Refleksi Kehidupan Tahun 2023
Old Telephone: Bahagialah menjadi dirimu sendiri. |
Malang, 27 Desember 2023.
Saya baru sampai Kota Malang tadi pagi. Saya punya satu jadwal kuliah hari ini. Saya berencana untuk merayakan tahun baru di kota ini. Semakin lama, saya semakin betah di Malang, suka cuacanya yang dingin, walau kata sebagian teman, Malang sebenarnya sudah semakin panas.
Saya menginjakkan kaki pertama kali di Tanah Singasari ini pada tahun 2016, acara Memo Anti Terorisme dan sekarang tinggal di sini (kost) sejak tahun lalu (2022) karena kuliah.
Saat memutuskan untuk menetap di Malang selama masa kuliah, saya punya beberapa keinginan yang ingin saya kerjakan di kota ini, di antaranya adalah mengunjungi semua candi se-Malang Raya dan menyelesaikan satu novel. Sayangnya, tidak ada yang saya selesaikan sampai saat ini.
Saya hanya akan lebih banyak cerita tentang kehidupan saya di tahun 2023 saja.
Ada tiga fase kehidupan yang saya jalani di Malang sepanjang satu tahun ini. Fase pertama adalah fase jatuh cinta. Sebenarnya fase ini adalah fase lanjutan dari tahun sebelumnya. Saya merasa jatuh cinta pada seseorang, berbunga-bunga rasanya, sampai bunga-bunga itu kubawa terbang ke tengah-tengah miliaran bintang di angkasa raya. Fase ini tidak berlangsung lama di tahun ini, 3 bulan. Selanjutnya akan masuk pada fase kebosanan.
Akan tetapi, ada banyak pelajaran yang bisa saya petik dalam perjalanan hidup yang begitu singkat ini. Saya pikir, dalam beberapa kesempatan saya membuang-buang waktu, tapi di satu sisi yang lain bukan membuang waktu. Saya bilang membuang waktu karena terkadang saya sudah duduk di depan laptop ingin mengerjakan tugas, baru saja menulis sudah ada chat yang membuatku kegirangan untuk membalasnya. Saya harus selalu ada, begitu pikir saya waktu itu.
Ketika saya telaah lebih mendalam berbulan-bulan sesudahnya. Oh, ternyata bukan seperti itu yang dimaksud dengan selalu ada, tapi membuat waktu yang sedikit, yang serba terbatas, menjadi berkualitas. Bisa saja kita dengan orang tertentu bertemu beberapa jam saja setelah sekian minggu atau bulan, tapi pertemuan kita bisa berkualitas, punya manfaat, meski hanya berguyon. Guyon sangat bermanfaat terhadap kesehatan mental. Menjadi ada bila benar-benar dibutuhkan. Menjadi selalu ada secara tekstual bisa terjebak pada toxic.
Hanya saja, perubahan drastis seringkali membuat frustasi, tidak bisa terima, karena waktu itu saya masih belum terlatih terhadap perubahan semacam itu. Sedangkan saya masih belum beradaptasi dengan baik di kota baru ini. Saya belum menemukan teman-teman yang tepat untuk bersosialisasi. Teman-teman kelas saya mayoritas adalah bapak-bapak dan mereka pulang ke rumah masing-masing. Saya jadi menyalahkan lingkungan, kadang diri sendiri. Ini tidak baik.
Fase kedua, fase patah hati. Patah hati menjadi suatu hal yang wajar, umumnya membuat seseorang kebingungan menghadapinya, mulai merasa putus asa, menyalahkan diri sendiri, atau orang lain, dan emosi yang berlebihan. Saya pun merasakan hal-hal seperti itu, tapi saya masih punya harapan, saya masih punya pelarian dan jalan aspal untuk berjalan kaki sejauh mungkin.
Beberapa kali saya jalan kaki sejauh 10 km sambil nge-overthinking di perjalanan, memikirkan banyak hal, kadang salah satu jari kaki saya sampai mengembang. Ketika berjalan kaki, emosi yang berlebihan biasanya berangsung-angsur mereda. Hanya saja, ketika sampai kosan dan diam sendirian di kamar, pikiran-pikiran yang memancing emosi itu mulai timbul kembali.
Saya merawat tanaman di belakang kosan, juga tak kalah sering membaca buku atau jurnal sampai pinggang sakit, berbaring sebentar, baca lagi, ujung-ujungnya kurang banyak mengerti atau timbul banyak pertanyaan lebih lanjut tentang materi tulisan, kadang mencarinya lebih lama daripada membacanya. Beberapa kali pinggang saya seperti lebam atau memang lebam, sakit.
Saya tinggal di sebuah rusun mahasiswa milik kampus yang penghuninya mayoritas orang luar negeri, Afrika atau Timur Tengah. Kami jarang sekali berkomunikasi kecuali sebatas say hello dan tanya bagaimana keadaan di negeri mereka yang tengah berkecamuk perang. Bila pembahasan mulai semakin intim, biasanya saya mulai tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, pakai bahasa Arab atau Inggris. Sehingga pertemuan kami singkat-singkat.
Untung saja, saya bertemu teman lama yang mau saya ajak ngekos bareng dengan saya. Katanya dia tengah mengerjakan skripsinya, sebenarnya dia sudah lebih 14 semester tapi masih disiasati oleh dosennya. Kami banyak bercerita, terutama saya tentang kisah hidup saya. Setelah kami tidak lagi tinggal satu kamar, saya meminta dia mereview kebersamaan kami selama beberapa bulan. Dia bilang, dia menjadi lebih tertib ketika tinggal dengan saya, tetapi dia mendapatkan aura negatif karena cerita per-galauan saya, tertib makan, ibadah, sampah rapi-rapi kamar. Saya pikir saya tidak terlalu rapi ketimbang orang-orang yang sangat rapi yang pernah saya temui, tapi saya tidak bisa melihat barang-barang terlalu berantakan.
Saya banyak berdiskusi dengan teman saya itu tentang banyak hal seputar keilmuan yang kami miliki, saat-saat tertentu bicara percintaan. Kami sama-sama introvert, tapi seputar kerapian, beres-beres kamar, saya mungkin tiga tingkat di atasnya. Saya bersyukur bisa bersamanya, kami beberapa kali sholawatan bersama, kadang seusai isya’, kadang menjelang subuh, apalagi saat emosi sedang tidak stabil karena lagi-lagi masalah percintaan. Saat agak krisis seperti itu, dia akan menemani saya sholawatan.
18 Juli 2023 saya sudah sempat menghubungi psikolog untuk melakukan konseling, hanya saja psikolognya punya jadwal kosong di bulan berikutnya. Saya sudah mulai stres saat itu, mulai frustasi, tugas kampus banyak, kerjaan banyak (saya kuliah sambil bekerja), ditambah lagi percintaan yang tak berjalan mulus. Teman kelas saya menawarkan konsultasi dan test dengan harga diskon, suaminya adalah psikolog. Akan tetapi, karena saya sudah kenal, saya tidak mau, takut kurang leluasa bercerita dan ada indikasi teman sekelas saya itu tahu.
Saya memilih cerita kepada teman perempuan saya yang saya kenal sejak bocil. Sejauh saya berteman dengan dia, dia selalu menjaga rahasia dan enak diajak bicara banyak hal-hal intim dalam kehidupan. Kami biasa saling bercerita, tapi kami tidak menjalin komunikasi yang intens, sebatas komunikasi di waktu-waktu tertentu, namun kami bisa saling percaya.
Dia bilang, saya tidak perlu ke psikolog, psikolog posisinya adalah teman bicara–itu karena indikasi yang terjadi pada saya masih terbilang wajar. Dia menawarkan dirinya untuk menjadi pendengar. Dia pernah jadi relawan konseling. Saya pikir dia sepertiga profesional sudah. Saya tidak jadi ke psikolog beneran, selain karena pertimbangan teman, harganya juga mahal. Hahaha. Waktu itu saya sudah mempertimbangkan opsi melakukan hipnoterapi tapi harganya terlalu mahal, 1,5 juta. Itu adalah biaya hidup saya sebulan. Meski begitu, saya sudah mempertimbangkan menyisihkan uang untuk melakukannya jika itu benar-benar saya butuhkan saat itu. Alhamdulillah, saya berangsung-angsur mulai bisa menguasai diri, kembali melakukan hal-hal produktif.
Teman saya bilang, saya produktif, padahal bagi saya masih belum produktif, tapi saya melakukan segala hal sebaik yang saya bisa walau dengan hati gundah. Hahaha.
Saya mencari kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan diri, berusaha lebih produktif dan sebagainya, kadang melukis sampai ngoding–hal yang sebenarnya tidak saya kuasai.
Di kampus banyak tugas menulis buku dan jurnal. Selain itu, saya harus berkali-kali merevisi proposal disertasi saya.
Seserius mungkin saya mengerjakan tugas-tugas saya. Meski demikian, saya bukan tipe orang yang bisa sat set, cepat mengerjakan sesuatu. Kadang merasa lebih banyak mainnya daripada belajarnya. Ini menjadi catatan penting untuk saya tahun depan.
Kadang saya mikir, kenapa saya cepat lelah? Saya pikir bukan karena saya cepat lelah mengerjakan sesuatu, utamanya tugas kampus, tetapi karena saya banyak menghabiskan waktu buat main-main, nonton video-video atau baca tulisan yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk saya lakukan waktu itu. Pekerjaan-pekerjaan itu juga butuh tenaga, sehingga waktu dan tenaga saya habis untuk itu. Kadang saya pikir, saya kurang punya dorongan dari dalam diri saya sendiri, kurang kuat.
Kendati dalam situasi yang kurang bagus seperti itu, saya masih nitip hadiah ke teman saya yang sedang ke Jerman. Sebenarnya hadiah itu sudah saya rencanakan beberapa bulan sebelumnya. Saya mempertimbangkan berbagai hal yang memungkinkan, baik keuangan saya maupun space bagasi teman saya. Masalah harga, barang itu tentu lebih mahal karena pakai Euro, mungkin 5 kali lipat dari harga normal di Indonesia atau bahkan lebih, seharga kosan saya sebulan.
Setibanya teman saya ke Indonesia, saya mendatangi langsung ke kotanya. Niatku bukan sekadar untuk marani barang titipan, tapi sekaligus menyambung silaturrahim, juga minta beberapa dokumentasi untuk dijadikan bahan tambahan mini riset saya yang akan saya jadikan hadiah itu. Kami saling bercerita tentang keadaan kami saat itu. Kami berdua tidak berada di kondisi yang begitu baik.
Saya merasa apa yang saya dapatkan impas dengan apa yang saya keluarkan dari pertemuan itu.
Saya sudah menyusun siasat baik, sayangnya orang yang saya minta bantu tidak melakukannya dengan baik, bahkan memberikan data yang tidak proporsional, melebih-lebihkan. Sejak saat itu, saya tidak mempercayainya lagi untuk hal-hal tertentu. Tapi di sisi lain, mungkin saya bisa coba memahami posisinya. Sudahlah, cerita bagian ini tidak begitu menarik untuk dijadikan refleksi.
Di masa yang seperti itu, saya mulai menyeleksi pekerjaan-pekerjaan yang saya pikir kurang bermanfaat atau menguras emosi, saya mencoba menjauhi hal-hal seperti itu. Saya keluar dari salah satu grup WA, saya minta waktu satu tahun karena ingin fokus, alasan lainnya karena tidak ingin menguras emosi saya pada yang sebenarnya tidak benar-benar terjadi dalam dunia nyata, sesuatu yang saya khayalkan semata. Ingat saudara, khayalan juga punya kekuatan untuk membunuh, sekaligus menghidupkan. Hidup tergantung apa yang kita pikirkan, bukan?
Saya pikir saya kurang berguna juga di kelompok itu, apa yang dibutuhkan grup adalah hal yang tidak bisa saya lakukan. Makanya, saya pikir saya sia-sia berada di situ. Sebagaimana janji, saya akan tetap kembali bila memang dibutuhkan, bukan karena saya mau sok yes tapi memang ya buat apa, apa esensinya saya tetap bertahan.
Seorang teman saya tiba-tiba mengajak saya untuk merealisasikan cita-cita saya yang sudah hampir lama terkubur. “Bos, dulu kamu pernah cerita pada saya kamu ingin begini dan begitu. Ayo kita lakukan, saya lagi butuh kegiatan produktif.” Sontak saya sangat senang, senang sekali. Liburan semester dua, langsung saya kerjakan sesampai di rumah. Alhamdulillah ada kemajuan. Kami mendirikan perusahaan cum setengah lembaga sosial. Hanya saja, sampai sekarang mandek. Perusahaan yang orientasinya bukan untuk usaha, hanya untuk senang-senang dan mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi orang-orang sekitar. Kami inginnya social oriented bukan money oriented, secara sumber daya manusia kami punya personel yang lengkap dan potensi yang bagus di bidangnya masing-masing. Kata kuncinya: anak-anak. Hahaha.
Selain mental, saya mulai merasa kesehatan badan saya mulai kurang stabil: hati (liver) terkadang sakit, lambung tiba-tiba ada gejala kambuh setelah bertahun-tahun aman, bibir pecah-pecah, kelopak mata mulai menghitam dan cekung. Saya pikir, itu indikasi yang tidak baik. Saya mulai mencari tempat gym di Malang. Alamak, harganya mahal sekali. Berlipat-lipat daripada tempat gym di dekat rumah saya, tapi fasilitasnya memang beda. Saya mulai memikirkan alternatif. Ternyata di taman Merjosari, sekitar 2 km dari kosan saya, ada beberapa alat olahraga sederhana. Saya ke sana beberapa kali. Saya juga coba cari alternatif buat beli alat gym sendiri, jauh lebih terjangkau. Hanya saja belum sempat saya beli, berhubung liburan, saya olahraga di gym dekat rumah saya dan jalan kaki setiap pagi–ini adalah aktivitas harian saya di rumah bersama beberapa teman saya.
Saat saya ke Jakarta, Mamak saya bilang, “Tamimi jangan galau-galau yaa, ngapain galau. Dia senang-senang, happy-happy, kok dipikirin. Kamu entar malah jadi sakit. Ayo yang happy aja, jaga kesehatan.”
Mamak banyak memberi saya nasehat, termasuk bilang bahwa perempuan memang cepat merasa tidak dicintai, cepat tidak menemukan feel, itu biasa. Nanti Tamimi bisa lakuin apa gitu, coba gini gini (maaf, saya sensor). Hahahaha.
Saya mengatur ulang pola makan dan hidup saya yang sempat hampir amburadul itu. Saya mencoba makan teratur dan makan makanan dengan nutrisi cukup, tidur yang cukup. Saya tak lagi memforsir badan saya dan terus berusaha menjernihkan pikiran saya kembali dengan berbagai cara.
Saya mengikuti kelas meditasi selama satu bulan, kelas berbayar, kelas “menulis sebagai meditasi sehari-hari”. Saya mendapatkan email materi setiap hari tentang hal itu. Bagi saya itu sangat membantu, ia seperti membantu membangun sugesti dari dalam diri saya sendiri.
Beberapa hal itu membuatku berangsur-angsur sembuh dan menerima berbagai hal yang terjadi pada diri ini. Ternyata benar kata J. Racine, “Life is a comedy to those who think, a tragedy to those who feel.” Pesannya, tidak perlu terlalu baperan menghadapi hidup–jujur saja, saya di kondisi dan hal-hal tertentu cepat baper. Ternyata saya telah menjadi tokoh komedi putar selama sekitar empat bulan di tahun ini. hahahahaha. Gila.
Fase ketiga, fase kebangkitan. Sebagaimana kebahagiaan, kesedihan juga akan berlalu. Saya bersyukur dikelilingi orang-orang baik, keluarga baik, yang mendukung dan kadang menjadikan hal-hal rumit menjadi lelucon. Biasanya, saat saya dan teman-teman saya berkumpul, kami hanya bicara marathon dan banyak ketawa. Pernah teman saya bilang, “saya tertawa bukan karena apa yang kamu bicarakan lucu, tapi karena melihatmu tertawa saya jadi ikut tertawa.” Beberapa orang yang bilang seperti itu kepada saya. Hal itu menunjukkan bahwa saya tidak bakat memproduksi lelucon. Saya hanya punya energi positif, energi tertawa, hanya energinya, tidak produksinya. Kalau tiba-tiba saya ngomong sesuatu dan dianggap lucu, kemungkinan besar itu tanpa sengaja atau di luar kendali saya.
Bulan lalu (akhir November) ada teman kelas nginep di kosan saya, orang darah biru tapi masih muda, kalau tak salah, satu tahun lebih muda dari saya, tapi sudah menikah dan punya anak.
Sejak sore kami ngopi ke Dau, malamnya ya makan-makan sambil ngobrol. Kami beli banyak makanan di warung makan padang, sampai sebagian tidak habis. Sebagaimana obrolan laki-laki, tema obrolan kami marathon mulai yang serius sampai yang gak jelas.
Saya senang ketika minggu lalu dia bilang ke saya ingin menginap di kosan saya kembali, dia bilang merasa senang. Sebenarnya dia punya tempat menginap yang bagus di dekat kampus. Saya merasa terhormat jika dia benar-benar merasa senang di dekat saya, berarti saya tidak menyebarkan energi negatif lagi kepada teman-teman sekitar saya. Itu menjadi salah satu tolok ukur kesembuhan saya.
Alhamdulillahnya lagi, beberapa bulan terakhir ini saya punya banyak rezeki, selain uang, juga dapat fasilitas gratis untuk ke beberapa kota, mulai dari ke Tuban, Pekalongan, Jakarta, Kupang, Alor, Bali, dan Mojokerto.
Tentu saya sangat senang sekali, meski itu tidak murni untuk jalan-jalan, tapi saya menyisihkan waktu untuk ziarah atau jalan-jalan ke tempat yang menyenangkan bagi saya. Di Pekalongan seminggu, di Jakarta tiga hari, di NTT (Kupang dan Alor) seminggu, di Bali tiga hari, dan Mojokerto dua hari satu malam. Di akhir tahun saya juga ke Jember tiga hari untuk menikmati berbagai macam durian sekaligus nyelipir ke kebun kopi untuk menyempurnakan data tulisan saya.
Di Mojokerto saya mendapatkan tiket opera teater Gayatri gratis, tentu saya tidak melewatkan kesempatan untuk mengunjungi beberapa situs candi. Hanya saja, saya ketipu OYO di sana, OYO Syariah lagi. Untung ada teman saya yang tinggal di sana yang bermurah hati mempersilahkan saya dan teman saya menginap di rumahnya. Alhamdulillah tidak menggelandang. Saya sudah bayar biaya penginapan, tapi saat mau cek in, pemiliknya minta bayaran lagi, dua kali lipat. Asem banget itu orang, bilang ke saya bahwa harga di aplikasi tidak diperbaharui. Saya juga sih kurang teliti dalam memilih penginapan, tidak cari reviewnya di google. Sepulang dari OYO tipu-tipu itu, saya hampir ketabrak dua truk dan beberapa motor karena teman saya yang nyetir gugup, berhenti di tengah jalan. Hampir saja terjadi tragedi berdarah. Kami dimarahi sopir truk, kami diam karena kami memang salah. Tapi saya rasanya pengen marah-marah pada teman saya ini, sejak berangkat dia selalu mengentengkan lalu lintas, dan tak jarang berada di jalur orang. Agak brengsek ini orang. Diengetin selalu ngeyel. Sejak saat itu pertemanan kami kurang baik. Hahaha. Biarlah. Selalu bikin esmosi ini orang, sudah berkali-kali saya esmosi bareng dia, apalagi saat dia bohong di depan mata saya. Saya sangat tidak senang dibohongi. Mungkin yang terakhir ini adalah puncaknya.
Tapi itu tidak seberapa dibanding berbagai hal yang saya dapatkan hari itu, saya juga bisa silaturahmi dengan dua teman saya, satu di Mojokerto, satu di Pacet. Adu satu lagi yang tidak sempat saya singgahi, padahal sudah bilang sebelumnya.
Ada beberapa kota yang saya singgahi, ada yang saya batalkan sesudah saya pesan tiket kereta PP, ada yang karena benturan dengan jadwal kuliah, ada pula karena tidak punya uang.
Setidaknya saya mengunjungi tidak kurang dari 9 kota tahun ini, walau ada yang sebentar. Mungkin perjalanan-perjalanan itu yang juga berkontribusi atas kesembuhan saya, menerima hidup yang saya jalani. Mungkin semua hal ini yang nantinya membuat saya semakin kuat.
Dari berbagai perjalanan itu saya dapat banyak pelajaran. Mbak-mbak di Bali bilang ke saya, “Betapapun kamu banyak melihat permasalahan dalam rumah tangga orang, kamu jangan sampai takut untuk menikah.”
Saat ini saya katakan, saya tidak takut lagi menikah, tidak takut lagi menyegel jari manis dedek manis. Yang terpenting bagi saya adalah restu orang tua.
Saya tidak lagi mau memprioritaskan cinta dalam menjalin hubungan, tapi kemauan kedua belah pihak (aku dan dia) untuk hidup bersama, bukan sekadar tinggal bersama, karena cinta selalu fluktuatif. Hati dan akal harus benar-benar balance, saling melengkapi, saling mengontrol satu sama lain; membuat keduanya merasa saling bukan paling.
Saya tidak tahu harus menyimpulkan jalan kehidupan saya selama setahun ini seperti apa, tetapi saya mendapatkan banyak kebahagiaan dengan menerima diri saya sendiri, menjadi diri saya sendiri lagi. Saya bersyukur atas semua ini, kendati masih ada banyak keinginan-keinginan yang tidak sepenuhnya tercapai di tahun ini.
Selama tahun 2023, kehidupan saya bila dibagi berdasarkan kebahagiaan diri, ⅓ agak galau, ⅔ lumayan bahagia. Ingat, saudara, tidak boleh berlebih-lebihan dalam merespon sesuatu, terlalu bersedih atau terlalu bahagia, karena kesedihan dan kebahagiaan akan saling berlalu.
Di antara hal-hal yang membuatku senang tahun ini adalah saya bisa menjelajahi pulau-pulau di luar Jawa, yang paling berkesan di antaranya adalah Pulau Alor, dan dua tulisanku diterjemah ke bahasa Inggris, pecah telor selama empat tahun saya bekerja di tempat saya bekerja saat ini. Satu tulisan tentang nelayan di pulau kecil dan satunya lagi tentang nelayan perempuan.
Saya mendapat ide atas tulisan yang terakhir itu dari perempuan di atas. Awalnya saya memang punya niat buat melakukan liputan lebih mendalam di lokasi itu tapi masih belum tahu pasti anglenya. Saya dapat inspirasi ketika dia bilang ingin melakukan penelitian di sana terkait perempuan dan lingkungan. Awalnya saya agak ragu karena suasana di sana waktu itu sedikit mencekam, ternyata saya salah. Niat saya jadi bertambah, yang awalnya hanya sekadar ingin liputan, sekaligus ingin bantu dia untuk mendapatkan data/gambaran awal. Sungguh, diterjemah ke Bahasa Inggris dan direpost media berbahasa Inggris di Asia dan Afrika adalah di luar ekspektasi saya. Saya sangat senang sekali waktu pertama kali mengetahui hal ini. Sejujurnya saya tidak merasa puas dengan tulisan saya itu, tapi orang lain punya pandangan berbeda.
Mengenai Alor, saya melakukan liputan di sana selama tiga hari, tinggal bersama seorang pendeta, mengunjungi tiga gereja, kebun dan hutan. Itu adalah pengalaman yang tak terlupakan. Saya merasa puas dengan pencapaian saya yang satu ini. Saya merasa lebih puas dari sebelumnya atas hasil liputan saya itu. Panjang tulisan yang saya tulis sekitar 3500 kata, tapi dipotong oleh editor jadi sekitar 2.200 kata. Saya sudah membandingkan bagian-bagian yang dipotong. Bagian-bagian yang terbuang itu akan saya olah lagi, tambal sulam dengan data lain.
Saat saya memberikan tulisan saya pada lembaga yang membiayai liputan saya, dia bilang terima kasih dan bilang tulisan saya amat menyentuh serta komprehensif. Sungguh, saya merasa melangit. Ini kali kesekian saya dapat pujian atas tulisan saya, tapi yang ini menjadi sesuatu yang spesial bagi saya. Tulisan itu merupakan hadiah natal yang amat indah baginya, katanya. Saya terharu. Saya sedikit banyak bisa menilai, mana yang menilai dengan sungguh-sungguh atau sekadar basa-basi.
Saya juga tidak jarang mendapatkan kritik atas tulisan saya, utamanya ya dari editor saya. Kritik-kritik itu saya terima dengan baik dan saya lakukan.
Hal yang tak membahagiakan sepanjang tahun ini adalah proposal disertasi saya tidak kunjung selesai, tidak diterima dengan baik. Akan tetapi saya yakin, proposal yang terakhir ini akan diterima dengan baik, tentunya bila saya mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Pertengahan Januari saya targetkan sudah selesai semua.
Kata teman di kelas, saya belajar terlalu serius. Teman saya yang nginep di kosan saya itu bilang pada saya. Dia jalan, makan-makan, dan nginep bersama saya, katanya pengen lihat saya bersenang-senang, makan-makan enak, biar gak terlalu serius. Hahahaha. Dia bilang senang melihat saya bahagia–padahal ya dia juga kan. hahahaha
Bagaimana mungkin saya tidak sungguh-sungguh dalam belajar, kuliah, saya menghabiskan puluhan juta untuk membayar biaya kuliah saya. Saya harus sambil bekerja, bayar cicilan SPP setiap bulannya. Alhamdulillah, cicilan untuk semester terakhir ini cepat, tiga kali cicilan sudah lunas, biasanya bisa sampai enam kali. Alhamdulillah atas segala rezeki yang telah Engkau anugerahkan ini, Ya Allah. Mama juga ikut senang.
Mama selalu menanyakan keuangan saya bila sedang telponan. Ayah saya kadang bilang ingin mengirimkan sejumlah uang untuk saya, tapi saya bilang tidak perlu. Saya merasa keuangan saya sudah lebih dari cukup, walau di akhir bulan kadang harus pinjam uang teman. Hahaha.
Sesuatu yang bikin stres itu kadang adalah hal-hal yang tidak tampak, ia hanyalah wujud dari pikiran-pikiran yang tidak sehat. Apa yang saya alami selama satu tahun ini benar-benar memberikan banyak pelajaran bagi saya.
Apakah kamu tahu, hidup yang datar-datar saja ternyata juga melelahkan. Kata Raline Shah juga begitu kok. Masalah selalu ada, kita perlu menghadapinya, dan mungkin saja mengacuhkan masalah adalah salah satu cara mengatasi masalah yang efektif.
Jika di antara kita mengalami masalah relasi dengan seseorang, lalu kalian memblokirnya atau menjauh sejauh-jauhnya, biasanya tiba-tiba rasa penasaran kita semakin tinggi, semakin kepikiran. Ujung-ujungnya ya makin sulit melupakan/merelakan/pasrah. Semua harus bertahap. Ikuti saja tahapannya. Sugestikan pada diri sendiri bahwa diri kita baik-baik saja. Bayangkan yang positif. Toh, hidup ini juga tergantung anggapan kita kepada hidup bukan!
Manusia selalu dihadapkan pada pengorbanan, entah itu sesuatu yang ada dalam dirinya atau sesuatu yang ada di luar dirinya. Keduanya punya tantangannya masing-masing.
Di sinilah menurut saya pentingnya keimanan seseorang. Seseorang perlu iman di hatinya. Keimanan seseorang kepada Yang Kuasa, atas takdir, menjadi tameng pikiran-pikiran kita, jin ifrit yang bersemayam dalam diri kita. Saya pikir, ketika seseorang mampu menguasai emosinya sendiri, maka dia sudah memenangkan sebagian besar “pertandingan” dalam hidupnya. Memang ini tidak mudah, sungguh tidak mudah.
Umat Islam sudah seharusnya menyandarkan segala pekerjaannya kepada Allah. Saya kuliah karena Allah. Saya makan untuk menyambung hidup supaya bisa mengabdi kepada Allah. Saya berjuang untuk sesama manusia sebagai pengabdian kepada Allah. Selain karena sisi tauhid, hal itu, hemat saya, membuat kita tidak cepat kecewa.
Sebagaimana manusia, sedih, kecewa, luka, lara, itu boleh. Tuhan pun tak melarang itu. Ada harapan besar yang perlu ditanamkan dalam diri kita, harapan mendapatkan ridha-Nya.
Kita tidak perlu sempurna kok. Kita boleh tidak menjadi sempurna. Tidak perlu terobsesi untuk menjadi manusia sempurna, tetapi kita perlu untuk terus berbenah, bersifat terbuka terhadap berbagai hal. Yang tidak boleh hilang dari kita adalah kesadaran bahwa kita hanyalah hamba.
Ini saya pikir perlu diingat, pasangan kita bukan milik kita. Ia milik dirinya sendiri. Demikian pula sebaliknya. Status manusia selalu sebagai hamba.
Lalu, bagaimana kabar perempuan yang saya cintai itu? Saya tidak tahu banyak. Bila rindu, saya hanya sebatas melihat fotonya. Saya tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan atau dia lakukan saat ini. Apapun itu, semoga dia mendapatkan jalan terbaik dalam hidupnya, mendapatkan banyak keberuntungan. Saya di sini masih mencintainya, sungguh mencintainya, sangat mencintainya.
Saya lagi di Malang, menikmati peralihan tahun yang sangat mengesankan ini. Alhamdulillah ‘ala kulli haal.
31 Desember 2023 12.23
Komentar
Posting Komentar