Pikiran Menikah


Aku sempat berpikir, “bagaimana kalau aku tidak menikah saja.” Jangan kira aku tidak nafsu lihat perempuan cantik dan bahenol, sungguh nafsuku meluap-meluap, pengen langsung cepet beristri. Namun, apakah hanya untuk urusan “itu" ketika seorang memutuskan untuk menikah? Aku rasa tidak juga (masih ragu mau jawab bagaimana).

Suatu ketika, teman laki-lakiku pernah bilang padaku, “jangan bayangkan menikah itu seindah yang diceritakan orang-orang, kamu akan kecewa.” Apalagi, katanya, hanya untuk urusan gitugituan, menikah harus diniatkan ibadah.

Aku sering melihat suami-istri-anak bertengkar, dari situ aku semakin yakin bahwa menikah bukan menyelesaikan masalah percintaan. Aku percaya, cinta tak ada hubungannya dengan nafsu. Keduanya itu sama sekali hal yang berbeda.

Sering kuberpikir, tidak ada orang yang tulus mencintaiku. Aku juga (sampai saat ini) tidak lagi mencintai seseorang sepenuh hati.

Mungkin hatiku sudah nyaris mati, walau nafsu tetap jalan kencang.

Oleh karena itu, selalu terbersit pertanyaan seperti di atas. Bukan karena tuntutan saat menikah, nafkah keluarga misalnya, namun ini masalah komitmen atas nama cinta. Bagiku, seseorang telah merendahkan cinta yang agung ini jika bermain-main dengan cinta, lebih tepatnya berkedok cinta, padahal tidak.

Buat apa menikah jika tidak didasari cinta? Ibadah harus karena cinta. Mengabdi karena cinta. Berbuat karena cinta. Rada-rada lebay memang kedengarannya, namun itu yang aku inginkan. Aku sadar, dulu, tepatnya beberapa waktu lalu, aku sering main-main dalam urusan cinta. Ternyata itu tidak memuaskanku, bukan itu yang aku inginkan, bukan seperti itu yang harus kulakukan. Itu perlakuan tercela yang harus aku hentikan.

Apa yang harus aku harapkan dari menikah jika aku tidak benar-benar suka?

Coba pertanyaan itu sedikit diubah, “Mengapa aku harus menikah?” Siapapun yang mau bantu jawab, aku persilahkan melayangkannya kepadaku, aku tunggu, sebisa mungkin buat uraian yang akurat.

Mengapa kalian menikah?

Aku melihat seorang suami meninggalkan istrinya setelah melahirkan. Aku melihat seorang suami menjauhi istrinya saat ia kesulitan merawat bayinya. Aku melihat sepasang suami istri bertengkar, seolah mengatakan kepadaku bahwa pertengkaran suami-istri adalah ajang duel secara legal. Semoga aku salah persepsi, aku yakin salah persepsi.

Apakah mencintai seseorang harus menikah?

Seorang teman bilang padaku bahwa ia tidak mencintai istrinya. Ia menikah karena dipaksa ibunya. Istrinya hamil. Ibunya bilang, “Bilang tidak cinta, tetapi sudah hampir punya anak.” Temanku itu bilang padaku, “Ya kalau sudah ada di depan mata, mau bagaimana lagi,” dengan nada seolah pasrah sambil sedikit tersenyum padaku. Lihat, cinta dan nafsu beda kan?

Apakah kita diciptakan berpasang-pasangan itu maksudnya adalah hanya sebatas tentang ragawi saja? Seperti panas-dingin, jantan-betina, kanan-kiri!

Pikiran-pikiran tentang menikah berkelebat di kepalaku. Apa yang aku inginkan dalam hidup ini? Karier, aku pikir karierku sudah cukup baik walau masih jauh dari ekspektasiku. Bukan sekadar jabatan atau profesi yang aku ingin, esensi dari jabatan atau profesi itulah yang harus kuperjuangkan, jabatan dan profesi hanya media. Sama seperti menikah, menikah bukan tujuan utama, namun apa esensi dari menikah itu sendiri?

Aku seolah berada dalam situasi kekosongan yang menolak untuk diisi.

Kalau aku sudah bisa benar-benar mencintai seseorang dan dia pun benar-benar mencintaiku, baru aku akan menikah (kalau tidak kebelet).

Akan tetapi,  bagaimana aku menentukan tolok ukurnya? Apa saja tolok ukurnya?


Tempat di mana listrik PLN belum nyala di sini, Jum'at, 27 Maret 2020. 20. 45

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tarekat Qadiriyah

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Pendidikan Sosial