Cerita dari Pulau Oksigen


Oleh: Moh. Tamimi

Berjalan sepanjang 1 kilometer mungkin bukan sesuatu yang berat bagi kami sebagai orang desa. Akan tetapi, kami tak habis pikir betapa bingungnya para wisatawan nanti jika sampai ke sini (Gili Iyang) tidak menemukan transportasi apa-apa. Kami baru bisa menyewa motor 3 roda keesokan harinya ketika pihak keluarga Kades (Kepala Desa} membantu kami mencari sewaan motor tiga roda tersebut, malam sebelumnya dan seterusnya sampai kembali, kami menginap di rumah Kades itu.

Menggunakan motor tiga roda kami menyusuri 4 dari 5 lokasi wisata di Gili Iyang yaitu Wisata Oksigen, Gua Sarepa, Batu Canggha, dan pantai Ropet. Satunya lagi yang tidak sempat kami kunjungi adalah Gua Air.

Jangan Anda bayangkan bahwa tempat wisata oksigen itu adalah tempat yang indah bagaikan alun-alun kota, lokasi oksigen itu hanya berupa lahan biasa yang dibiarkan sebagaimana adanya, hanya terdapat gubuk bambu reot di situ yang memang milik si Bapak tuan tanah (Bapak Sahlan). Kakek tua renta yang berumur tidak kurang 120 tahun itu hanya hidup dengan isterinya sebatang kara. Tidak ada keluarga lain karena ia sampai saat ini belum dikaruniani seorang anak.

Selesai dari oksigen terbaik, kami beranjak ke tempat wisata selanjutnya, Gua Sarepa, gua yang konon ditemukan oleh seorang warga bernama Sarepa pada masa penjajahan, gua itu mempunyai daya tarik karena tepat di tengah-tengah langit-langit gua itu terdapat lubang besar bagaikan rembulan di tengah malam. Ada sinar yang memancar ke dalam gelap gulita gua. Di dalam gua itu, sudah dibuat pondasi untuk lapangan Bulu Tangkis, untuk sementara ini, gua itu dikelola oleh tiga orang warga setempat. Sayangnya, pengelolaan gua itu masih sangat minin, jangankan mengelola dengan seideal mungkin, saat kami datang, masih saja harus mencari sang juru kunci ke kediamnnya. Gua itu bisa dikatakan masih alami dalam artian masih belum ada pengelolaan secara massif, kecuali pondasi tadi.

Selesai menelusuri Gua Sarepa kami melaju ke lokasi Batu Changga, jalan berbatu membuat motor 3 roda kami selalu oleng, kadang oleng ke kanan dan oleng ke kiri. Untuk sampai ke lokasi Batu Changga tidak cukup hanya menggunakan kendaraan bermotor, kami harus jalan kaki kira-kira 100 meter dan menuruni tangga terjal yang terbuat dari bahan bambu sepanjang 7 meter tanpa pengaman sedikitpun.

Tepian tebing batu di pinggir pantai itu terlihat panorama indah, betul ada sebuah batu besar yang menyerupai pilar besar yang menyangga tebing batu, di tengah-tengah terdapat lubang besar menyerupai fentilasi tanpa daun pintu. Bicara batu ya sebatas batu sebagaimana adanya tanpa polesan apapun oleh sang pemegang kuas di daerah itu. Lagi-lagi tidak ada pengaman di sana, padahal kami berhadapan dengan tebing pantai yang curam. Tak ada apa-apa kecuali papan nama bertuliskan Wisata Batu Changha.

Puas menikmati laut dari atas batu dan pengabadian momen, kami beranjak ke Pantai Ropet yang terletak di sebelah selatan Pulau Gili Iyang. Terdapat beberapa gazebo di sana yang didirikan oleh seseorang yang peduli Gili Iyang, Jauhari, dengan menggukan kocek dari kantong sendiri, untuk pembangunan pantai Ropet itu saya menghabiskan Rp. 7.000.000 dari uang saya sendiri dan dibangun secara gotong royong, ungkap bapak Jauhari dengan nada tegas. 

Tutur Bapak Sahlan, Tentang Oksigen Gili Iyang 
Hidup panjang umur adalah idaman semua manusia, kecuali orang-orang sufi yang selalu ingin bertemu dengan kekasih hatinya yang tak terperi itu. Kenikmatan yang tak tergantikan adalah ketika bersenandung dengan sang kekasih, Sang pencipta semesta. 

Akan tetapi, bagi sebagian orang yang lain, umur panjang adalah anugerah yang patut disyukuri, sebagaimana dijalani Sahlan, beliau  adalah salah satu dari sekian banyak manusia yang patut bersyukur itu karena ia telah dianugerahi umur panjang, 120 tahun. Sosok tua renta Sahlan, hidup panjang umur, bukan tidak ada faktor pendukung secara biologis. Ia hidup di titik pusat oksigen terbaik ke-dua di dunia, Desa Bancamara, Pulau Gili Iyang yang primadona di Sumenep itu.

Bicara sosok seorang sepuh ini, kian menarik bukan sekedar karena ia umurnya yang begitu panjang serta sehat dan segar bugar, dia hidup di atas umur rata-rata masyarakat Sumenep pada umumnya. Pembahasan ini akan menarik karena lingkungan alam di sekitarnya yang menawan mata dan membuat pikiran untuk terus bertanya, bagaimana bisa terjadi?

Kru Fajar diberi kesempatan oleh Allah untuk berkunjung ke kediaman beliau, tepat  ketika fajar menunjukkan waktu dhuha pada 8 Maret 2017 untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana keadaan alam di sekitar Pak Sahlan. Apa kata yang pantas untuk mendeskripsikan kehidupan dan wilayah tempat tinggal Pak Sahlan. 

Sejenak, terlintas di pikiran para kru Fajar, bahwa tempat tinggal kehidupan pemilik lahan titik pusat oksigen ini penuh dengan kemewahan, bagaimana tidak, ia mempunyai lahan yang ditawar 2 Miliyar rupiah. Lahan yang menjadi rebutan para bisnisman karena pangsa pasar yang sangat menjanjikan di kemudian hari, wah, banyak sekali yang ingin membeli lahan ini, dari mana-mana. Ada yang dokter, tentara, pembisnis, dan lain-lain. Akan tetapi, saya tidak mau menjualnya, jawabnya dengan tegas ketika ditanya oleh kru Fajar mengenai lahannya tersebut menggunakan Bahasa Madura.

Pak Sahlan menambahkan bahwa pernah suatu ketika Bupati Sumenep. Dr. KH. A. Buysro Karim, M. Si., berniat membeli tanahnya itu dengan nominal 2 Miliar rupiah. Akan tetapi, beliau dengan tegas menolak tawaran dari siapa saja yang hendah membeli tanah, termasuk Kiai Buysro (sapaan akrap Bupati Sumenep), daripada dijual kepada orang lain, lebih baik dijual ke saya, begitu kata kiai Buysro menurut pengakuan Pak Sahlan. Tetapi saya tidak mau, takut dimiliki orang luar, capek, ungkap Pak Sahlan dengan menggunakan bahasa Madura.

Pak Sahlan menetap di sebuah Gazebo sederhana tepat di tengah-tengah lahan yang berjubel-jubel oksigen terbaik itu, tanpa peralatan yang mewah, sekadar ala kadarnya kehidupan di sebuah desa terpencil. Di samping kanan gubuk bambunya itu, terdapat sebuah kamar mandi biru muda yang dibangun dari dana bantuan pemerintah.

Tak ada bunga-bunga bermekaran di sana, hanya ada beberapa pot bunga yang yang konon katanya dibuat aleh para mahasiswa secara sukarela yang berasal dari Malang, entah siapa dan dari universitas apa.

Seandainya tidak diberitahu bahwa tempat itu adalah titik pusat oksigen berada, mungkin kita tidak kan menyangka bahwa tempat itu adalah tempat istimewa yang diburu para pelancong. Lahan itu seolah lahan biasa sebagaimana umumnya, tak ada tanda-tanda bahwa lahan milik Bapak Sahlan itu adalah tempat titik pusat oksigen, hanya ada spanduk lusuh dan plang kayu bercat hijau bertuliskan titik pusat oksigen berwarna putih.

Para kru Fajar masih bertanya-tanya, apa bedanya oksigen di sini dengan oksigen di tempat lain, toh sama-sama saja. Benarkah di tempat itu adalah titik pusat oksigen itu? Pertanyaan yang terus tergiang di kepala itu, bagaikan rasa dahaga tak berkesudahan di tenggorokan yang membutuhkan seteguk air untuk menawarkan rasa haus. Rasa dahaga itu baru sedikit terpenuhi manakala kru Fajar berkunjung ke rumah Jauhari, Pegawai Pokdarwis Sumenep, ia menyatakan bahwa titik pusat oksigen ada di lahan tertentu, tepatnya di lahan Pak Sahlan, sebenarnya bohong, tidak ada, ia ada dimana-mana. Menurutnya, oksigen terbaik kedua se-dunia itu ada di seluruh pulai Gili Iyang, asumsi yang mengatakan bahwa titik oksigen itu ada di selatan, itu semua bohong, oksigen terbaik itu ada di seluruh bagian Gili Iyang, dibuat begitu hanya saja supaya terpusat, orang mau ke Wisata oksigen bisa langsung ke situ, ke tempat itu, ungkapnya panjang lebar  kepada kru Fajar.

Menurut pegawai Pokdarwis ini, oksigen di Gili Iyang bisa berkualitas tinggi bukan sekadar karena banyaknya rimbunan pohon hijau, tetapi karena banyaknya gua di Gili Iyang. Gua-gua itulah yang membantu terciptanya oksigen dengan kualitas tinggi, dengan kadar oksigen terbaik kedua se-dunia setelah di Australia.

 Beberapa waktu lalu, ada menteri agama datang ke sini sambil meneliti keadaan Gili Iyang, setelah dilakukan penelitian, ternyata ada banyak rongga di pulau Gili Iyang. Ada 17 titik gua, artinya, udara masuk ke rongga goa kemudian terfilter, udara yang terfilter itu kemudian keluar ketika malam hari, begitulah paparan kronologis Bapak Jauhari mengenai terbentuknya partikel-partikel yang membentuk oksigen sesegar itu, lagi berkualitas tinggi.

Harapan Bapak Jauhari ke depannya adalah perekonomian masyarakat Gili Iyang terangkat, beliau atas nama Pokdarwis menyatakan siap menerima akan adanya invetor luar yang menginfestasikan uangnya untuk membangun Gili Iyang, bukan membangun di Gili Iyang, kalau membangun di Gili Iyang saya sangat tidak setuju, tetapi kalau keinginannya membangun Gili Iyang saya sangat menerima, ungkapnya. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tarekat Qadiriyah

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Pendidikan Sosial