Lagu Ketika SD
Hai, Sri.
Saya melihat status WA seorang teman, konser Bee Gees, pagi ini. Saya tidak tahu itu band legendaris itu, yang saya tahu personel Bee Gees berambut gondrong, pirang, dan bergelombang. Kami ngobrol tentang Bee Gees, personelnya, lagu-lagunya, sampai akhirnya merembet pada lagu-lagu yang sering kami dengarkan sejak kecil. Kami saling bernostalgia.
Sejak sebelum sekolah, mungkin usia saya enam tahun waktu itu, saya sudah akrab dengan lagu-lagu Jambrud, Boomerang, Dewa 19, Radja. Nyaris setiap pagi kakak saya memutar lagu-lagu itu, menggunakan kaset pita. Lagu Cinderella, Pelangi, Pelangi di Matamu, dan Satu, begitu akrab di telinga saya.
Di sisi lain, paman saya pecinta lagu-lagu kasidah. Mayada dengan Cahaya Rasul-nya dan Sulis dengan Cinta Rasulnya terus menggiang di kepala saya. Saya masih belum sekolah, tidak tahu baca sama sekali. Kalau saya ingin mendengarkan album Mayada, saya bilang, “Pengen dengarkan yang kerudung putih,” kalau Sulis, “Pengen dengarkan yang kerudung merah.”
Saat sudah sekolah SD, saya jalan kaki sendirian. Ayah saya mengantarkan saya hanya dua kali saat awal masuk sekolah, selebihnya saya berjalan sendiri. Saya tidak ingat jika lebih dari dua hari itu. Saya tak merasa takut berjalan sendiri ke sekolah, jaraknya dekat, sekitar 300 meter dari rumah.
Hari terus berganti, aktivitas saya hanya sekolah dan bermain. Saya pernah tidak berangkat sekolah hanya karena rambut saya terlalu pendek, tidak bisa disisir dengan rapi, ada beberapa helai rambut tetap berdiri walau disisir berkali-kali. Saya menangis, tidak mau sekolah karena saya akan dikatai mirip Cecep oleh teman-teman. Anjasmara sungguh memperihatinkan keadaannya saat memerankan Cecep. Akan tetapi, jika saya berangkat sekolah dengan riang gembira, uang saku ada, rambut tersisir rapi, ikan pinggang hitam terlilit di pinggang, sepasang sepatu dan kaos kaki masih bagus dan terpasang rapi, baju dimasukkan ke dalam, maka saat itu saya akan berangkat ke sekolah dengan langkah panjang-panjang, lengan dilambaikan tinggi-tinggi, sambil mendendangkan lagu, “Jujurlah padaku bila kau tak lagi suka. Tinggalkanlah aku, bila tak mungkin bersama. Jauhilah diriku, lupakanlah aku selama.” Itu saja yang diulang-ulang, tak hafal liriknya. Kadang menyanyikan lagu-lagu lain yang sering saya dengarkan di rumah itu, tidak lupa, sambil berjalan santai dan bernyanyi, mengibas-ibaskan tas selempang.
Akhir semester adalah momen yang dinanti-nanti saat itu karena saya akan ditanya mau minta apa bila saya juara kelas. Biasanya ibu saya akan membawa saya ke pasar, menuruti kemauan saya, permintaan saya tidak jauh-jauh dari sepatu baru, tas baru, seragam baru.
Pernah suatu ketika, sepulang sekolah, tiba-tiba paman saya mengajak saya jalan-jalan ke kota—sampai sekarang saya tidak tahu mengapa ia tiba-tiba mengajak saya.
Saya senang sekali waktu itu, saya dibawa keliling kota naik becak. Satu-satunya yang kami beli waktu itu hanyalah kaset pita, kalau tidak salah ingat, kaset lagu kasidah. Paman saya banyak ngoleksi lagu kasidah.
Saya belum kenal sama sekali lagu-lagu barat waktu itu, tidak ada yang mengenalkannya. Mungkin satu-satunya yang saya ketahui adalah Michael Jakson, itu pun karena ada tetangga saya membeli VCD Player dan mendapat sebuah VCD Jakson. Saya tidak tahu apa judul dan bagaimana lagu Jakson itu, saya hanya ingat ketika ia menari di sebuah panggung besar, tarian yang lincah: tiba-tiba berhenti, tiba-tiba bergerak, sambil memegang topi koboy. Hanya itu yang saya ingat, selebihnya hanyalah suara-suara yang tidak saya mengerti sama sekali maknanya. Lagu itu jarang diputar, tidak seperti kaset pita milik kakak saya.
Kakak dan seorang temannya, namanya Faiz, sering ada di rumah; mereka biasa mendengarkan lagu sambil ngobrol, kadang saya melihat mereka rekaman sambil tertawa terbahak-bahak, saya hanya melihat tanpa mengerti apa yang mereka tertawakan.
Mereka berkali-kali merekam suara mereka, berkali-kali pula mereka memutar hasil rekamannya. Kadang pitanya salbut, tipis, dan putus. Bila putus, pita akan beralih fungsi menjadi penghasil suara alam. Ia akan diikatkan ke teras rumah saya dan rumah nenek, melintang di halaman, pita itu akan menghasilkan suara, saat diterpa angin, tak beraturan, cempreng.
Saya hanya anak kecil, kadang diajak bicara berbagai hal yang sebenarnya tidak begitu saya mengerti. Namun yang pasti, lagu-lagu itu masih melekat sampai saat ini.
Sri, nanti anak kita harus dikasih wawasan luas biar ia bisa memilih jalan hidupnya sendiri.
Kamar, 21-2-2021 09. 45
Komentar
Posting Komentar