TRADISI KEILMUAN PESANTREN (LANDASAN PENGEMBANGAN DAN JARINGAN KEILMUAN)

Manuskrip Pesantren: Foto: Tamimi


Pesantren bukan sebatas tempat mencari ilmu, transfer pengetahuan. Menurut Ahmad Baso, pengetahuan pesantren bukan hanya berupa obyek yang dikenal dan dipelajari oleh manusia. Ia mengutif C.A. Bayly dalam buku Empire and Information, “Pengetahuan itu sendiri adalah formasi sosial. Dan orang-orang yang berpengetahuan membentuk  satu segmen dalam masyarakat yang unik dan aktif dengan berbagai kepentingan-kepentingannya sendiri.”  [1]

Pesantren bukan “barang baru” dalam khazanah pendidikan di Indonesia. Ia ada sejak sebelum Negara Indonesia ada. Pesantren mampu bertransformasi dan bertahan dari waktu ke waktu, tetap kokoh sebagai lembaga pendidikan Islam khas di Nusantara. Sepanjang Pulau Sumatera sampai Jawa banyak ditemui ribuan pesantren yang tetap berdiri kokoh sampai saat ini.

Keberhasilan pesantren dalam menjalankan roda keilmuannya di tengah-tengah masyarakat tidak serta merta berjalan begitu saja, ada berbagai landasan keilmuan yang menjadi penopang pesantren untuk tetap terus bertahan seiring zaman yang terus bergerak. Ia menjadi lahan bagi tumbuh suburnya paham teologi Ahlu as-Sunna wa al-Jama’ah (Aswaja).

Bicara pesantren, akan bicara banyak hal, mulai dari ranah teologi sampai masalah sosial. Bicara pesantren, tidak bisa lepas dari berbagai unsur pesantren: kiai, santri, pondok, paham keagaamaan,  bidang-bidang ilmu yang dipelajari, dan lain sebagainya.


Nilai Pengembangan Ilmu Pesantren

Nilai pengembangan ilmu dipesantren sudah ada sejak dahulu, sistem nilai itu sudah terbangun sejak lahirnya pesantren dari tradisi-tradisi yang berkembang pada saat itu. Nyaris semua bahan ajar yang diajarkan di pesantren berpaham Ahlus as-Sunnah wa al-Jama’ah. Bisa dikatakan, kehadiran pesantren di Nusantara adalah pengejawantahan paham Aswaja. Ia menjadi lembaga pendidikan yang mengajarkan paham Asjawa.

Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri-cirinya tersendiri, pesantren memiliki tradisi keilmuannya yang berbeda-beda dari tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain walaupun hal ini mungkin tidak begitu disadari selama ini, bagaimanapun juga memang terdapat perbedaan yang mendasar antara manifestasi keilmuan di pesantren dan manifestasi keilmuan di lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya di seluruh dunia Islam. Pesantren pada dasarnya adalah sebuah lembaga pendidikan Islam, walaupun ia mempunyai fungsi tambahan yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi pendidikan tersebut. Ia merupakan sarana informasi, sarana komunikasi timbal balik kultural dengan masyarakat, dan juga merupakan tempat pemupukan solidaritas masyarakat karena watak utamanya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sendirinya ia memiliki tradisi keilmuannya sendiri. Akan tetapi, tradisi ini mengalami perkembangan dari masa ke masa dan menampilkan manifestasi yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Walau demikian, masih dapat ditelusuri beberapa hal inti yang tetap merupakan tradisi keilmuan pesantren sejak datangnya Islam ke Indonesia hingga saat ini. Kesemuanya itu menunjuk ke sebuah asal-usul yang bersifat historis, yang merupakan pendorong utama bagi berkembangnya pesantren itu sendiri.  [2]

Tradisi keilmuan Islam di pesantren bersumber pada dua gelombang yaitu gelombang pengetahuan keisalaman yang datang ke kawasan Nusantara dalam abad ke-13 Masehi, bersamaan dengan masuknya Islam ke mari dalam lingkup yang luas, yang kedua, gelombang ketika para ulama kawasan Nusantara menggali ilmu di semenanjung Arabia, khususnya di Makkah dan kembali setelah itu ke tanah air untuk mendirikan pesantren-pesantren besar. Kedua gelombang inilah yang menjadi sumber dari tradisi keilmuan Islam yang berkembang di pesantren.

Pada gelombang pertama yang datang dan masuk ke Indonesia, manifestasi keilmuan Islam yang datang ke mari adalah dalam bentuk tasawuf dan ilmu-ilmunya yang tentu juga tidak lepas dari ilmu-ilmu syariah  pada umumnya. Fiqh memang dipelajari, tauhid, demikian pula, dan tentu saja alat-alat bantu dalam bentuk bahasa Arab, juga ada ilmu hadits, tafsir, akhlak, dan ilmu-ilmu lain yang ada di kawasan Timur Tengah waktu itu. Masa abad ke-13 itu, Islam datang di Indonesia sudah dalam bentuk yang dikembangkan di Persia dan kemudian di anak Benua India yang berorientasi sangat kuat pada tasawuf. Oleh karena itulah kita dapati bahwa tasawuf adalah orientasi yang menentukan corak keilmuan dan watak tradisi keilmuan di pesantren pada saat itu. Buku-buku tasawuf yang menggabungkan fiqih dengan amal-amal akhlak berupa bahan pelajaran utama. Diantaranya adalah Bidayah al-Hidayah dari Imam Al-Ghazali yang merupakan karya fiqh sufistik paling menonjol selama berabad-abad, bahkan sampai abad ini di pesantren-pesantren dalam perjalanan sejrahnya yang panjang sejak abad ke-13, yaitu selama tujuh abad ia berkembang di pesantren, manifestasi keilmuan yang seperti ini bertumpang tindih dengan pandangan-pandangan dan perilaku mistik orang Jawa atau penduduk setempat. Demikian juga ia bertumpang tindih dengan perkembangan beberapa aliran tasawuf yang menyimpang dari ortodoksi, seperti faham wahdaniayah atau wahdat al-wujud. Hal itu dapat kita jumpai pada Abdurrauf Singkel dan pada beberapa tokoh lain dari masa itu. Perdebatan antara Ar-Raniry dan gurunya yang menghasilnya “pemurnian” ajaran tasawuf di Aceh pada abad ke-16 menunjukkan dengan jelas bahwa manifestasi figh sufistik telah memasuki ke seluruh kehidupan ilmiah orang Islam. Waktu itu yang pentingkan adalah adalah kedalaman akhlamk dalam bentuk pengalamannya secara tuntas dan pedalaman pemahaman sufistik pada kehidupan.  [3]

Gelombang kedua yang terjadi pada abad ke-19 dipicu karena terjadi perubahan secara berangsur-angsur akibat dibukanya perkebunan-perkebunan tebu, kopi, tembakau yang luas di beberapa daerah, selain pabrik-pabrik gula denga kebun tebunya yang luas dengan sendirinya lalu muncul sebuah kelompok santri yeng memiliki akumulasi kekayaan semakin bertambah dari masa ke masa, dan dalam waktu 20 sampai 30 tahun telah mempunyai cukup dana untuk mengirimkan anak-anak mereka ke Timur Tengah untuk belajar di sana. Pada saat bersamaan, pelayaran dengan kapal motor secara teratur antara Eropa dan Hindia-Belanda telah berlangsung sejak dibukanya terusan Suez pada awal abad ke-19 itu. Dengan demikian, terjadilah pengiriman anak-anak muda dari kawasan Nusantara untuk belajar di Timur Tengah dan akhirnya mereka menghasilkan korps ulama yang tangguh dan mendalami ilmu-ilmu agama di semanjung Arabia, terutama di Mekkah lahirlah ulama-ulama besar seperti Kiai Nawawi Banten, Kiai Mahfudz Tremas, Kiai Abdul Ghani Bima, Kiai Arsyad Banjar, Kiai Abdus Shomad Palembang, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Kholil Bangkalan, dan deretan ulama lain yang tidak terputus-putus sampai hari ini. Mereka ini membawakan orientasi baru pada manifestasi keilmuan di lingkungan pesantren yaitu orientasi pedalaman ilmu fiqih secara tuntas. Perdebatan mengenai hukum agama dilakukan dengan serius, tidak hanya melakukan kajian terhadap kitab fiqih yang besar-besar, melainkan juga dengan mengembangkan alat bantunya, seperti ilmu-ilmu Bahasa Arab yang tuntas, ilmu-ilmu tafsir, ilmu-ilmu hadits, dan tidak lupa juga tentunya ilmu-ilmu akhlak.   [4]

Berdasarkan daftar yang dibuat Van Den Berg pada tahun 1870-1887, setidaknya ia menyebut 49 kitab yang diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori tertentu dalam pengetahuan Islam. Kitab-kitab ilmu fiqih dominan daripada kitab-kitab ilmu lainnya, kitab tentang fiqih hampir 20, lalu disusul tentang Bahasa Arab (Nahwu-Sharraf), teologi (akidah), sufisme (tasawuf), dan tafsir Al-Qur’an.  [5]

Penerapan Nilai dalam Pengembangan Ilmu di Pesantren

Penerapan nilai dalam pengembagan ilmu di pesantren didasari pada paham keilmuan yang dikembangkan oleh pesantren. Adapun dari semua disiplin ilmu yang dikembangkan di pesantren, fiqih menjadi bidang keilmuan yang paling dominan daripada yang lainnya. Hal ini karena fiqih diangap sebagai salah satu bidang keilmuan yang berhubungan langsung dengan keseharian masyarakat, perilaku kongkrit masyarakat sehari-hari.  [6]

Dalam dunia pesantren, etika lebih utama daripada sekadar tingginya ilmu, hal ini bisa dirujuk pada perkataan ulama yang akrab di dunia pesantren, al-aadabu fauqa al-ilmi, yang menempatkan adab lebih utama daripada ilmu. Lumrahnya, sumber utama yang dijadikan referensi dalam hal ini adalah kitab “Ta’limul Muta’allim” karya Az-Zarnuji. Kiai Hasyim Asy’ari sendiri mengarang kitab berjudul Adabul ‘Alim wa Muta’allim yang membahas tentang adab orang belajar dan mengajar. Dalam kitab itu berisi lima bab: bab satu menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan ulama mengajar dan belajar, bab dua menjelaskan tentang etika siswa atau santri, bab tiga menjelaskan tentang etika guru, bab empat menjelaskan tentang etika terhadap sarana, dan bab lima menjelaskan tentang sambutan para ulama yang mengajar di Masjidil Haram (Sa’id Muhammad Al-Yamani, Abdul Hamid Sumbulu Hadidi, Hasan bin Sa’id Al-Yamani, Muhammad Aly bin Sa’id Al-Yamani).

Nilai-nilai kelimuan di pesantren bukan bertujuan untuk “bersaing” satu sama lain, saling mengunggulkan, atau untuk merebutkan pengaruh semata. Kiai Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘alim wal Muta’allim mengutip hadits riwayat Tirmidzi, artinya, “Barang siapa menuntut ilmu bertujuan untuk menjatuhkan para ulama dan mendebat para fuqaha atau agar dapat menguasai dan mengendalikan orang lain, maka Allah akan memasukkan dia ke neraka.” (HR. Tirmidzi).  [7]

Mencari ilmu hanya untuk semata-mata karena mencari ridha Allah Swt., bukan yang lain, mencari ilmu untuk diamalkan dan supaya bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt, beribadah dengan dasar ilmu. Menurut Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, tujuan akhir dari ilmu adalah mengamalkannya karena amal adalah buah dari ilmu. Selain itu, juga merupakan tujuan hidup dan sebagai bekal di akhirat kelak.  [8]

Pembangunan Jaringan Keilmuan Pesantren

Jaringan keilmuan pesantren tidak bisa lepas dari asal muasal Islam itu sendiri. Pada zaman dahulu, para kiai-kiai di pesantren terkoneksi dengan para ulama-ulama timur tengah, terutama di Haramain. Azyumardi Azra mengungkap tuntas jaringan ulama Timur Tengah ini dengan ulama-ulama yang Nusantara.

Menurut Azyumardi Azra, tradisi keilmuan sepanjang sejarah Islam berkaitan erat  dengan lembaga-lembaga sosial dan lembaga-lembaga pendidikan. Para ulama yang bertemu di Haramain kemudian membangun jejaringnya yang pada akhirnya juga tersambung sampai ke Kepulauan Nusantara. Jaringan ini terjalin sejak abad ke-15.  [9]

Halaqah yang terbangun di Mekkah telah meningkatkan otoritas ulama, dan pada akhirnya membentuk jaringan yang kokoh. Proses ini juga didukung oleh tradisi pesantren, yang sangat menakankan ketaatan para santri kepada guru, yang diakui sebagai pembimbing spiritual sepanjang hidup. Akibatnya, hubungan ulama santri menjadi fondasi pembentukan jaringan ulama. Membangun pesantren diakui sebagai sebuah ukuran keberhasilan pembelajaran Islam di pesantren, dan pada gilirannya dinilai sebagai prasyarat bagi para santri untuk diakui sebagai ulama. [10]

Di Pesantren tradisi dengar lisan dalam halaqoh, ulama dianggap sebagai perwujudan ideal-ideal keagamaan sempurna yang akan diikuti oleh para santri tanpa keraguan. Tradisi lisan dalam pengajaran dalam pesantren juga berfungsi sebagai mekanisme efektif untuk menghindari infultasi pengetahuan Islam yang diciptakan Belanda, seperti yang disuarakan oleh sebagian besar penghulu. Signifikansi tradisi lisan dalam pengajaran pesantren terletak pada fakta bahwa ia memberi ulama kesempatan untuk merumuskan ajaran Islam dalam idiom-idiom kultural masyarakat yang memperkuat laju integrasi Islam ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karomah, barokah dan ilmu merupakan unsur-unsur utama untuk kepemimpinan pesantren.
Dalam tradisi pesantren, bentuk hubungan ulama-santrimasih berlangsung dan sangat ditekankan dan menjadi salah satu pelajaran utama. Kitab Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’allum yang diajarkan di pesantren menyajikan petunjuk-petunjuk bagi para santri tidak hanya tata cara bagaimana para santri harus memahami ajaran-ajaran Islam, tetapi etika yang harus mereka jalankan. Kitab yang merujuk pada kitab Burhan al-Islam al-Zarnuji tersebut  memberi gagasan sikap yang diperlukan para santri dalam mencari ilmu, yaitu kepatuhan total kepada ulama adalah inti pembelajaran. Keyakinan ini muncul dari pemahaman bahwa pengetahuan agama (‘ilm) tidak berasal dari kitab yang tertulis, tetapi dari penjelasan lisan ulama yang bersambung sanadnya kepada guru sebelumnya. [11]


Daftar Pustaka

[1] Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a; Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial; Juz Pertama: Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan-Kebangsaan. Cet. 2 (Jakarta: Pustaka Afid, 2013), 172

[2] Abdurahman Wahid, Menggerakkan Tradisi (Yogyakarta: LKIS,  2010), hlm. 213-214

[3] Ibid., hlm. 221-222

[4] Ibid., hlm. 224-225

[5] Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara; Sanan dan Jejaring Ulama-Santri (Ciputat: Pustaka Compass, 2016), hlm. 293

[6] A. Washil Hasyim, Pembacaan Proses Awal Evolusi Pesantren, dalam Jurnal ‘anil Islam, Vol. 5, No. 2, Desember 2012. Hlm. 290-298

[7] Muhammad Hasyim Asy’ari, Aadabul ‘Alim wa Muta’allim, terj. M. Tholut Mughni, Menggapai Sukses dalam Belajar Mengajar (Jombang: Mulatzam Press, 2011), Hlm. 25
[8] Ibid., hlm. 14

[9] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII (Jakarta:Kencana, 2013), hlm. 76

[10] Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara, Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945) (Ciputat: Pustaka Compass, 2016), hlm. 269

[11] Ibid. hlm. 269-270

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tarekat Qadiriyah

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Pendidikan Sosial