Postingan

Elegan

Hai, Sri Aku ingin mencintaimu dengan elegan, dengan bersahaja. Aku tidak bisa mencintaimu dengan sederhana. Aku tidak tahu tolok ukur cinta yang sederhana. Aku tidak lagi mau mecintaimu dengan metafora-metafora yang tak perlu masuk dalam pikiranmu. Kamu terlalu berharga untuk disuguhi kata-kata klise, ungkapan cinta yang sama sekali tidak realistis. Apalagi kata yang tidak mampu dipertanggungjawabkan. Kamu tidak suka melihatku lebay padamu bukan!  Aku adalah cinta yang pernah kecewa tapi aku tidak mau mengecewakan orang lain. Apabila ada orang lain harus pupus karena aku memilih untuk mencintaimu, semoga lukanya lekas sembuh. Semoga ia bisa mendapatkan cinta yang mampu merawat lukanya, menjaganya dari luka yang lain.  Sri, mungkin saat ini kita tidak perlu sering saling bertutur sapa. Cukup aku tahu kabarmu dan kamu tahu kabarku. Kita akan senantiasa selalu dekat, tanpa sekat kata-kata. Meski kita terbatas untuk saling mengungkapkan rasa, kepercayaan yang senantiasa kita rawa...

Timur Tengah

Hai, Sri Kemarin saya bertamu ke rumah teman saya, Musfiqur Rahman, di Ganding. Kami banyak membicarakan tentang isu-isu Timur Tengah. Dia mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Kajian Timur Tengah. Ada tiga tokoh besar yang mengilhami revolusi Timur Tengah. Sayyid Kutub dari Mesir, al-Maudludi dari Pakistan, dan Ayatullah Khomeini dari Iran. Setahu saya mereka adalah orang-orang yang memahami Islam secara revolusioner sehingga mengilhami terjadinya revolusi di negaranya. Di Indonesia banyak orang-orang yang mengkaji pemikirannya, bahkan mungkin pengikutnya. Pemikirannya banyak “berkeliaran” di berbagai perguruan tinggi. Hanya saja, yang menjadi persoalan bagi saya, mengapa para “pengikut” mereka di Indonesia cenderung radikal, fundamentalis. Saya benar-benar tidak mengerti, Sri, orang-orang ini selalu menyerukan Islam Kaffah, kembali ke al-Qur’an dan Hadits, lalu dibumbui tentang kejayaan imperium Islam di masa lalu, utamanya Dinasti Abbasiyah masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid da...

Bakar Ikan

Hai, Sri Sri, bakar ikan dan makan ikan bakar ramai-ramai adalah salah satu cita-citaku. Cita-cita tak harus tinggi, menjadi pilot misalnya. Mungkin cita-citaku yang ini kamu anggap terlalu mudah, suatu hal remeh yang bisa dilakukan kapan saja. Cita-cita tertinggiku di dunia ini adalah hidup bersamamu hingga akhir hayat. Saya melakukan bakar ikan bersama selama ini hanya dua kali. Pertama kali sudah bertahun-tahun lalu, mungkin tiga atau dua tahun lalu. Aku lupa. Kedua kalinya aku melakukannya kemarin (28/6/20) di Ambunten, di rumah Rahman bersama teman-teman angkatan organisasi.  Aku beberapa kali gagal untuk bakar ikan bersama dengan teman-temanku, ada saja alasan. Aku senang sekali. Ada banyak teman, makan ramai-ramai. Rahman baru saja datang dari batang, kami diundang ke rumahnya. Ia telah menyiapkan delapan ekor ikan tongkol sepanjang lengan sikuku tapi jauh lebih gemuk. Capek mengipas bara dan bau asap arang seolah tidak ada apa-apanya bagiku. Kegembiraan ini tidak sebanding ...

Pelabuhan

Hai, Sri Perjalananku dua minggu lalu di Pasongsongan berakhir di pelabuhan. Aku senang sekali berada di tepi laut, di pantai, atau di pelabuhan. Akan tetapi, lebih daripada itu, aku lebih suka berlabuh di hatimu.  Semoga kamu menjadi tempat pelabuhan terakhirku dan semoga aku menjadi tempat pelabuhan terakhirmu, Sri. Saat ini, tidak ada yang bisa kukatakan padamu, kecuali semoga kita tetap bertahan dalam doa. Di pelabuhan itu, aku teringat dirimu, tapi jahatnya aku, aku foto dengan perempuan lain. Mereka adalah teman-temanku dan mungkin juga teman-temanmu. Pelabuhan itu, Pelabuhan Pasean namanya. Aku tidak pernah berkunjung ke pelabuhan itu sebelumnya. Tidak seperti Pelabuhan Kalianget, pelabuhan itu tidak ramai, tidak ada kapal-kapal besar berlabuh di sana, tetapi banyak perahu nelayan.  Aku pernah mendengar kabar, pelabuhan itu nantinya akan menjadi pelabuhan penting di wilayah pantai utara, sebuah proyek besar-besaran, poros maritim baru. Aku tidak tahu lebih lanjut, namun...

Pentol

Hai, Sri Apa kabar kamu di sana? Sekarang pikiran saya sedang mumet, tidak tahu kenapa dan tidak tahu pula mau apa. Saya hanya ingin makan pentol sampai kenyang. Akan tetapi, makan pentol sendiri serasa kurang nikmat. Aku sudah banyak makan pentol di berbagai tempat, mungkin sudah puluhan tempat, mulai dari pedagang pentol di sekolah sampai di pasaran. Dari berbagai pentol yang pernah saya makan dari berbagai tempat, pentol yang rasanya masih membekas di khayalan adalah Pentol Ghape’ di Pasongsongan. Saya tidak membeli pentol itu. Waktu itu saya dari rumah Atho, lanjut bertamu ke rumah Ria di Pasongsongan. Saya tidak tahu siapa Ria, saya hanya mengikuti teman-teman. Di sana, kami disuguhi Pentol Ghape’ dan Pattek (aku lupa namanya untuk yang ini). Saya pertama kali makan pentol seperti itu, baunya harum bawang daun, sepertinya juga ada aroma ikannya. Bentuknya bundar dan pipih, tipis. Saat dimakan, disobek-sobek, dilipat, dicelupkan ke sambal bening. Saya tidak begitu tahu sambal itu t...

Tunangan

Hai, Sri Beberapa hari yang lalu di desa saya geger acara tunangan besar-besaran. Ada sekitar tujuh puluh orang yang datang dari pihak laki-laki ke pihak perempuan, ada seratus lebih orang dari pihak perempuan ke pihak laki-laki (ada 30 mobil rombongan). Harga satu kue dari pihak perempuan ada yang seharga 1,5 juta. Uang yang dikasih pihak laki-laki ke pihak perempuan sebanyak 40 juta (uang ini semacam untuk membeli semua bawaan ‘main’ dari pihak perempuan). Sepanjang hidup saya, ini adalah acara tunangan terbesar. Mereka berdua sama-sama anak kepala desa. Saya melihat sekilas video yang beredar, kuenya diletakkan dalam kaca. Kabarnya, kue itu setinggi setengah meter, susun tiga seperti sebuah menara. Sebenarnya saya tidak begitu peduli tentang acara tunangan itu. Saya ingin tahu lebih lanjut, bagaimana perasaan keduanya. Ada kabar burung, salah satu dua sejoli itu awalnya tidak mau. Saya tidak mengerti, sebenarnya apa yang mereka rayakan, siapa yang menginginkan seperti itu? Sri, sean...

Makan Besar

Hai, Sri Makan besar adalah tajuk silaturrahim kami. Royzi Takaya yang membuat tajuk itu. Atho’ bilang, kami akan makan ikan. Saya senang sekali, saya suka ikan. Sebelum berangkat, jajaran ikan bakar selebar telapak tangan sudah tergambar jelas dalam angan-angan saya. Sekali lagi, saya suka sekali ikan. Saya juga suka sayuran. Saya tidak begitu suka daging ayam dan daging sapi, bukan tidak mau. Seandainya saya dihadapkan dua pilihan, saya tidak perlu pikir panjang untuk memilih ikan.   Di ruang tamu rumah Atho’ (saya pikir itu rumah bibinya), kami ngobrol berbagai hal. Saya tidak bisa ikut ngobrol terlalu banyak karena diliputi rasa grogi ketika di dekat perempuan yang baru saya kenal. Saya menunggu makan besar itu segera tiba.  “Ayo makan, makan, makan!” Mendengar perkataan itu saya langsung semangat, yang ditunggu-tunggu telah tiba. Saya termasuk orang pertama yang mengambil makanan. Helmi paling pertama, ia lebih gesit dari saya. Mata saya langsung tertuju ke tiga ikan pang...