Aini Rasyad



Oleh: Moh Tamimi

Nama aslinya Qurrotul Aini, Rasyad adalah nama ayahnya, tetapi ia akrab dipanggil Rasyad, alaynya Rachad.  Rambutnya tidak diketahui panjang atau pendek. Hanya saja, saya membayangkan rambutnya panjang. Bagi saya, rambut panjang lurus terurai mempunyai nilai lebih, hanya mata yang lebih tahu untuk menikmatinya. Kata dari mulut ini takkan mampu mewakili keindahan yang dinikmati mata.

Saya tahu Rasyad sedang menunggu seseorang, namun bukan saya, orang lain. Saya tidak tahu siapa yang ditunggu Rasyad, intinya dia sedang menunggu, yang saya tahu menunggu itu tidak enak, apalagi menunggunya lama sekali. Menunggu seseorang yang tidak diketahui kejelasannya  jauh lebih perih daripada menunggu beduk di bulan puasa.

Saya menulis surat  ini untuk aku. Aku yang berada dalam diriku, keakuanku. Akan tetapi, akan saya kirimkan kepadamu lewat dia, tukang pos yang selalu mengantar buku ke rumahku dan sepucuk surat ucapan terima kasih dari orang yang baik sekali, baik karena ia telah mengirimiku buku, di samping itu masih mengucapkan terima kasih.

Kembali ke Rasyad. Rasyad pintar bahasa Inggris. Saya tidak pintar bahasa Inggris. Ketika Rasyad cas cis cus pakai Bahasa Inggris saya tidak tahu artinya. Ketika saya cas cis cus semampunya tidak ada yang mengerti artinya. Itu perbedaan saya dan Rasyad yang akan saya ceritakan kepadamu.

Suatu malam menjelang tidur, Rasyad berharap di dalam mimpinya nanti bertemu dengan seseorang yang ia tunggu selama lima tahun. Paling tidak, pertemuan dalam mimpi, mampu menggugurkan sedikit rindu yang membenam dalam hatinya.  Lebih beharap lagi, ketika ia membuka matanya, ia mampu melihat mata orang yang dirinduinya.

Harapan-harapan Rasyad malam itu masih belum terkabulkan. Pertama kali yang ia lihat di pagi hari adalah ibunya, lalu fajar dengan wajah merah darah yang terbangun dari lelapnya sambil tersenyum menyinari bumi. Seandainya ada senyum seterang fajar di pagi itu, mungkin banyak orang yang buta, paling tidak silau sehingga kehilangan arah. Namun Rasyad tidak akan kehilangan arah karena dia sudah menutup mata kepada semua senyuman palsu.

Senyuman palsu bagi Rasyad serupa minyak babi cap onta, luarnya saja onta, dalamnya babi. Tidak, tidak, katanya padaku dulu, minyak takkan berbohong, sekali wangi tetap wangi, kalau ada minyak bau itu bukan minyak wangi, mungkin minyak kelapa yang sudah kadaluwarsa.

Sekarang masalahnya menunggu, bukan minyak, atau daftar nama-nama hewan.
Saya menunggu, Rasyad menunggu, yang ditunggu menunggu, saling tunggu menunggu. “Syad, kalau kamu nunggu mulu, kapan ketemunya?” tanyaku suatu ketika saat menunggu adzan magrib.
“aku akan menunggu sampai  ia datang, sepeti datangnya waktu maghrib untuk berbuka.”
“kalau tak datang-datang?”
“saya akan tetap berbuka,” jawab Rasyad dingin.

Rasyad tetap saja dingin, tak sedingin es, apalagi sedingin salju. Rasyad tetap membisu. Katanya, ia sedang mengingat senyum ponakan laki-lakinya yang tembem, imut dan ceria. Senyum ponakannya membuatnya  ingin sekali mempersembahkan sepupu perempuan.
Larut malam setelah tarawih, Rasyad keluar rumah untuk memandang bulan. Katanya lagi, saat itu ia akan berkhayal bahwa ia dan orang yang ditunggunya sama-sama menatap purnama malam itu, seperti punguk yang betah berlama-lama di atas ranting sepanjang malam hanya demi sebuah kerinduan, rindu yang ingin mendapat balasan.

“Lima tahun aku bertahan dengan rindu, mengapa ia belum juga datang. Apakah ia kembali pulang hanya karena aku adalah seorang nyiai, putri seorang kiai di pesantren. Apakah status yang tak pernah kuminta ini menjadi penghalang sebuah pertemuan. Yang kutahui, rindu yang terkekang tak pernah bisa pulang,” gumamnya lirih.

Saat itu, aku hanya bisa mengintip dari jendela kamar. Melihat purnama di atas langit, dan melihat purnama kedua di atas batu, sama terangnya, sama indahnya. Seperti kata penyair, Din Saja, “hanya melihat, hanya mengagumi.”

Penunggu Kamar, 25/5/’19 22.07

Komentar

  1. Keren om

    Ren...ren.... keren ๐Ÿ˜€๐Ÿ˜„

    BalasHapus
  2. Aku selalu takut untuk menerima niat baiknya
    Takut..
    Takut aku salah pilih
    Takut aku tak mampu menjaga hati deminya
    Takut membuat patah hati mereka yang pernah berharap dalam senyuman sendu yang pernah aku torehkan tanpa aku sadari...
    Aku takut dan benar2 takut untuk memulai masa dengannya...
    Tapi...
    Aku harus tegas pada diriku
    Untuk segera melepas masa kesendirianku
    Dan mempercayainya kepadanya...
    Cukup percaya pada Taqdir Tuhan, berharap Ia mampu membimbing jalan yang aku pilih untuk bersamanya
    Aku akan segera melepas masa kesendirian ku ๐Ÿ˜ข๐Ÿ˜ญ

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku takut, bila menatap matamu, takut terhanyut dalam harapan-harapan yang takkan kau beri

      Hapus
    2. Kamu harus bersikap tega karna dengan tega kamu bisa tegas
      Kamu juga harus bisa menentukan pilihan agar kau takselalu dilanda keresahan
      Sikapmu petanda kepribadianmu
      Kepastianmu petanda keseriusanmu

      Hapus
  3. Wieh.... Pak Zainsalafy..
    Kata2 yang bijak
    Terlihat biasa namun membajak ๐Ÿ˜‰

    BalasHapus
  4. Sebenarnya Om Tamimi ini
    Rang ngarang wah...
    Tak nyampung
    Tp kok bagus yo
    Sy heran jg
    Apa2 yg ditulis om Tamimi makรจih tak nyampung pas tettih Istimewa wah...๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜

    Diharapkan dirumah ku
    Pd acr ku..๐Ÿ˜‚

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial