Timur Tengah

Hai, Sri

Kemarin saya bertamu ke rumah teman saya, Musfiqur Rahman, di Ganding. Kami banyak membicarakan tentang isu-isu Timur Tengah. Dia mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Kajian Timur Tengah.

Ada tiga tokoh besar yang mengilhami revolusi Timur Tengah. Sayyid Kutub dari Mesir, al-Maudludi dari Pakistan, dan Ayatullah Khomeini dari Iran. Setahu saya mereka adalah orang-orang yang memahami Islam secara revolusioner sehingga mengilhami terjadinya revolusi di negaranya.

Di Indonesia banyak orang-orang yang mengkaji pemikirannya, bahkan mungkin pengikutnya. Pemikirannya banyak “berkeliaran” di berbagai perguruan tinggi. Hanya saja, yang menjadi persoalan bagi saya, mengapa para “pengikut” mereka di Indonesia cenderung radikal, fundamentalis.

Saya benar-benar tidak mengerti, Sri, orang-orang ini selalu menyerukan Islam Kaffah, kembali ke al-Qur’an dan Hadits, lalu dibumbui tentang kejayaan imperium Islam di masa lalu, utamanya Dinasti Abbasiyah masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid dan Al-Makmun.

Bagian mana yang terputus? Mengapa bisa bertolak belakang seperti ini?

Sri, Abbasiyah pada masa Harun ar-Rasyid dan Al-Makmun menganut teologi Muktazilah, teologi yang rasional. Kalau sekarang teologi ini masih eksis, mungkin mereka disebut liberal atau mungkin juga tak akan luput dari dicap kafir.

Pada masa itu pula terjadi Tragedi Mihnah, pemaksaan ideologi terhadap Imam Abu Hanifah, salah satu imam mazhab. Sepanjang sejarah dinasti ini selama lima abad, hanya ada tiga khalifah yang mati secara wajar, selebihnya mati dalam sebuah prahara.

Kami berdiskusi tentang hal itu. Kami sepakat ada keterputusan sejarah, sejarah tidak dipahami secara komprehensif, hanya dilihat masa kejayaannya tetapi tidak dilihat apa saja penyebab kejayaan itu, apa saja yang terjadi di balik masa keemasan dunia Islam. Selain itu, Harun ar-Rasyid disebut-sebut dalam novel legendaris Seribu Satu Malam (Alfu Laila wa Laila) sehingga membuatnya makin populer.

Banyak orang Timur Tengah yang tidak mengetahui tentang Timur Tengah, seperti saya dan kamu yang tidak begitu tahu tentang Madura. 

Akan tetapi, entah mengapa, seolah-olah orang Arab itu selalu ditempatkan di atas angin. Bagi saya, mereka demam Arab, tidak mau memahami spirit Islam secara lebih luas. Sangat mungkin dan pasti, saya tidak banyak paham terhadap orang-orang ini dan Islam. Bagaimana mungkin saya tidak mau bilang begitu, mereka menyebut sebuah contoh/tokoh, di satu sisi dari contoh yang sama mereka menolak spirit “idola” mereka. Kalau memang sebuah bangsa atau negara menginginkan sebuah kemajuan secara materil, ia harus liberal, harus radikal. Itu hanya asumsiku.

Sri, begitu banyak tarian erotis di dan dari Timur Tengah. Tidak semua yang dari Arab itu baik, meskipun dari sana tempat diturunkannya wahyu kepada para nabi.

Saya juga sempat bertanya-tanya. Mengapa tidak muncul inovasi-inovasi sains dari Timur Tengah, yang selalu muncul selalu persoalan politik kekuasaan. Banyak tokoh-tokoh besar dari Timur Tengah tetapi biasanya tidak lepas dari Barat, sebut saja Sayyed Hosein Nasr, Kahlil Gibran, Edward W Said. Pemikiran mereka “dibesarkan" di Amerika bukan?

Saya dan temanku harus mengakui, ketika orang Timur Tengah telah jadi “orang,” ia tampil sebagai tokoh yang dahsyat sekali, seperti tiga orang yang saya sebutkan.

Musfiq bilang,”Mungkin Amerika Serikat adalah surganya para imigran.”

Bagi saya ini menarik, berbeda dengan Iran, Irak, Yaman, dan beberapa negara Timur Tengah lain. Arab Saudi tidak begitu memiliki kebanggaan terhadap bangsanya sendiri meskipun mereka makmur secara ekonomi, namun ekonomi mereka ditopang karena “pemberian Tuhan,” sumber kekayaannya dari minyak, dari fosil, bukan karena inovasi. Arab Saudi modern ini tidak pernah merasakan peristiwa besar sebagai sebuah negara, kemerdekaannya diberi. Coba kamu lihat, persoalan di Arab Saudi itu melulu tentang perseteruan antar pangeran. 

Di sisi lain, tentu saja, mereka harus senang dan bangga karena dua kota mereka adalah kota suci. 

Ada banyak sekali yang kita bahas hari itu, Sri, sejak pagi sampai sore. Cukup sampai di sini dulu cerita saya untukmu.

Sampai jumpa di kesempatan mendatang, perempuanku. Aku selalu merindukanmu.

Meja Baru, 06/07/2020 20.03

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial