Surat Rindu 2
Aku ingin merinduimu lebih lama dari waktu yang kuperkirakan. Aku tidak tahu seberapa lama. Kadang, aku ingin hidup sendiri. Aku marah, egois, karena dunia tidak seperti yang kukehendaki. Kadang pula, aku ingin cepat bertemu maut seandainya tidak ada hutang yang harus kubayar, dan janji yang harus kutepati.
Aku tidak tahu, apakah kata-kataku ini penting untukmu , penting kutulis. Tidak ada orang yang dirugikan dengan tulisan ini, baik kutulis atau tidak, sama saja. Apakah aku penting untukmu, untuk kalian, untuk mereka, seberapa penting, apa pentingnya aku?
Aku ingin mengutuk rindu, rindu tak pernah menekam di dadaku. Seandainya ia datang padaku, aku ingin merawatnya. Ingin kutahan sebuah temu demi sebuah rindu di dada.
Aku ingin merindukamu di seberang, perempuanku. Tak penting, apakah kamu juga merindukanku atau tidak. Aku tidak peduli. Aku blokir kontakmu untuk beberapa saat, beserta orang-orang yang berhubungan erat denganmu. Aku ingin sebuah “anak kandung” lahir dan mendekam di dadaku. Hah, tapi percuma.
Seperti apakah rindu itu, apakah ia datang dan pergi begitu saja, apakah ia hanya datang pada orang-orang yang tak menginginkannya, atau ia hanya sebuah ketakutan bagi sebuah perpisahan. Mungkin ia hanya sebuah kata yang hanya diketahui maknanya secara personal.
Aku bayangkan tubuh kekasih, ia hanya menjelma sketsa. Aku bayangkan alunan dana dari suara-suara kekasih, ia hanya menjelma harmoni alam, aku bayangkan mata kekasih menatapku dalam, kututup mata ini, aku menemukannya, ketika kubuka mataku, hanya ada tatapan kosong. Kaki langit menyadarkanku bahwa di sana tidak ada apa-apa.
Seandainya aku bisa, berjumpa denganmu dengan waktu lama, lalu kamu pergi, dan aku bisa merindukanmu. Apakah harus ada temu yang begitu lama untuk melahirkan rindu? Apakah lawan kata temu bukan pisah, tapi rindu? Mungkinkah?
Rindui aku, rindu. Akan kutulis surat untukmu sebanyak-banyaknya, sampai kau kembali menyapaku setiap malam. Setelah itu aku ingin menjawab semua sapaanmu itu. Sebuah kata begitu berarti untukku, meskipun menurut orang lain itu tidak penting.
Banyak manusia menghabiskan waktunya dengan percuma, salah satunya aku. Aku ingin waktu tidak berlalu secara percuma.
Aku ingin setiap nafas ini mempunyai manfaat dari sekadar hidup, sekadar menandai kehidupan raga ini. Namun, saat itulah, seringkali aku ingin mengutuk diriku sendiri, selalu pesimis dengan semua tindakan yang kupilih tanpa pertimbangan yang sempurna.
Sering aku menutup diri, mengurung diri di kamar dan mengkhayalkan kehidupan yang kuinginkan. Saat keluar rumah, saat itulah kekecewaanku pada diriku sendiri, pada khayalan-khayalan semu, kutemukan. Perempuanku, apakah kamu kecewa padaku karena tidak memberikan kejelasan yang utuh padamu?
Aku menghibur diriku sendiri dengan nama-nama teman yang tidak lumrah (dibuat tidak lumrah) di telinga orang lain. Sepekan ini, aku merenungi diriku lebih dalam, aku ingin revolusi kepribadian. Aku ubah nama-nama itu sebagaimana mestinya, aku tidak tahu apakah ini seharusnya kulakukan.
Aku lebih tertarik pada kemegahan ilmu yang kamu miliki daripada limpahan harta yang dia punya. Aku tidak iri ketika melihat orang lain mendapatkan karunia harta yang begitu banyak, tapi ketika melihat sebuah kemegahan ilmu pengetahuan yang dimiliki orang lain, aku ingin seberuntung dia (aku yakin itu bukan hanya sebuah keberuntungan belaka) memiliki semangat untuk terus berproses.
Tak ada rindu yang lebih dalam bisa kuungkapkan untukmu melebihi surat ini.
Kamar, 11/02/2020 21. 10
Aku tidak tahu, apakah kata-kataku ini penting untukmu , penting kutulis. Tidak ada orang yang dirugikan dengan tulisan ini, baik kutulis atau tidak, sama saja. Apakah aku penting untukmu, untuk kalian, untuk mereka, seberapa penting, apa pentingnya aku?
Aku ingin mengutuk rindu, rindu tak pernah menekam di dadaku. Seandainya ia datang padaku, aku ingin merawatnya. Ingin kutahan sebuah temu demi sebuah rindu di dada.
Aku ingin merindukamu di seberang, perempuanku. Tak penting, apakah kamu juga merindukanku atau tidak. Aku tidak peduli. Aku blokir kontakmu untuk beberapa saat, beserta orang-orang yang berhubungan erat denganmu. Aku ingin sebuah “anak kandung” lahir dan mendekam di dadaku. Hah, tapi percuma.
Seperti apakah rindu itu, apakah ia datang dan pergi begitu saja, apakah ia hanya datang pada orang-orang yang tak menginginkannya, atau ia hanya sebuah ketakutan bagi sebuah perpisahan. Mungkin ia hanya sebuah kata yang hanya diketahui maknanya secara personal.
Aku bayangkan tubuh kekasih, ia hanya menjelma sketsa. Aku bayangkan alunan dana dari suara-suara kekasih, ia hanya menjelma harmoni alam, aku bayangkan mata kekasih menatapku dalam, kututup mata ini, aku menemukannya, ketika kubuka mataku, hanya ada tatapan kosong. Kaki langit menyadarkanku bahwa di sana tidak ada apa-apa.
Seandainya aku bisa, berjumpa denganmu dengan waktu lama, lalu kamu pergi, dan aku bisa merindukanmu. Apakah harus ada temu yang begitu lama untuk melahirkan rindu? Apakah lawan kata temu bukan pisah, tapi rindu? Mungkinkah?
Rindui aku, rindu. Akan kutulis surat untukmu sebanyak-banyaknya, sampai kau kembali menyapaku setiap malam. Setelah itu aku ingin menjawab semua sapaanmu itu. Sebuah kata begitu berarti untukku, meskipun menurut orang lain itu tidak penting.
Banyak manusia menghabiskan waktunya dengan percuma, salah satunya aku. Aku ingin waktu tidak berlalu secara percuma.
Aku ingin setiap nafas ini mempunyai manfaat dari sekadar hidup, sekadar menandai kehidupan raga ini. Namun, saat itulah, seringkali aku ingin mengutuk diriku sendiri, selalu pesimis dengan semua tindakan yang kupilih tanpa pertimbangan yang sempurna.
Sering aku menutup diri, mengurung diri di kamar dan mengkhayalkan kehidupan yang kuinginkan. Saat keluar rumah, saat itulah kekecewaanku pada diriku sendiri, pada khayalan-khayalan semu, kutemukan. Perempuanku, apakah kamu kecewa padaku karena tidak memberikan kejelasan yang utuh padamu?
Aku menghibur diriku sendiri dengan nama-nama teman yang tidak lumrah (dibuat tidak lumrah) di telinga orang lain. Sepekan ini, aku merenungi diriku lebih dalam, aku ingin revolusi kepribadian. Aku ubah nama-nama itu sebagaimana mestinya, aku tidak tahu apakah ini seharusnya kulakukan.
Aku lebih tertarik pada kemegahan ilmu yang kamu miliki daripada limpahan harta yang dia punya. Aku tidak iri ketika melihat orang lain mendapatkan karunia harta yang begitu banyak, tapi ketika melihat sebuah kemegahan ilmu pengetahuan yang dimiliki orang lain, aku ingin seberuntung dia (aku yakin itu bukan hanya sebuah keberuntungan belaka) memiliki semangat untuk terus berproses.
Tak ada rindu yang lebih dalam bisa kuungkapkan untukmu melebihi surat ini.
Kamar, 11/02/2020 21. 10
Komentar
Posting Komentar