Apa yang perlu kamu korbankan dalam hidupmu?
Apa yang perlu kamu korbankan dalam hidupmu: karir, cinta, atau pendidikanmu? Apa kamu juga ingin bertanya seperti itu padaku? Jelasnya, apa yang telah aku korbankan dalam hidupku sejauh ini? Begitu bukan!
Aku bingung menjawabnya, sama bingungnya dengan menjawab pertanyaan, “Apa yang sebenarnya kukejar dalam hidupku ini?” Namun yang pasti, aku telah mengorbankan cintaku untuk pendidikan, “mengorbankan” pendidikan untuk liputan? Aku bekerja untuk membiayai kuliahku. Aku mengajar di sekolah untuk menghidupkan ilmu.
Ilmuku tidak ada yang tuntas.
Terkadang, aku ingin fokus mengejar sesuatu tapi tidak pernah tercapai. Ingin fokus kuliah, tapi aku harus kerja. Ingin fokus kerja, tapi aku harus punya ilmu yang memadai. Sebagai manusia biasa, aku juga ingin punya cinta, namun harus (telah) kukorbankan demi misi pertama.
Aku ingin menikah saja setelah kuliah. Setelah kuliah, angan-anganku mulai menawarkan hal-hal yang tidak begitu kupedulikan sebelumnya: ingin keliling di benua biru, ingin belajar di negeri Paman Sam, ingin ke benua yang memiliki peradaban tertua. Mujurnya, aku tak punya keinginan untuk ke Mars sejauh ini. Satu lagi, aku masih tidak ingin ke akhirat dalam waktu dekat.
Aku sudah banyak mematahkan hati perempuan. Jujur saja, aku kasihan kepada mereka. Mau bagaimana lagi, aku tak bisa bersikap seperti Aris kepada Kinan. Mungkin, ada yang menganggap, apa yang aku lakukan pada perempuan-perempuan itu lebih memuakkan. Bagian ini, sok kekerenanku kambuh, mohon maaf.
Aku selalu bertanya, mengapa aku tidak kunjung bisa benar-benar mencintai seorang perempuan lagi sampai saat ini, mungkin sudah antara delapan-sembilan tahun sejak kejadian itu, ataukah memang sifat alamiahku seperti ini? Aku selalu merasa ragu pada orang lain.
Aku bukan seorang yang “berani” untuk berbuat gila, seorang teman bilang aku terlalu banyak pertimbangan. Libra bintangku, begitulah sifatku.
Dulu, saat masih sekolah Madrasah Aliyah, aku berujar pada diri sendiri bahwa aku akan menikah minimal umur 25 tahun. Umur segitu aku sudah lulus sarjana. Namun, setelah lulus sarjana aku bekerja beberapa bulan dan memutuskan untuk kuliah lagi dan tak akan menikah sebelum aku wisuda magister.
Siapa yang akan tahu datangnya cinta, meskipun ada cinta hinggap di tengah jalan, aku mengacuhkannya, mengorbankannya demi lulus magister. Aku pikir, aku menikah setelah wisuda, tetapi kembali ke paragraf ke-lima, aku ingin kuliah lagi, ingin ke luar negeri dan sebagainya.
Sering kutertawa sendiri, cintaku seperti tahu bulat, tidak ada ujungnya, tidak ada sudutnya, bulat aja gitu, muter-muter.
Saat ini, aku seolah dipaksa untuk mengorbankan sesuatu lagi, sebagian “karirku.” Aku dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk mencapai tujuanku; Negeri Paman Sam. Walaupun itu masih belum pasti. Aku berusaha menunda diri untuk mendaftar kuliah S3 karena aku benar-benar bingung, di sisi lain ijazahku tidak keluar sampai pendaftaran ditutup, seharusnya di bulan itu sudah keluar; aku tak usah bingung lagi mau daftar atau tidak.
Tidak tahu, aku harus bersyukur atau tidak atas keadaan ini. Namun aku yakin, Allah pasti memberikan yang terbaik. Semoga aku benar-benar menjadi orang yang tawakal. Paling tidak, dengan tidak keluarnya ijazahku, pikiranku merasa lebih ringan.
Kembali ke pengorbanan, sebenarnya aku tidak begitu risau tentang cinta, hanya entah mengapa teman-temanku melihatku “sedang patah hati.” Tidak, tidak, tidak, aku tak ingin menyangkal lagi, ya aku sedang patah hati.
Kadang aku ingin mengeluh, tapi terlalu banyak teman-teman yang peduli padaku untuk bersedih terlalu lama. Memang, aku sudah mengorbankan beberapa hal untuk cinta, walau cinta itu sendiri harus kukorbankan.
Aku kadang merasa, “Apakah aku menderita kelainan?” Aku tidak bisa (tidak mudah) menangis, selalu tertawa walau hati tengah sedih.
Terkadang aku ingin konsultasi ke psikolog atau psikiater untuk mengecek, mengetahui lebih dalam, keadaan diriku ini. Apalah ini salah satu sihir realitas (the magic of reality) seperti yang dikatakan Richard Dawkins?
Secara ekonomi, bila dibandingkan dengan orang-orang di sekitarku, aku bukanlah seseorang yang kekurangan, meskipun bukan orang kaya raya, kebutuhan primerku tercukupi dengan baik.
Suatu ketika, aku ingin meletakkan semua beban ini, tak ingin memikirkannya lebih mendalam lagi, sekalian mengorbankan segalanya, meletakkan segalanya untuk sebuah ketenangan. Aku ingin menyepi saja, namun saat itu pula aku berpikir bahwa aku punya tugas sosial.
***
Dua hari yang lalu tiba-tiba pikiranku merasa “masa bodoh,” seolah ada lampu menyala dalam pikiranku. Buat apa harus memikirkan masa depan yang serba tidak menentu ini, mengapa harus cemas dengan berbagai hal.
T’lah kuputuskan, aku harus korbankan ini. Aku izin tidak akan mengajar selama dua bulan, dua bulan itu akan kugunakan untuk kursus Bahasa Inggris. Aku juga sudah bilang “atasanku” di Jakarta.
Apa orientasiku? Niat mencari ilmu, paling tidak seandainya aku tidak lolos ke Amerika, aku sudah berusaha sebaik mungkin, dan kemampuan bahasa Inggris tetap kumiliki. Tak ada yang terbuang percuma. Lebih baik gagal setelah mencoba daripada menyesal karena menyerah.
Bagaimana dengan keuangan? Akan kumanfaatkan waktu senggang ini untuk bekerja semaksimal mungkin, mendapatkan uang untuk biaya kursus.
Cinta? Entahlah.
Aku sendiri tidak paham, apakah ini benar-benar sebuah pengorbanan atau sekadar pilihan-pilihan hidup mengingat terbatasnya aku untuk melakukan banyak hal. Ini bukan tentang aku telah mengorbankan ini dan itu, semua ini sekadar pilihan-pilihan “jalan” menikmati hidup.
Tidak semua hal bisa kucurahkan dalam tulisan, ada bagian-bagian yang cukup kusimpan sendiri, seperti siapa sajakah perempuan yang “mendilemakanku?”
Kamu, ingin menikmati hidup seperti apa?
26 Januari 2022
Komentar
Posting Komentar