Pingkan, Aku Bukan Sarwono yang Kamu Harapkan

Bunga Mawar pink(an) milik tetangga. Foto: Moh. Tamimi

Hai, Pingkan. Apa kabar?

Aku seseorang yang ingin menjadi sosok Sarwono bagimu, Pingkan, tapi aku bukan Sarwono yang kamu harapkan, seperti Sarwono rekaan Sapardi.

Kamu boleh memanggilku sebagai seorang kesasar di hutan—diambil dari kata Sar (kesasar) dan Wono (hutan)—atau seseorang yang serba ada—diambil dari kata Sarwo dan Ono. Begitu kan kata, Pingkan?

Aku tak peduli kamu memanggilku apa. Aku memang tengah tersesat dalam hutan di dadamu dan berusaha selalu ada untukmu.

Pingkan, kamu satu-satunya yang dapat menolong ketersesatanku. Kamulah sang pemilik hutan.

Aku tahu kamu ingin pergi ke kota-kota di Jepang, tempat tumbuh bunga sakura yang hanya muncul di awal musim semi dan gugur seperti ronin yang  balas dendam terhadap musuh samurainya.

Pingkan, aku tak begitu memimpikan Negeri Sakura itu, mimpiku adalah bisa ke Jerman. Tak ada Sakura di sana, tak ada samurai, pun tak ada sisa-sisa Bom Atom yang membunuh ribuan nyawa itu. Namun yang pasti, Jepang dan Jerman pernah memiliki sebuah ikatan. Mungkin kita juga bisa seperti itu, berbeda dalam satu ikatan.

Aku juga seorang peneliti seperti Sarwono, namun bukan di bidang antropologi. Aku juga bukan alumni kampus ternama seperti dia. Bidang penelitianku ekologi. Aku hanyalah lulusan sarjana bahasa, tapi tak bisa membahasan lebih jauh sejauh mana kisah kita ‘kan berakhir. Aku juga bukan pahlawan perang seperti Matindas, yang membawa patung putri Pingkan ke manapun ia pergi.

Kamu harus tahu, Pingkan, namamu yang selalu kubawa dalam hatiku, kusebut dalam setiap nafas perjuanganku. 

Sarwono bisa menunggu lama kepulanganmu, aku juga bisa. Aku tak ‘kan lelah menunggumu, selama aku masih mencintaimu. Tak ada kata lelah dalam penantian, selama yang dinanti ingin datang.

Pingkan, adakah sakura di rumahmu? Kamu tahu bunga Tebebuya? Bunganya seperti Sakura, berwarna pink. Kalau kamu mau, kamu bisa menanamnya di halaman rumahmu. Jika kamu merindukan Jepang, kamu bisa duduk berayun di bawahnya.

Di sini tak ada musim semi, tak mungkin bunga itu mekar di awal musim semi. Di musim kemarau, bunga itu gugur, meranggas demi kehidupan sang batang. Kalau kemarau di dadamu, aku bisa menyiraminya. Asal kamu mau.

Adakah kesempatan untuk “Sarwono” lain di pikiranmu, Pingkan? Aku ingin bernasib sama seperti Sarwono dalam pikirkanmu itu, Sarwono yang kamu harapkan. Heh, Pingkan, aku juga mau kamu mendampingiku dalam setiap penelitianku. Aku juga mau, kita ke Manado sama-sama. Bagiku tidak masalah jika ada “Beni.” Lumayan, ada sopir gratis. 

Aku sudah memikirkan itu, di tengah jalan, dia pasti akan sedikit mengganggu perjalanan kita. Tenang saja, ia hanya mengaku sosok Matindas, tapi tak punya patung wajahmu bukan!

Pingkan, aku tidak bisa menjadi Sarwono, tapi mungkin aku bisa menjadi apa yang kamu inginkan, asal bukan Sarwono. 

Selamat menggapai cita-citamu, Pingkan. Semoga cita-cita kita untuk pergi ke negeri jauh bisa sama-sama tercapai. Semoga dua cerita perjalanan kita, bisa bertemu di bawah pohon halaman rumahmu.

Salam!

21 April – 6 Mei, 2020.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial