Aku dan Dara biasa bercerita pada pagi hari atau sore hari. Dua waktu itu adalah satu-satunya waktu kami bisa berjumpa walau hanya sebentar. Kami memanfaatkan waktu yang sebentar itu untuk sebuah cerita yang bisa dikenang sepanjang siang dan malam.  Bila pagi, Dara yang bercerita padaku tentang malam yang ia lalui, tentang para penghuni rumah yang resah, atau anak-anak yang bermandikan cahaya rembulan sambil berlarian di taman belakang rumah mereka.  Bila sore, aku bercerita pada Dara tentang orang-orang yang sibuk menghabiskan waktu, orang-orang dengan kadar kecemasan yang tidak bisa diprediksi setiap harinya.  Pada suatu pagi, aku bercerita pada Dara tentang seorang laki-laki yang jauh dari kampung halaman dan kek...

Pesan Bi 4

Hai, Bi. Aku dengar kamu ingin putih supaya bisa lebih dihargai ya? Hanya itu tujuanmu ingin putih? Bagaimana bentuk penghargaan orang lain padamu selama ini? Apa kamu menyesal dilahirkan dengan warna kulit agak gelap, sawo matang, begitu? Tidak usah terobsesi begitu, Bi, hidup bukan sekadar tentang warna kulit. Aku pikir, seseorang yang menghargaimu hanya karena warna kulit, maka sebatas itulah kualitas dirinya, penghargaannya kepada orang lain. Ada yang lebih mendasar dari warna kulit; sikap. Bisa saja, bila warnamu cerah, “cantik”, kamu hanya menjadi mainan para lelaki mata keranjang. Nilai kemanusiaanmu sampai sebatas kulit, dijadikan “piala” bergilir, direbut cowok-cowok. Apa memang itu yang kamu mau?  Aku yakin, kamu hanya ingin dihargai bukan? Banyak sekali orang yang jauh dari kata “cantik” atau “tampan” tetapi menjadi idola banyak orang. Tahu Stephen Hawking? Ilmuan yang terkenal dengan teori Lubang Hitamnya itu tidak ada tampan-tampannya, sekujur tubuhnya cacat, kecuali o...

Pesan Bi 3

 “Ah Sri mulu. Untuk Bio kapan rilis ???” Begitu katamu, Bi, suatu ketika. Kamu cemburu ya? Tak usah cemburu, Sri bukan kekasihku. Awalnya, nama itu hanya setengah khayal. Kamu bisa membedakan dalam setiap serialnya, karakter Sri beda-beda kan di sana. Coba kamu baca tulisan yang berjudul "Surat Cinta Pertama". Bandingkan dengan tulisan yang berjudul "Surat untuk Sri". Saya menyisipkan nama siapa pun, sepanjang khayalan. Namanya setengah khayal, Bi, ada bagian yang benar, ada bagian yang tidak benar, sebatas imajinasi. Kadang memosisikan sebagai kekasih, kadang perempuan idaman, kadang teman, kadang hanyalah sebuah kenalan yang ingin kuhibur. Bi, aku senang sekali kau memilih untuk melanjutkan kuliahmu. Kamu punya potensi yang luar biasa, sayang jika tidak dikembangkan lebih lanjut. Apalagi kamu pernah juara 1 Kompetensi Sains Madrasah tingkat kabupaten, dan juara 1 olimpiade biologi yang diselenggarakan salah satu kampus ternama di Jawa Timur. Jadi ambil di Surabay...

Lagu Ketika SD

Hai, Sri. Saya melihat status WA seorang teman, konser Bee Gees, pagi ini. Saya tidak tahu itu band legendaris itu, yang saya tahu personel Bee Gees berambut gondrong, pirang, dan bergelombang. Kami ngobrol tentang Bee Gees, personelnya, lagu-lagunya, sampai akhirnya merembet pada lagu-lagu yang sering kami dengarkan sejak kecil. Kami saling bernostalgia. Sejak sebelum sekolah, mungkin usia saya enam tahun waktu itu, saya sudah akrab dengan lagu-lagu Jambrud, Boomerang, Dewa 19, Radja. Nyaris setiap pagi kakak saya memutar lagu-lagu itu, menggunakan kaset pita. Lagu Cinderella, Pelangi, Pelangi di Matamu, dan Satu, begitu akrab di telinga saya. Di sisi lain, paman saya pecinta lagu-lagu kasidah. Mayada dengan Cahaya Rasul-nya dan Sulis dengan Cinta Rasulnya terus menggiang di kepala saya. Saya masih belum sekolah, tidak tahu baca sama sekali. Kalau saya ingin mendengarkan album Mayada, saya bilang, “Pengen dengarkan yang kerudung putih,” kalau Sulis, “Pengen dengarkan yang kerudung mer...