Kenangan Serabutan 28
Foto: Pasir Hitam di Pantai Kotaraja Ende |
Hai, Tam. Apa kabar? Apakah kamu baik-baik saja tahun ini?
Hai, saya tidak tahu harus jawab bagaimana atas pertanyaan
singkat itu, kawan. Di usia saya yang ke-28 tahun kemarin saya banyak
mendapatkan pengalaman-pengalaman menarik di luar ekspektasi saya--sekarang umur saya sudah 29 tahun lebih beberapa hari. Sungguh
pengalaman yang indah. Saya banyak
mengunjungi tempat-tempat jauh yang membuat saya banyak belajar: Belitung, Flores,
Jakarta, Banten, Pacet, dan beberapa tempat lainnya.
Itu adalah tempat-tempat yang menakjubkan. Suatu tempat
menjadi menakjubkan bukan karena jaraknya yang jauh dari tempat asal kita
tetapi karena tempat itu benar-benar punya nilai yang menakjubkan.
Hei, apakah kali ini kita akan membahas cinta lagi?
Oke, baiklah. Kalau untuk perjalanan-perjalanan saya ke
berbagai tempat itu kamu bisa langsung baca laporan investigasi saya di website atau
kamu bisa baca cuplikannya di Instagram saya. Kamu tak perlu khawatir, di sana
kamu bakal mendapatkan banyak informasi berharga walau singkat.
Kita bicara perihal cinta saja, dalam satu tahun terakhir
ini kamu semakin tertutup bukan?
Hah, kamu tidak memberikan saya kesempatan untuk
bersenang-senang dengan bertanya ngotot seperti itu. Saya akan memperkenalkanmu kepada sepasang mata yang sulit
sekali saya lupakan. Saya ingin mengatakan ini kepadanya, kamu dengarkan saja.
Jangan banyak komentar!
***
Kulihat kembali matamu yang bersinar. Oh, itu seperti tata
surya yang kulihat dalam klip video singkat di ponselku. Dalam mata kecil itu
kumelihat gugusan bintang-bintang yang berbinar di berbagai sisi-sisi
kegelapan. Hah, aku jadi ingat perkataanmu, gelap tidak benar-benar ada, itu
hanyalah ketiadaan cahaya. Cahaya mana yang kamu curi lalu kamu letakkan dalam
kedalaman matamu?
Ingin aku rasanya menjadi Bima Sakti yang bisa tahu di manapun
bintang-bintang bercahaya di matamu. Atau planet-planet mati yang tidak ingin
kau ingat lagi keberadaannya, membiarkannya terjatuh, jauh, menjadi debu, lalu
menghilang begitu saja menjadi partikel-partikel lain yang entah dia akan
menjadi senyawa seperti apa lagi, bagaimana lagi, kapan lagi, dia akan
membentuk dirinya sendiri menjadi lebih berarti. Apakah mungkin dia akan menjadi partikel-partikel
mematikan seperti dalam proyek Manhattan? Aku tak peduli.
Aku hanya ingin menjadi bagian angkasa luas di kedua matamu.
Aku tetap ingin menjadi berarti di matamu, selamanya.
***
Apa-apaan itu, kamu hanya menceritakan mata yang tidak
jelas milik siapa. Siapa pemiliknya? Kenapa kamu ingin jadi galaksi Bima Sakti,
masih ratusan miliar galaksi lain di luar sana, woy. Kalau sepasang mata yang kamu elu-elukan itu berada di galaksi lain bagaimana? Sok akrab lagi, bilang
“aku-kamu”.
Saya tidak mengerti apakah kamu kritis atau goblok. Kita
hidup di planet bumi, kawan. Kita hidup di antara miliaran bintang dalam Bima Sakti, dia
juga makhluk bumi. Tahu apa kamu tentang galaksi. Masa iya dia hidup di galaksi
Andromeda, bagaimana saya akan melihat matanya, coba! Kalau dia hidup di
galaksi lain, seumur hidup pun saya tak akan bisa melihat mata yang indah itu.
Dasar kaum bumi datar!
Kamu perlu tahu, yang menawan darinya bukan hanya matanya, bibirnya
juga tidak kalah indah. Saya sering melihat bibirnya berulang-ulang. Bibir
atasnya seperti anak gunung dari kejauhan, mungkin seperti Rinjani. Sudut
bibirnya sedikit meliuk seperti kaki langit di lereng gunung. Sungguh
menakjubkan.
Ah, matanya, bibirnya, sungguh membuat saya tak bisa
mengingat mata dan bibir lain. Tidak ada perempuan lain selain dirinya yang
benar-benar melekat dalam ingatan saya. Kedipan dan senyumannya akan saya
kenang sepanjang usia. Kembalilah, kasih!
Ooh, "kembali" ya! Berarti kamu ditinggal? Hiss, kasihaaan. Kamu
mengobjektifikasi tubuh perempuan? Sadar, boy, dia bukan milikmu. Tubuhnya
miliknya, bukan milikmu.
Kamu tahu apa tentang feminisme, hah. Saya sudah baca
karya-karya Sandra Harding, Patricia Hill Collins, Donna Haraway, Gadis Arivia,
Fatima Mernissi, Amina Wadud, Musdah Mulia, Haideh Moghissi, Linda Alcoff, Alison
M Jaggar. Kamu anak kemarin sore mau ngajari saja tentang feminisme. Kosmologi
tidak tahu, kajian feminisme juga gendeng.
Kamu bacalah itu buku Dari Kosmologi ke Dialog karya
Karlina Supelli sebagai pengantar belajar kosmologi. Atau buku karya-karya Richard Dawkins, Stephen
Hawking, atau Sean Carroll biar kamu lebih cerdas sedikit. Kamu juga perlu baca
buku Filsafat Berspektif Feminis karya Gadis Arivia biar tahu peta-peta awal
pemikiran-pemikiran kaum feminis atau Simone de Beauvoir, deh. Kalau masih
terlalu berat, baca novel Nawal El Saadawi, dah.
Jujur saja, ada beberapa pandangan feminis yang saya tidak
setuju. Supaya pikiranmu tidak nyungsep tentang feminisme, saya pikir kamu
perlu baca buku “Akhir Pejantan Dunia” karya Ester Lianawati.
Alah, booos, bos. Sok-sok-an nyebutin nama-nama tokoh
terkenal. Saya tidak yakin kamu baca semua itu, baca pun belum tentu kamu banyak
mengerti, apalagi semuanya. Modal nama orang dan judul buku saja sudah belagu.
Hahaha. Kamu kadang memang lebih paham saya dari saya sendiri, sepurane, cak. Kamu boleh tidak percaya pada saya tentang nama-nama orang itu dan pemikirannya, tapi kamu harus percaya bahwa saya selalu mencintai pemilik sepasang mata dan bibir itu. Ingat, “pemilik sepasang mata dan bibir” bukan mata dan bibirnya saja.
25-30 September 2024 17.25
Komentar
Posting Komentar