Postingan

Surat untuk Eneng

Gambar
Selfi bersama: Helmi, Saya, dan Warits Selamat malam, neng. Salam kenal. Semoga pertemanan kita tidak pernah menjadi sahabat, cukup teman. Teman bermain, teman ngobrol, teman ngopi, teman belajar, teman hidup, teman tidur. Duh, maafkan kakang, neng, kakang khilaf. Kalau khilaf tidak akan masuk penjara kan, masukkan aku ke surga! Cukup penjara aku dengan cintamu, eh jangan, kita berdua saja deh dalam “sel” cinta-cintaan. Kita ke surga saja ya, lebih enak. Niatnya saya tidak mau menulis tulisan seperti ini, tetapi ajaib nih jempol. Bertindak, berpikir, dan menulis alay menurunin marwah cowok semi keren seperti saya. Sekitar jam 08. 00 WIB saya berangkat ke cafee di wilayah kota dengan teman saya, Helmi, yang saya tunggu di pertigaan Pasar Lenteng. Pagi itu saya lupa makan, tidak biasanya. Saya baru makan setelah sampai ke rumah, setelah isya’. Di cafee, saya dan teman-teman ngobrol ngarul ngidur berbagai hal, dari sekitar jam 09. 00 sampai sekitar jam 13. 00 WIB. Di tengah...

Sapaan untuk Emilia

Gambar
Hai, Emilia. Aku saat ini ada di pertigaan pasar Lenteng. Pasarnya tak kunjung selesai direnovasi ya! Kapan-kapan main-mainlah ke rumah, ajak teman-temanmu. Aku hanya sekadar ingin menyapamu. Tak ada yang istimewa dalam tulisan ini. Mumpung ada waktu luang—saat ini aku sedang menunggu Helmi untuk pergi ke cafee puncak. Sambil lalu menunggu, aku menulis ini untukmu. Semoga kamu bisa membalasnya. Kabar terakhir, Helmi sudah sampai ke “Cem Kene’.” Aku tidak tahu itu dimana, katanya sudah dekat Lenteng. Rumahmu dimana, Emilia? Kamu mau serumah dengan apa dan siapa? Hahaha. Apa dan siapa Emilia? Kamu bukan Kamelia di mata Irwansyah. Kamu Emilia di mataku. Aku tidak mau tahu kamu mau dipanggil Emilia atau tidak, pokoknya aku mau manggilmu begitu. Aku otoriter terhadap pikiranku sendiri, atau pikiranku otoriter terhadap tubuhku? Aku tak mengerti. Emilia, liberty, liberty, liberty. Kamu tahu Olympe du Jujes? Kalau tidak salah, dialah perempuan yang “teriak-teriak” tentang kebebasan...

Surat untuk Anisah Qanita Lestari

Hai, Anisah Qanita Lestari. Apa kabar? Saya mau panggil kamu sesukaku ya. Saya ingin bebas memanggil kamu, Anis, Nita, atau Tari. Eh, Tari kok kurang sip ya, saya ubah saja deh. Kalau Susi saja bagaimana? Bebas, bebas, bebas, dan bebas, kita harus bebas. Liberty, liberty, liberty, kata cewek-cewek di Prancis dahulu kala. Orang Prancis bisa masak Pete gak ya? Saya mempunyai pengalaman sungguh aneh tapi nyata dengan Pete. Kamis, 19 Desember 2019, adalah hari pernikahan pamanku, Muhammad Lefand—nama aslinya Muhammad—sekaligus Hari Pete bagiku. Saat itu, semua keluargaku pergi ke Ponorogo untuk menikahkan pamanku, di rumahku hanya ada tiga orang: adik laki-lakiku yang masih duduk kelas 1 MTs, nenek dari ibuku yang sudah ditinggal kekasihnya, dan saya yang tidak memiliki kekasih. Di rumah banyak bahan-bahan mentah untuk di masah, tempe, tomat,  terong, cabai, telor, pete, dan berbagai rempah-rempah. Saya biasa memasak sendiri, namun hari itu saya penasaran dengan yang namanya pete i...

Surat Cinta Ketujuh (Cinta Platonik)

Sri, ini surat cinta kan! Berhubung ini surat cinta, aku hanya akan bahas tentang cinta-cintaan ke kamu. Kalau ada hal-hal lain yang mendesak, itu hanya selingan. Kita hanya bertemu sekali, tetapi itu sudah cukup menumbuhkan rasa rindu untukku. Rindu itu akan kurawat. Kata orang, obat rindu hanyalah temu. Akan tetapi, ada orang karena saking enaknya merindukan seseorang, ia sangat menikmati rasa rindunya dan merawatnya. Bagaimana merawat rindu? Menahan atau mencegah pertemuan. Seandainya mereka bertemu, habislah rasa rindunya. Anggaplah aku merindukanmu--meskipun memang begitu--seandainya aku mau, aku bisa menemuimu untuk menuntaskan rasa rinduku padamu, tetapi itu tidak aku lakukan karena aku ingin tetap menjaga rindu ini bersemayam dalam tubuhku. Sri, itulah Cinta Platonik, sangat indah dalam bayangan—istilah filosofisnya hidup dalam alam idea ala Plato. Bagi orang sepertiku, rindu itu sangat mengasyikkan, kadang pula menyedihkan. Kadang, aku ingin bisa merindukan seseorang yan...

Surat Cinta Keenam (Surat Kehilangan)

Sri, flaskdiskku hilang (Madura: tasengsal ). Aku sekarang di rumah cuma bersama nenek dan adikku yang baru duduk di kelas I MTs.. Keluargaku lagi ke Ponorogo, “mengawal” pamanku yang bakal melangsungkan akad nikah besok (19/12/19), tanggal bagus. Aku sebenarnya sudah merencanakan untuk menulis surat untukmu sejak kemarin, cuma pikiranku sekarang hanya selalu teringat ke flaskdisk. Aku mengambil pelajaran dari kejadian ini, Sri, “Kehilangan benda kecil saja bingungnya sudah minta ampun, apalagi kehilangan seseorang yang begitu berarti seperti dirimu.” Cukup, Sri, aku tak bisa gombal lebih jauh lagi, kecuali nanti dapat ilham lagi. Aku ingin bercerita lama-lama denganmu, Sri, lamaaa sekali. Meskipun lewat telepon, satu jam ngobrol bersamamu sudah kurang dari cukup. Aku ingin lebih lama lagi, meskipun aku kayak radio yang tidak menemukan frekuensi yang tepat. Sri, aku ingin sekali untuk menetap di satu hati, dengan seseorang yang benar-benar mencintaiku. Inginku itu, ada seorang pe...

Surat Cinta Kelima

Hai, Sri! Apa kabar? Sudah lama aku tak berkirim surat untukmu. Aku sekarang ada di kamar mama, mama pindah ke kamar adikku, adikku tidur di depan televisi, kamarku ditempati pamanku. Kami semua pindah kamar sesuka hati. Bagiku, kamar mama lebih tertutup daripada kamarku, tidak ada fentilasi sama sekali, sedangkan di kamarku terdapat dua jendela, sinar lampu dari teras bisa menerobos masuk ke kamarku. Aku menemukan kesunyian yang kurindukan di kamar mama. Aku ingin memelukmu, Sri, walau hanya sekali. Kamu memang perempuan setengah khayal untukku, namun aku takkan sungkan mengutarakan itu. Aku tahu kamu terdampar (didamparkan?), terhempas ke sebuah kota yang tak begitu akrab dengan tubuhmu, hanya akrab di telingamu. Dekapan, pelukan ini aku harapkan supaya bisa menenangkan setiap gejolak kehidupan kita. Aku pikir, aku jauh lebih bahagia, senang, dan berkecukupan darimu, namun kamu memiliki yang tak kumiliki yaitu “penantian.” Itu anugerah, Sri. Kamu mampu berkomitmen dengan hatimu, ...

Surat untuk Ariza

Hai, Ariza! Apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja di sana. Ariza, kamu pernah bertanya padaku, "Apakah kamu serius padaku?" Aku bingung menjawab pertanyaan seperti ini. Aku tahu, Za, laki-laki selalu ingin dipahami, perempuan selalu ingin dicintai. Aku tahu itu, aku tahu. Aku juga tahu kamu ingin kepastian. Kita pernah duduk berdua di cafee, minum jus. Kamu yang bayar minumnya. Aku tersenyum saat menulis ini. Aku teringat senyummu yang tak habis-habis dalam ingatan. Ingatanku terlalu kuat untuk melupakan senyummu yang merekah. Perempuan suka diperjuangkan, tapi aku tak suka memperjuangkan  perempuan. Dalam pikiranku selalu terbersit, "cinta itu anugerah, akan datang kapan saja, dimana saja, tak perlu 'terlalu' berjuang untuk cinta." Begitu pun aku padamu, Ariza, rumusku hanya untung-untungan. Sempat kukatakan pada mama perihal dirimu, jawabannya ya tetap seperti itu-itu saja dengan akhiran "terserah jodohnya." Kamu pernah bercerita pada...