Sefnat Sailana, Pendeta Pengkhotbah Lingkungan dari Timur

Pdt. (emeritus) Sefnat Sailana di taman rumahnya. Foto: Moh. Tamimi

Oleh: Moh. Tamimi (Alor, NTT)

Sefnat Sailana dan saya menyusuri hutan gereja di Kelaisi Timur, Alor Selatan. Seekor anjing putih jantan milik Sefnat yang bernama Liklat selalu membuntuti kami meski beberapa kali kami usir. Sambil mengunyah pinang dan menyanggul golok di pinggangnya, Sefnat menunjukkan jenis-jenis pohon di hutan gereja dan beberapa tanaman pangan di kebun kemakmuran milik gereja yang dia tanam dengan para jamaatnya kepada saya.

Sefnat adalah pendeta yang baru saja pensiun (emeritus) pada awal tahun 2023. Dia pernah menjadi ketua Klasis Alor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), periode tahun 2001-2011 dan 2015-2023. Hutan gereja dan kebun kemakmuran adalah program Sefnat Sailana sejak menjadi ketua klasis, berawal dari keresahannya terhadap keberlangsungan hutan di daerahnya.

Emeritus pendeta protestan itu kini tinggal di Kelurahan Kelaisi Timur, Alor Selatan, Alor, Nusa Tenggara Timur. Dia banyak melakukan aksi-aksi penyelamatan dan perawatan lingkungan dari balik gereja sejak dia aktif jadi pendeta sampai pensiun.

Awalnya dia merasa gelisah melihat warga di sekitarnya banyak menebang pohon untuk berbagai keperluan, baik sebagai rumah maupun gereja, sedang warga yang menanam pohon tidak sebanyak yang menebang.

"Waktu itu saya terinspirasi ketika kita bikin rumah gereja, kita tebang pohon. Ketika kita bikin rumah jabatan gereja, kita tebang pohon, warga pun tebang pohon. Nah, pertanyaannya, 'Berapa yang kita tanam?' Akhirnya terinspirasi, lebih baik kita buat hutan gereja. Sehingga, ya kita jangan hanya tebang tapi kita juga tanam," kata Sefnat pada 11 November.

Sejak saat itu dia berkomitmen untuk terus menghijaukan daerahnya dengan menanam pohon sebanyak-banyaknya. Saat hendak memberikan pelayanan kepada jemaat, dari rumah ke rumah atau dari gereja ke gereja, Sefnat berjalan kaki sambil membawa bibit pohon untuk ditanam di sepanjang jalan yang dia lewati. Dia terbiasa melakukan hal semacam itu, bahkan pernah sampai empat hari jalan kaki, istirahat di jalan, karena awal tahun 2000-an tidak ada motor di sana.

“Hutan gereja itu hanya sebagai contoh. Jadi, kita fokusnya adalah kalau bisa setiap orang mesti punya hutan,” jelas Sefnat.

Bukan hanya Sefnat seorang diri, anak-istrinya pun terlibat dalam gerakan itu.

“Dulu itu, bapak masih ketua klasis ... kalau mau pergi ke jemaat mana gitu, itu sudah siap memang anakan (bibit pohon, red), jadi pergi ke sana, tanam di sana, (jalan, red) sambil menanam,” kata Yublina Asadama, istri Sefnat. Sabtu, 11 November.

Bukan hanya menanam di sepanjang jalan, Yublina Asadama–biasa dipanggil Mama Opi–bilang suaminya itu melarang keluarganya membunuh atau menyakiti hewan-hewan yang ditemui di tengah jalan, semisal ular. Ular juga ciptaan Tuhan, bagian dari alam yang harus dilindungi, meskipun dalam kepercayaan di sana ular direpresentasikan sebagai jelmaan setan. Sefnat tidak berpikir seperti itu. Menurutnya setan ada dalam diri manusia.

Sempat terpikir di benak mama Opi bahwa suaminya bekerja terlalu keras sehingga terkadang kurang memperhatikan kesehatannya.

Akan tetapi, bagi Sefnat, dia harus memberikan teladan kepada para jemaat bukan sekadar khutbah di atas mimbar gereja, bekerja bersama dengan para jamaat. Sefnat mengajarkan para jemaat untuk tanam pohon apa saja. Dia selalu bilang kepada jemaat, kalau lingkungan kita baik, maka hidup kita baik.

Sedikit demi sedikit warga mendapatkan manfaat atas gerakan yang dilakukan oleh Sefnat.

“Beliau ini, bapak pendeta ini, ajar kami jamaat itu. Semua tanaman harus tanam, air saja harus tanam…. Jadi, ini air tidak sulit dicari,” kata Immanuel Onlet, Jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Bethel Katang, saat ditemui di gereja seusai ibadah. Minggu, 12 November.

“Beliau suruh kami tanam. Beliau sama-sama, bukan hanya omong saja, beliau tanam ya kita tanam. Jadi, rumput di jalan itu ditanam,” tambahnya.

Immanuel Onlet bilang tanaman-tanaman itu menjadi saksi atas kekonsistenan Sefnat dalam melakukan penghijauan di hutan-hutan dan kebun-kebun.

Pemahaman dan perilaku masyarakat Alor mulai berubah terkait lingkungan, khususnya para jemaat. Mereka mulai meninggalkan sistem “ladang pindah” dalam bertani, petani membakar hutan atau sebagian bukit di Alor untuk dijadikan lahan pertanian, setelah ditanam dan selesai dipanen, ladang itu ditinggalkan begitu saja menjadi lahan tidur. Ketika ingin bertani lagi, mereka membakar hutan lagi dan ditinggalkan lagi seusai panen, begitu seterusnya.

Sistem “ladang pindah” seperti itu mulai ditinggalkan karena mereka sadar bahwa itu tidak berkelanjutan. Mereka mulai menggunakan lahan permanen, sedangkan lahan-lahan yang telah dibakar itu ditanami pohon kembali.

“Dampaknya itu, kebiasaan orang untuk membakar hutan itu sudah, khusus untuk jemaat sini itu, sudah tidak ada. Kebiasaan untuk ladang berpindah itu sudah tidak ada. Jadi ada pemahaman, peningkatan pemahaman, untuk bisa berpikir tentang masa depan,” Immanuel Langmao, jemaat GMIT Ebenhaezer Apui. Senin, 13 November.

Para warga jemaat diarahkan untuk tanam pohon-pohon yang berusia panjang, seperti pohon kemiri. Selain bagus untuk konservasi lingkungan juga menghasilkan uang. Kemiri sudah menjadi salah komoditas unggulan di Alor.

“Sehingga (ketika, red) kemiri sudah jadi, tidak mungkin orang potong lagi. Sekaligus, kemiri juga kan seperti mas lihat, pohonnya besar, itu kan juga konservasi alam,” kata Sefnat yang disetujui oleh para jemaat GMIT Ebenhaezer Apui yang duduk dengan kami saat itu pada 13 November.

Saat ini, gereja se-Klasis Alor Tengah Selatan telah punya sekitar 30 ha kebun gereja dan 60 ha kebun kemakmuran. Setiap gereja memiliki luas hutan dan kebun berbeda-beda, ada satu gereja yang punya 3-4 kebun dan 2-3 hutan. Luasan ini bukan ukuran pasti karena satu kebun atau hutan biasanya satu/sebagian lereng bukit. Satu lereng bukit diasumsikan 1 ha oleh mereka.

Kini, kata Sefnat, 20-30 tahun ke depan gereja tidak akan kekurangan kayu bila ingin bangun gereja atau rumah dinas para pelayan jemaat dengan syarat keberlangsungan hutan harus terus dijaga: tebang pilih dan tebang tanam. Warga atau pihak gereja yang tebang pohon harus tanam pohon lebih banyak daripada yang ditebang.

Dia menggalakkan kampanye “Telah Kutemukan Eden yang Hilang” dalam mengkonservasi hutan untuk menggambarkan bahwa menjaga hutan berarti telah menjaga Eden yang hilang dalam kepercayaan Kristen Protestan. Dia mengadopsi frase-frase dalam Al-Kitab supaya istilah-istilah yang dipakainya mudah diterima dan dipahami oleh para warga jemaat. Itu pula alasan dia tidak menggunakan istilah populer dalam masyarakat modern, semisal Eco-Gereja. 

Langit mulai memerah di ufuk barat. Kami keluar hutan gereja melewati perkampungan warga. Sebagian besar rumah warga terbuat dari papan. Kami melihat sebuah rumah terbuat dari dinding bata yang sebagian roboh karena terkena gempa. Kata Sefnat, daerah Alor rawan gempa, sehingga rumah papan menjadi alternatif untuk mengantisipasi gempa.

Rumah-rumah di perkampungan Keleasi Timur itu dipagari pohon-pohon yang potong rapi. Di sepanjang jalan banyak terdapat tempat sampah dari bambu. Kami berdua kerap dipanggil warga untuk mampir ke rumah mereka. “Bai, mampir dulu ko,” kata warga pada Sefnat. Bai adalah panggilan untuk orang yang dituakan.

Sefnat bilang, awalnya banyak warga menggunakan pagar bambu di rumah mereka tetapi Sefnat sering menghimbau kepada warga untuk menggunakan “pagar hidup,” pagar rumah yang menggunakan tanaman hidup. Selain lebih asri, menggunakan pagar hidup biayanya lebih murah daripada menggunakan pagar bambu karena potong bambu dan pakai paku, juga tahan gempa.

“Kita tanam pagar hidup. Kalau di sini, kan, mereka mau bikin pagar, pagar mati, tapi potong kayu, bambu, musti paku, musti cat, costnya tinggi, dan tidak ramah lingkungan sehingga lebih baik kita tanam pagar hidup,” kata Sefnat pada saya di kesempatan lain, 12 November.

Sefnat pernah menanyai warga, berapa kayu yang mereka butuhkan untuk membuat membuat pagar rumah. Katanya, setidaknya mereka tebang 5-6 pohon untuk buat pagar rumah, belum lagi bambu. Bagi Sefnat, penebangan pohon untuk pagar rumah itu sama halnya dengan ikut menggunduli hutan.

Selain pagar hidup, dia juga menganjurkan kepada jemaat untuk menanam bunga di halaman rumah supaya lebih asri dan indah, paling tidak dalam satu rumah terdapat dua pohon bunga kertas atau bougenville (bougainvillea). Sehingga ketika ada orang berkunjung ke rumah itu, bunga-bunga itu akan menyapa orang tersebut lebih dahulu kendati si tuan rumah masih ada di belakang atau tidak ada di rumah. Bunga-bunga itu akan memberikan “senyuman” kepada mereka yang datang ke rumah itu.

Saat Sefnat dipindah tugaskan ke gereja lain sebagai pendeta, hal pertama yang dia sampaikan kepada jemaat bukan tentang hal-hal religius, hubungan dengan Tuhan atau janji-janji tentang kehidupan akhirat, tetapi tentang lingkungan, melindungi satwa dan anjuran untuk menanam pohon.

“Sampai lingkungan ini (saat beliau datang, red), jadi kami (beri, red) gelar itu, orang-orang bilang begini, ‘Itu pendeta, itu pendeta pertanian.’ Nah, sekarang baru paham bahwa memang pendeta itu, salah satunya itu, itu tugasnya,” ungkap Yahya Sabila saat ditemui di belakang gereja Mahanaim Maipiy pada 12 November.

Air Gereja

Tempat tugas Sefnat sebagai pendeta di Alor pertama kali adalah di GMIT Ebenhaezer Apui. Dia dipindahkah dari Rote ke Alor pada tahun 1999 setelah mengabdi di sana selama lima tahun (sejak 1994). Sefnat dihadapkan pada daerah yang sulit air.

Para warga harus berjalan kaki dari rumah ke sumber air untuk mengambil air menggunakan bambu air, seruas bambu berukuran besar yang digunakan sebagai tempat penyimpanan air yang diberi dua lubang kecil di salah satu ujungnya dan dipasang tali sebagai pengait untuk digendong atau dikaitkan ke kepala (dari dahi depan ke belakang).

Medan yang harus ditempuh warga pun berbeda-beda, ada yang harus naik bukit, ada pula yang harus turun bukit, untuk bisa mengakses air bersih. Mereka biasa mengambil air pagi dan sore, sekaligus mandi di sumber air.

“Jauh. Bukan pakai motor, mas, bukan naik sandal juga,” kata Immanuel Langmao, jemaat GMIT Ebenhaezer Apui, disambut tawa orang-orang yang duduk di sekitarnya, pada 13 November.

Sejak saat itu Sefnat mulai menginventarisir sumber air yang ada di Alor Selatan. Dia mendata seluruh sumber, rinci dengan kondisi sungai serta debit airnya. Dia membuat kategori sungai dengan debit kecil, sedang, dan besar.

Setelah selesai mengidentifikasi, dia membuat saluran air dari sumber air yang berada di atas bukit ke lokasi gereja Ebenhaezer Apui. Air ditampung di sana. Terdapat penampungan air yang digali ke dalam tanah dengan volume 4x4x4 meter. Tempat penampung air Apui digali ke dalam tanah juga karena untuk mengantisipasi gempa.

Penyaluran air tidak menggunakan tenaga mesin, dia dialirkan secara natural lewat pipa karena sumber air berada di tempat tinggi. Dari tempat penampungan gereja ini kemudian air disalurkan kepada warga yang membutuhkan. Warga yang dikenakan sumbangan perawatan Rp. 1000 per meter kubik.

“Kami mempergunakan kearifan-kearifan lokal yang masih relevan untuk mengelola ini apa air ... mata air kita jaga,” jelas Sefnat.

Berbeda dengan di GMIT Ebenhaezer Apui, sumber air yang ada di daerah jemaat GMIT Mahanaim Maipiy berada di bawah bukit, sehingga air harus dipompa ke atas bukit dahulu baru disalurkan ke warga. Sedangkan tempat penampungannya tidak digali ke dalam tanah sebagaimana di Apui, tapi bikin bangunan persegi empat yang dicor dan bagian dalamnya dikeramik.

Sumber tenaga untuk penggerak pompa air menggunakan tenaga matahari (solar sel) sehingga lebih ramah lingkungan dan lebih simple. Pengelolaan air di gereja ini ditangani oleh pemerintah desa/kelurahan, tetapi idenya juga dari pihak gereja yang diinisiasi oleh Sefnat.

Tidak sekadar mengalirkan air dari sumber air ke gereja. Sefnat juga membuat sumur resapan dan tempat tangkapan (jebakan) air hujan. Di gereja-gereja yang ada di Klasis Alor Tengah Selatan dibuatkan sumur resapan. Demikian pula di rumah para jemaat, mereka dianjurkan untuk membuat sumur resapan di sekitar rumahnya. Di GMIT Mahanaim Maipiy terdapat tiga jebakan air hujan yang berada di sebelah kiri gereja.

“Dulu kan kita berpikir, ya ini kalau kita tidak kreatif mengelola air hujan, maka lambat atau cepat, secara sadar kita mewariskan air mata penderitaan kepada anak cucu,” kata Sefnat pada 13 November.

“Kita di rumah hampir semua tanam air, ada semua di setiap rumah. Jadi, halaman hampir semua sudah ada,” tegas Yahya Sabila.

Sedangkan di daerah aliran sumber mata air dan di bahu-bahu sungai ditanami pohon-pohon untuk terus menjaga kelestarian sumber mata air. Warga juga dilarang menggunakan potas di sungai dalam menangkap ikan karena itu akan merusak habitat ikan dan alam.

Sampai saat ini air gereja itu masih terus berfungsi dan melayani warga, bahkan sampai kantor pemerintah. Setidaknya ada 49 pelanggan air gereja sampai wawancara liputan ini dilakukan.

Penyaluran air diatur sesuai dengan ketersediaan air di tempat penampungan. Bila air banyak seperti musim hujan, air bisa disalurkan dua kali sehari, pagi dan sore, bakan sepanjang hari, tetapi bila musim kemarau air hanya disalurkan pagi saja dari pukul 6 sampai pukul 7 WITA.

“Tergantung ketersediaan air di bak penampung. Kalau cukup, sore ada jalan lagi satu jam, tapi kalau tidak, tidak cukup, kami tidak kasih jalan lagi,” kata Herlia Langmao, pengurus air gereja GMIT Ebenhaezer Apui.

Pihak gereja mengaku akan terus menerus berusaha untuk melayani dengan lebih baik setiap waktunya. Immanuel Langmao bilang meskipun sistem pelayanan air yang ada sekarang sudah cukup baik tetapi itu belum sepenuhnya maksimal, mereka ingin lebih baik lagi.

Ritual perayaan

“Kita berusaha berteologi secara kontekstual,” tegas mantan pendeta yang telah melayani jemaat selama 29 tahun itu.

Ketika merayakan berbagai ritual, baik ritual agama maupun sosial, Sefnat mengajak para warga dan para jemaatnya untuk merayakannya dengan perayaan yang kontekstual dan bermanfaat untuk lingkungan.

Semisal ada acara nikahan, para mempelai setidaknya diberi dua buah bibit pohon untuk ditanam dan dirawat. Demikian juga bila ada jemaatnya yang lahiran, berulang tahun, dirayakan dengan menanam pohon.

“Itu kegiatan, pokoknya ulang tahun anak-anak tidak pernah kita bikin pesta-pesta. Itu hanya untuk tanam,” kata mama Opi.

Sefnat juga tidak jarang berkhutbah tengah hutan atau daerah aliran sungai untuk para jemaatnya. Bila hari peringatan lingkungan tertentu dia akan berkhutbah dengan tema lingkungan itu, semisal saat hari hutan atau hari air.

Bila memperingati hari hutan, dia akan berkhutbah di atas mezbah yang dibuat menggunakan tumpukan batu dan tanah di tengah hutan tentang hutan, dilanjutkan dengan aksi menanam pohon. Demikian pula bila hari air, dia akan berkhutbah di sekitar aliran sungai sambil melakukan aksi, baik menanam pohon atau membersihkan sampah di sungai sebagai langkah konservasi.

“Kerja kita adalah khutbah yang hidup. Jadi apa yang kita khutbahkan, itu yang kita lakukan. Jadi kata dan perbuatan harus sama,” tegas alumnus Fakultas Teologi, Universitas Artha Wacana, Kupang, tersebut.

Ketika merayakan hari Natal, menginisiasi konsep yang berbeda dari biasanya. Hari natal biasa dirayakan dengan membuat pohon natal, baik dari pohon beneran maupun pohon plastik yang diproduksi oleh industri.

Saat perayaan natal, para jemaat diminta untuk membuat pohon natal dari pohon kecil yang masih hidup lengkap dengan potnya/polybag lalu dihias sebagaimana biasa. Sehabis perayaan natal, keesokan harinya tanaman yang jadi pohon natal itu ditanam di kebun atau di pekarangan sendiri, sehingga perayaan natal tidak banyak meninggalkan sampah plastik, tetapi semakin menghijaukan bumi.

“Sehingga habis natal kita tanam di kebun, di hutan gereja atau kebun kemakmuran. Sehingga betul-betul natalnya bermakna,” jelas Sefnat.

Sefnat beralasan bahwa Kristus datang juga untuk menebus alam semesta, bukan hanya manusia. Selain itu, dia bilang penggunaan pohon natal plastik yang dibeli di toko hanya akan memperkaya konglomerat yang menjalankan bisnis itu.

“Dari sisi lingkungan kan dia berdampak sekali,” tegasnya.

Iklim dan pangan

Beberapa tahun terakhir di wilayah Alor merasakan dampak dari ketidakmenentuan iklim, tiba-tiba hujan terus menerus, tiba-tiba lagi kemarau panjang, sehingga buat panen gagal.

“2016 itu terjadi gagal tumbuh, bibit sudah tanam, tapi karena panas berkepanjangan akhirnya bibit rusak di dalam tanah.”

Di sisi lain, Sefnat bilang bahwa bantuan pemerintah berupa beras membuat warga malas untuk bekerja, bertani. Mereka mengandalkan beras dari pemerintah. Padahal, menurutnya, mereka tidak bisa terus bergantung kepada pemerintah seperti itu, apalagi ketika dihadapkan pada situasi darurat, seperti gelombang tinggi di laut sehingga mengganggu pendistribusian beras dari jawa. Tahun 2021, Alor terkena bencana siklon tropis seroja, warga Alor menyebutnya badai seroja, yang menyebabkan 28 orang meninggal dunia dan 13 orang dinyatakan hilang.

“Beras itu lebih banyak mereka beli di pasar. Tapi biasanya saya ingatkan, kita ini kabupaten kepulauan. Jadi, kalau misalnya kapal sampai mau masuk ke Kalabahi terus tenggelam, kita tidak mungkin dapat beras. Yang lain hal dengan kabupaten yang satu daratan, biar dia oto (mobil, red) terbalik orang masih bisa ambil berasnya,” jelas Sefnat.

Mereka biasa tidak hanya makan beras padi yang didatangkan dari Jawa. Sefnat menekankan kepada warga, meski punya uang, mereka harus tetap bertani. Keragaman pangan di sana mudah ditemui, mulai dari umbi-umbian sampai beras lokal. Porang pun banyak tumbuh liar di hutan-hutan, tetapi karena warga tahu porang punya nilai ekonomis, akhirnya dibudidayakan.

“Itu biasa berton-ton bawa dari sini ke Jawa ... bibitnya, untuk dibudidayakan di Jawa,” kata Milkiur Maufa, Sekretaris Kelurahan Kelaisi Timur. Minggu, 12 November.

Pendidikan lingkungan

Usaha-usaha pendidikan juga diinisiasi oleh Sefnat Sailana. Dia mengajarkan, memberi contoh, dan membiasakan anak-anak untuk peduli terhadap lingkungan sekitarnya sejak dini. Semisal dia selalu mengajak anak-anak untuk membiasakan diri untuk memungut sampah sebelum beribadah.

“Jadi kita untuk anak-anak sekolah minggu, tiap kali mereka berkumpul untuk ibadah, sekitar tiga menit dimanfaatkan untuk istilahnya gerakan semut. Mereka disuruh pilih sampah di sekitar lokasi ibadah. Ini saya bilang, ini kita menanamkan nilai kepada anak-anak,” kata Sefnat.

Sefnat sendiri tidak membuang sampah sembarangan. Bila dia punya sampah saat di perjalanan, dia akan menyimpan sampahnya di sakunya sampai dia menemukan tempat sampah

“Ini bukan hanya sekadar sebuah etika, tetapi sudah menjadi etos,” tambah Sefnat.

Perilaku seperti ini sudah menjadi kebiasaan warga di sana. Ketika kami melewati perkampungan, lorong-lorong kecil maupun besar, semua bersih dan asri. Bila Sefnat melihat sampah di jalan saat kami jalan bersama, dia tidak ragu memungut sampah itu dan dibuang ke tempat sampah.

“Kalau masuk ke sini, kadang orang yang baru datang mungkin berpikir, mungkin karena ada tamu jadi kami ini, pengumuman pembersihan. Tidak. Itu sudah menjadi kebiasaan yang harus kita perbuat,” kata Mertin Maisal, Sekretaris GMIT Bethel Katang, pada 12 November.

Mertin bilang, meski orang-orang timur kerap mendapat stigma negatif karena kulit berwarna, jelek, orang pedalaman, tapi mereka punya gaya hidup yang bersih, lebih bersih dari kebanyakan kota besar.

“Kami orang di gunung, kadang sempat pikir begini, kita orang lihat kami, orang bilang, mukanya culas atau jelek tapi ketika kita pergi ke kota, lihat sampah plastik saja kita sudah suka perut tiba-tiba kembung karena kita sudah biasa di alam yang bersih. Orang yang tertib dengan apa ini sampah-sampah plastik,” tegas Mertin Maisal. Minggu, 12 November.

Bulan November gereja jadikan bulan lingkungan, sehingga tema khutbah dalam ibadah setiap hari minggu adalah lingkungan selama satu bulan penuh. Saya menyaksikan langsung khutbah mereka pada hari minggu, 12 November 2023, yang disampaikan oleh Pendeta Julia Maria Lalep, Ketua Majelis Jemaat Gereja Masehi Injili di Timur (GMIT) Bethel Katang, Kelaisi Timur, Alor Selatan.

Sefnat juga pernah menginisiasi jambore lingkungan hidup dan berhasil terlaksana dua kali pada tahun 2016 dan 2017. Pesertanya adalah anak-anak di umur 11 tahun ke bawah yang didelegasikan oleh setiap gereja se-Klasis Alor Tengah Selatan. 

Jambore dilakukan selama tiga hari. Kegiatannya berupa jelajah alam, nonton film bertema lingkungan, dan aksi tanam pohon.

 Saat melakukan jelajah alam, setiap regu diperintahkan untuk menemukan sahabat alam mereka, mereka diperintahkan untuk merenungi sahabat alam mereka itu. Bila itu tumbuhan, mereka akan mengitarinya, merenungkannya, lalu mendoakannya.

“Diakhiri dengan janji dan komitmen bahwa mereka akan memelihara alam dan lingkungan dimana mereka berada,” tambah Sefnat Sailana.

Sedangkan film yang mereka tonton biasanya adalah Diego dan Alicia (Diego and Alicia Save the Otters) yang menceritakan dua saudara yang selalu memantau hewan-hewan dengan kameranya. Bila ada hewan yang sakit, jatuh, atau butuh pertolongan, mereka berdua akan segera memberi pertolongan pada hewan itu.

Adanya jambore ini diharapkan bisa memberikan pelajaran dan pemahaman kepada anak-anak bahwa mereka tidak hidup sendiri di dunia ini, ada alam yang berupa pohon, hewan-hewan, dan sungai-sungai dalam hidup mereka yang harus mereka jaga. Cinta alam alam adalah salah satu wujud cinta Tuhan.

Sefnat pernah mendapatkan penghargaan NTT Academia Award pada tahun 2010 dan penghargaan sebagai pengelola lingkungan hidup dengan kategori pembina lingkungan hidup dari Gubernur Nusa Tenggara Timur pada tahun berikutnya sebagai apresiasi atas kerja-kerjanya menjaga dan memperjuangkan lingkungan hidup.

Beberapa kali dia mendapat tawaran untuk menjadi pelayan (pendeta) di gereja yang terletak di kota, tetapi dia selalu menolak tawaran itu karena baginya melakukan pelayan di kota terlalu monoton. Dia merasa lebih senang melakukan pelayanan di pedalaman, bergerak bersama warga melakukan aksi-aksi sosial-lingkungan seperti yang selama ini dia lakukan.

Kontekstualisasi agama terhadap isu lingkungan

Hening Purwati Parlan, Direktur Eco Bhineka Muhammadiyah, bilang bahwa Sefnat Sailana pantas diusulkan untuk mendapatkan penghargaan Kalpataru tingkat nasional karena dia berhasil mengkontekstualisasikan ajaran agama menjadi gerakan lingkungan sebagaimana yang Sefnat lakukan selama ini. 

Menurutnya, selama ini diskursus agama yang berkembang jarang menyasar isu lingkungan tetapi lebih banyak menyasar isu radikalisme, spiritualitas ketuhanan, dan moderasi keberagamaan. Padahal isu lingkungan tidak kalah penting mendapatkan porsi perhatian yang cukup dari sudut pandang agama.

“Sehingga yang namanya agama itu adalah menjadi barisan cinta kasih, barisan cinta kasih terhadap sesama, terhadap alam semesta dan terhadap semua biodiversity ciptaan Tuhan,” kata Hening pada saya. Senin, 20 November.

Hening bilang, dalam Islam manusia diturunkan ke muka bumi untuk menjadi khalifah fil al-ardi (pemimpin di muka bumi). Seharusnya manusia menjaga dan mengelola alam dengan baik, bukan mengeksploitasinya secara membabi buta. Alam perlu ditempatkan sebagai anugerah Tuhan yang perlu dirawat dan dikelola dengan baik untuk beribadah kepada Tuhan.

Eco Bhinneka Muhammadiyah dan Ashoka bekerja sama dalam program Spiritual Changemaker Initiatives (SICI) untuk menemukan dan mendukung pemimpin agama seperti Sefnat Sailana yang melakukan gerakan lingkungan, dengan harapan supaya semakin banyak kaum beriman yang melindungi alam  dan memahami bahwa menjaga dan merawat alam adalah bagian dari iman.

Umat beragama perlu menjadikan agama sebagai panduan hidup untuk menyelamatkan bumi, manusia, dan masa depan keduanya. Bagi Hening, menjadi bahaya ketika manusia tidak menganggap dirinya punya tugas untuk menjaga alam.

“Salahnya adalah ketika kita tidak menganggap bahwa alam itu adalah bagian dari tanggung jawab manusia. Kita melihatnya alam adalah sesuatu yang bisa dieksploitasi tiada henti,” tegas Hening.

Teks-teks agama perlu ditafsirkan secara kontekstual dan bisa diaplikasikan dalam kehidupan, salah satunya dalam isu lingkungan hidup. Hening bilang, kelompok agama sudah lama tidak dilibatkan secara langsung dalam urusan lingkungan. Padahal, bagaimana manusia bisa beribadah dengan baik bila lingkungan rusak.

Di satu sisi Indonesia selalu dicitrakan sebagai surga dunia, zamrud khatulistiwa yang begitu kaya akan kekayaan alamnya. Sayangnya, kekayaan itu bukan dikelola dengan baik tapi dikeruk habis-habisan sampai merusak alam yang lestari ini.

“Kita itu terlena dengan semua hal itu dan tidak sadar bahwa semua itu ada ukurannya, bahwa semua sumber daya alam itu terbatas.”

 

Keterangan 1: Liputan ini didukung oleh program Spiritual Changemaker Initiatives dari Ashoka.

Keterangan 2: Tulisan ini adalah versi awal dari tulisan yang dimuat di Mongabay Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tarekat Qadiriyah

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Pendidikan Sosial