Cerita Dara dan Bagaskara
![]() |
Samawa: pemberian kliping koran kepada mempelai |
Oleh: Moh. Tamimi*
Namanya Sasadara, artinya “bulan.” Aku biasa memanggilnya Dara. Sasadara diambil dari bahasa Jawa.
Namaku Bagaskara, artinya “matahari.” Sama dengan Dara, namaku juga berasal dari bahasa Jawa.
Aku dan Dara biasa bercerita pada pagi hari atau sore hari. Dua waktu itu adalah satu-satunya waktu kami bisa berjumpa walau hanya sebentar. Kami memanfaatkan waktu yang sebentar itu untuk sebuah cerita yang bisa dikenang sepanjang siang dan malam.
Bila pagi, Dara yang bercerita padaku tentang malam yang ia lalui, tentang para penghuni rumah yang resah, atau anak-anak yang bermandikan cahaya rembulan sambil berlarian di taman belakang rumah mereka.
Bila sore, aku bercerita pada Dara tentang orang-orang yang sibuk menghabiskan waktu, orang-orang dengan kadar kecemasan yang tidak bisa diprediksi setiap harinya.
Pada suatu pagi, aku bercerita pada Dara tentang seorang laki-laki yang jauh dari kampung halaman dan kekasihnya sedang resah, sudah tiga bulan lamanya orang itu merasa tidak enak makan apapun, segenap selera makannya tidak stabil. Tak ada rasa yang lebih terasa selain rasa resahnya sendiri.
Lelaki itu gelisah memikirkan kekasihnya yang baru saja ia ikat dengan cincin emas di jari manisnya. Awal kegelisahan itu datang serupa gelombang pasang menghantam bakau yang berusaha menggenggam erat butiran-butiran pasir di tepi pantai. Ia hanya berdiam diri.
Lelaki itu pulang ke kampung halamannya. Ia berpikir, mungkin jarak yang teramat jauh itu yang membuatnya resah, mungkin ia hanya sebatas rindu rumah karena sudah bermiliar-milir detik lamanya berpisah. Resah itu tak kunjung sirna.
Sesekali ia duduk di atas lincak bambu di depan rumahnya untuk sekadar cari angin. Saat itu pula, sinarku menerpa wajahnya, resah di dadanya semakin terlihat lewat raut mukanya dan tatapan kosongnya ke suatu tempat di utara.
“Mungkinkah aku salah mengawali jalan cinta ini,” kata lelaki itu dalam hati.
Ia tampak mengeja setiap aksara yang bermunculan di benaknya, jaringan neuron di kepalanya semakin cepat mentransfer dua puluh enam huruf latin secara acak. Tangannya memetik selembar daun dan menyobeknya sedikit demi sedikit tanpa melihat daun itu, serpihannya beterbangan diterpa angin.
“Mungkinkah ia tidak mencintaiku sebagaimana aku mencintainya?” Lelaki itu selalu bertanya pada diri sendiri, pertanyaan “mungkinkah" dan “mungkinkah" seolah tidak henti di kepalanya, sesekali bibirnya berucap kata itu lirih.
Seandainya aku bisa berkata padanya, aku akan menjawab sekian tanya yang ia ajukan, pada jawabnya ada pada malam, akan kutanyakan pada Dara.
Aku berharap ada awan tebal menghalangi sinarku yang mengguyur sekujur tubuhnya, berharap ada udara sejuk mengusap punggungnya.
“Hei, aku juga melihat seorang perempuan resah dalam dekapan malam,” kata Dara menyambung ceritaku.
“Aku melihatnya dengan jelas tatkala ia melihatku kala purnama, bahkan mungkin ia ingin memelukku. Perempuan itu selalu menunjuk-nunjukku waktu itu.”
Aku diam. Menanti Dara melanjutkan kisahnya. Ia tak kunjung melanjutkan ceritanya.
“Sekarang sudah waktunya kita berpisah, akan kuceritakan kelanjutannya nanti sore.”
Mega merah di sekitarku telah memutih. Aku berjalan melintasi waktu, perlahan, dari detik ke detik, menit ke menit. Sekaranglah waktunya bagi orang-orang di muka bumi untuk melanjutkan kegelisahan dengan segala kekhawatirannya terhadap masa depan.
Di kejauhan, aku mulai melihat Dara menyembul dari balik pohon. Ia tampak cantik sore ini, ia menjelma purnama.
“Cepat ceritakan kelanjutan kisahnya padaku!” Desakku pada Dara.
“Ia bertanya padaku, ‘Bulan, apakah kamu tidak merasa sepi sendirian sepanjang zaman?’ Tentu saja aku berasa kesepian dan sedih bila sendiri, tapi aku selalu merasa denganmu, Bagaskara.”
“Baiklah, aku senang kamu begitu padaku. Aku yakin, di suatu masa, kita akan berkumpul walaupun waktu itu sekaligus menjadi hari terakhir kita. Aku padamu, Dara. Lantas, apa hubungannya dengan perempuan itu?”
“Sembari mengatakan itu, perempuan itu kadang meneteskan air mata. Aku tidak kenapa. Bila ini perihal cinta, mungkin seseorang yang datang kepadanya bukan orang yang benar-benar ia harapkan. Aku melihat sebuah cincin melingkar di jari manisnya.”
“Dara, Dara, lihat, itu laki-laki yang aku ceritakan kapadamu!,” spontan kuberucap saat aku tiba-tiba melihat sepasang pengantin.
“Kebetulan, perempuan yang kuceritakan juga itu,” sambung Dara.
Dara terus melanjutkan kisahnya, “Ia bergumam, ‘Cinta yang terbaik adalah cinta yang halal.’”
Di kala senja itu, aku di ufuk barat, Dara di ujung timur langit. Kita menyaksikan bersama pernikahan sepasang perempuan dan laki-laki itu.
“Dara, mari ucapkan selamat kepada mereka!”
“Selamat menikah, semoga bahagia, semoga cinta dan hubungan kalian abadi sampai jamuran.”
Ahad, 14 November 2021
*Guru di PP. An Nawari, Sera Tengah, Bluto, Sumenep. Cerita ini dipersembahkan sebagai kado pernikahan untuk dua teman penulis yang nikah pada 15 November 2021.
Catatan: cerpen ini dimuat di Koran Harian Kabar Madura pada 15 November 2021.
Komentar
Posting Komentar