Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2020

Bakar Ikan

Hai, Sri Sri, bakar ikan dan makan ikan bakar ramai-ramai adalah salah satu cita-citaku. Cita-cita tak harus tinggi, menjadi pilot misalnya. Mungkin cita-citaku yang ini kamu anggap terlalu mudah, suatu hal remeh yang bisa dilakukan kapan saja. Cita-cita tertinggiku di dunia ini adalah hidup bersamamu hingga akhir hayat. Saya melakukan bakar ikan bersama selama ini hanya dua kali. Pertama kali sudah bertahun-tahun lalu, mungkin tiga atau dua tahun lalu. Aku lupa. Kedua kalinya aku melakukannya kemarin (28/6/20) di Ambunten, di rumah Rahman bersama teman-teman angkatan organisasi.  Aku beberapa kali gagal untuk bakar ikan bersama dengan teman-temanku, ada saja alasan. Aku senang sekali. Ada banyak teman, makan ramai-ramai. Rahman baru saja datang dari batang, kami diundang ke rumahnya. Ia telah menyiapkan delapan ekor ikan tongkol sepanjang lengan sikuku tapi jauh lebih gemuk. Capek mengipas bara dan bau asap arang seolah tidak ada apa-apanya bagiku. Kegembiraan ini tidak sebanding ...

Pelabuhan

Hai, Sri Perjalananku dua minggu lalu di Pasongsongan berakhir di pelabuhan. Aku senang sekali berada di tepi laut, di pantai, atau di pelabuhan. Akan tetapi, lebih daripada itu, aku lebih suka berlabuh di hatimu.  Semoga kamu menjadi tempat pelabuhan terakhirku dan semoga aku menjadi tempat pelabuhan terakhirmu, Sri. Saat ini, tidak ada yang bisa kukatakan padamu, kecuali semoga kita tetap bertahan dalam doa. Di pelabuhan itu, aku teringat dirimu, tapi jahatnya aku, aku foto dengan perempuan lain. Mereka adalah teman-temanku dan mungkin juga teman-temanmu. Pelabuhan itu, Pelabuhan Pasean namanya. Aku tidak pernah berkunjung ke pelabuhan itu sebelumnya. Tidak seperti Pelabuhan Kalianget, pelabuhan itu tidak ramai, tidak ada kapal-kapal besar berlabuh di sana, tetapi banyak perahu nelayan.  Aku pernah mendengar kabar, pelabuhan itu nantinya akan menjadi pelabuhan penting di wilayah pantai utara, sebuah proyek besar-besaran, poros maritim baru. Aku tidak tahu lebih lanjut, namun...

Pentol

Hai, Sri Apa kabar kamu di sana? Sekarang pikiran saya sedang mumet, tidak tahu kenapa dan tidak tahu pula mau apa. Saya hanya ingin makan pentol sampai kenyang. Akan tetapi, makan pentol sendiri serasa kurang nikmat. Aku sudah banyak makan pentol di berbagai tempat, mungkin sudah puluhan tempat, mulai dari pedagang pentol di sekolah sampai di pasaran. Dari berbagai pentol yang pernah saya makan dari berbagai tempat, pentol yang rasanya masih membekas di khayalan adalah Pentol Ghape’ di Pasongsongan. Saya tidak membeli pentol itu. Waktu itu saya dari rumah Atho, lanjut bertamu ke rumah Ria di Pasongsongan. Saya tidak tahu siapa Ria, saya hanya mengikuti teman-teman. Di sana, kami disuguhi Pentol Ghape’ dan Pattek (aku lupa namanya untuk yang ini). Saya pertama kali makan pentol seperti itu, baunya harum bawang daun, sepertinya juga ada aroma ikannya. Bentuknya bundar dan pipih, tipis. Saat dimakan, disobek-sobek, dilipat, dicelupkan ke sambal bening. Saya tidak begitu tahu sambal itu t...

Tunangan

Hai, Sri Beberapa hari yang lalu di desa saya geger acara tunangan besar-besaran. Ada sekitar tujuh puluh orang yang datang dari pihak laki-laki ke pihak perempuan, ada seratus lebih orang dari pihak perempuan ke pihak laki-laki (ada 30 mobil rombongan). Harga satu kue dari pihak perempuan ada yang seharga 1,5 juta. Uang yang dikasih pihak laki-laki ke pihak perempuan sebanyak 40 juta (uang ini semacam untuk membeli semua bawaan ‘main’ dari pihak perempuan). Sepanjang hidup saya, ini adalah acara tunangan terbesar. Mereka berdua sama-sama anak kepala desa. Saya melihat sekilas video yang beredar, kuenya diletakkan dalam kaca. Kabarnya, kue itu setinggi setengah meter, susun tiga seperti sebuah menara. Sebenarnya saya tidak begitu peduli tentang acara tunangan itu. Saya ingin tahu lebih lanjut, bagaimana perasaan keduanya. Ada kabar burung, salah satu dua sejoli itu awalnya tidak mau. Saya tidak mengerti, sebenarnya apa yang mereka rayakan, siapa yang menginginkan seperti itu? Sri, sean...

Makan Besar

Hai, Sri Makan besar adalah tajuk silaturrahim kami. Royzi Takaya yang membuat tajuk itu. Atho’ bilang, kami akan makan ikan. Saya senang sekali, saya suka ikan. Sebelum berangkat, jajaran ikan bakar selebar telapak tangan sudah tergambar jelas dalam angan-angan saya. Sekali lagi, saya suka sekali ikan. Saya juga suka sayuran. Saya tidak begitu suka daging ayam dan daging sapi, bukan tidak mau. Seandainya saya dihadapkan dua pilihan, saya tidak perlu pikir panjang untuk memilih ikan.   Di ruang tamu rumah Atho’ (saya pikir itu rumah bibinya), kami ngobrol berbagai hal. Saya tidak bisa ikut ngobrol terlalu banyak karena diliputi rasa grogi ketika di dekat perempuan yang baru saya kenal. Saya menunggu makan besar itu segera tiba.  “Ayo makan, makan, makan!” Mendengar perkataan itu saya langsung semangat, yang ditunggu-tunggu telah tiba. Saya termasuk orang pertama yang mengambil makanan. Helmi paling pertama, ia lebih gesit dari saya. Mata saya langsung tertuju ke tiga ikan pang...

Cadar

Hai, Sri Ketika saya silaturrahim ke rumah Atho’ dengan teman-teman angkatan organisasi, saya melihat dua teman saya menggunakan cadar warna hitam, satu menggunakan kacamata, satunya lagi tidak.  Saya kenal salah seorang mereka. Saya bisa kenal dari suaranya. Perempuan yang berkacamata lebih pendek dan lebih kurus. Saya duga, waktu itu saya belum pernah bertemu dengannya. Sampai saat ini saya tidak tahu siapa nama lengkapnya.  Saat melihat perempuan bercadar, penglihatan saya selalu tertuju ke matanya. Itu satu-satunya pintu semesta yang bisa kulihat darinya. Saya seperti melihat semesta ketika melihat mata seseorang, seolah-olah saya bisa memahami seseorang ketika melihat matanya. Saya memaknai cadar adalah budaya yang disyariatkan. Aku biasa saja ketika melihat seorang bercadar. Bagi saya, cadar bukan satu-satunya yang menandakan bahwa ia adalah seorang yang bertakwa sepenuhnya kepada Allah. Akan tetapi, mungkin itu adalah ikhtiar mereka untuk bisa semakin dekat kepada-Nya. ...

Ambisi

Hai, Sri Beberapa hari lalu saya pergi ke rumah teman, Athoillah, di Desa Soddara, Pasongsongan. Saat itu kondisi saya kurang sehat, untung saja ada Helmi yang bersedia menyetir motor saya. Ia orang Telaga, Kecamatan Ganding.  Ada banyak teman yang akan pergi ke Soddara, kami seangkatan dalam organisasi. Motorku Smash 110 cc produksi tahun 2006. Sudah lama ia bersama saya, sejak tahun 2015 kalau tidak salah. Duka cita sudah saya lalui dengan motor itu. Hari itu, saat sampai di “Lorong Anyar”—sebuah nama jalan di Kecamatan Ganding—kami berdua berhenti menunggu Faika dan temannya. Ia juga mau ke sana. Di utara jalan tempat kami berhenti, saya melihat sebuah mesin pompa angin. Melihat pompa itu sembari menunggu saya pikir tidak butuh lama untuk memperbaiki rantai motor saya yang kendor dan rem belakang yang bermasalah. Saat jalan, motor saya bunyi “klettek klettek” karena benturan antara rantai dan arm selalu terdengar. Saya usulkan itu ke Helmi, ia setuju.  Mengingat pahit-manis...

Silaturrahim ke Pasongsongan

Minggu, 14 Juni 2020, aku pergi ke Pasongsongan, ke seorang sahabat yang beralih status menjadi teman. Aku masih menjemput temanku di Telaga, Ganding. Ia yang akan nyetir motorku nanti. Bukan karena ia sopirku, tetapi karena aku kurang sehat.  Beberapa hari sebelumnya aku sakit perut, perih, sakitnya dekat hati, tapi bukan sakit hati. Pagi itu saja, sebelum berangkat aku masih muntah-muntah di kamar mandi. “Sopirku” Helmi namanya. Meskipun sekarang statusnya teman, kita nyaris memimpin pasukan kavaleri untuk konfrontasi, untungnya masih bisa berdamai sebelum perang besar terjadi. Si Paiq, cewek yang tidak mau saya deskripsikan seperti apa dia, katanya akan menunggu di “Lorong Anyar.” Aku tidak tahu dimana itu, pokoknya aku percaya saja pada supir. Di tempat yang dijanjikan, ia masih belum datang.  Aku melihat mesin kompresor di utara jalan, saya pikir itu bengkel atau paling tidak punya stang, linggis, dan alat-alat pembuka baut. Aku tidak pegang uang sama sekali, dompet saya ...

Menyembuhkan Luka, Menuntaskan Rindu

“Tak ada luka yang lebih sederhana,” begitulah petikan puisi Moh. Fauzi. Masih ada luka yang mendera dadaku, masih ada rindu yang belum kutuntaskan. Aku simpan sendiri luka dan rindu itu. Tak ada yang tahu, tak ada yang mau tahu. Satu-satunya penawar luka dan rindu itu adalah temu.  Siang menjelang sore, aku baru saja menjual kacang hijau ke pengepul. Aku belum mandi. Paket koutaku baru diisi. Ada sebuah panggilan via WhatsApp dari temanku. Ia bilang, sahabat-sahabat seperjuangan sudah berkumpul di Cafee. Aku diminta untuk segera berangkat ke sana.  “Tapi aku masih belum mandi.” “Sudah, gak usah mandi.” Aku langsung mengambil jaket, cari kunci motor, langsung berangkat tanpa pikir panjang. Aku ngebut. Motorku hanya 110 cc, gas full-pun serasa tidak berjalan, aku ingin sampai sekejap mata. Pikiranku sudah sampai. Teman-temanku sudah berkumpul, minuman sudah tersedia di meja mereka. Aku langsung memesannya. Quraisy baru datang memesan minuman. Aku memesan kopi jahe, salah satu m...