Putri Kamboja dan Pangeran Air
Oleh: Moh. Tamimi
Seorang putri selalu meminta untuk dibacakan sebuah cerita menjelang tidurnya, Putri Kamboja namanya. Dibacakanlah sebuah cerita oleh sang Pangeran Air menjelang tidurnya, malam itu tentang kelinci dan pasukannya.
Sang putri kecanduan dan terpukau dengan cerita sang pangeran, ia selalu minta lagi, lagi, dan lagi.
Meskipun demikian, sang Putri tak ingin ia disebut seorang putri manja. Mungkin sebelumnya ia banyak mendengar tentang putri yang selalu berdiam diri di kastil menunggu seorang pangeran tampan menjemputnya. Ia ingin menjadi putri yang kuat, katanya.
"Aku adalah perempuan tangguh dan heroik," tuturnya pada Pangeran Air.
"Baiklah, kamu adalah seorang putri yang baik, cantik, dermawan, kuat menghadapi setiap tantangan, kayak super hero," jawab Pangeran Air menuruti.
"Kayak siapa?"
"Wonder Women."
"Gak mau"
"Lalu?"
"Emm seperti siapa yaa?" Putri Kamboja menelengkan kepalanya menghadap langit-langit, entah melihat apa, sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke samping bibirnya yang merah.
"Oh, saya tahu!" Putri Kamboja melonjak dari lamunannya. "Saya ingin seperti Putri Rapunsel."
"Rapunsel dari cerita rakyat Jerman itu? Tetapi rambutmu kan tidak panjang?" Pangeran Air mengerutkan dahi.
"Lalu, bagaimana? Terserah kamu deh," putri menyerah.
"Jadi dirimu sendiri, sebagai Putri Kamboja seperti bunga Kamboja
"Apa istimewanya saya dan bunga Kamboja?
Pangeran Air pura-pura berpikir sejenak, walaupun, sebenarnya, di benaknya telah terpikir alur cerita yang ingin ia buat-buat buat sang Putri.
"Ada tiga keistemewaan Nama Kamboja: Satu, namamu. Dua, nama bunga yang indah yang harum yang melambangkan kesucian, kelahiran kembali. Tiga, nama sebuah tempat di jaman dahulu yang merupakan tanah kelahiran putri Dyah Ayu Anarawati."
"Siapa Dyah Ayu Anarawati? Setauku Dyah Ayu Sofia." Senyum putri Kamboja mengembang, lalu menertawakan khayalannya sendiri tentang Dyah Ayu. Dia Ayu, dia cantik. Dyah juga. Anarawati juga.
"Eh, maaf, Dyah Ayu Anarawati berasal dari Campa, Vietnam sekarang. Mohon maaf putri"
"Lanjutkan saja ceritamu!"
"Yang mana dulu?"
"Bunga Kamboja itu adalah bunga kematian."
"Kok serem?"
"Kamu lebih serem"
"Kenapa lebih serem?"
"Karena kamu hantunya."
Putri Kamboja tertawa terbahak-bahak sampai-sampai giginya yang bak pagar yang berjajar rapi itu terlihat kilauannya. Saat itu, muka sang Pangeran Air terlihat datar, menyimpan senyum yang tak ingin ia perlihatkan pada siapapun. Sang Pangeran Air bingung mengarang cerita berikutnya.
Putri sudah hendak tidur. Sebelum terlelap, ia berujar,
"Sudahi saja dulu. Lalu aku akan menagihnya lagi besok."
***
"Putri Kamboja"
"Dia sudah mati."
"Tolongin sana, dia dimakan belalang."
"Belalang adalah penyihir jahat."
"Bukan penyihir. Ia punya dendam padamu."
"Iya kah? Kenapa?"
"Biasa-lah, laki-laki"
"Laki-laki dendam?"
Dia selalu ditolak wanita. Dia cemburu melihat kebersamaan putri Kamboja dan Pangeran Air selalu tertawa bersama, melepas semua penat tanpa menampakkan wajah kesusahan, makanya ia membunuh mereka berdua.
Menjelang kematiannya, Putri Kamboja berpikir bahwa Pangeran Air begitu mencintainya karena perlakuan dan pengorbanannya selama ini.
Waktu itu, Pangeran Air berusaha menyelamatkan sang putri. Namun, sang pangeran kalah bertarung melawan Belalang. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, sang pangeran berkata pada putri dengan terpatah-patah. "Putri, jangan menyerah. Jangan menangis, aku akan melindungimu sampai tetas air penghabisan. Kau kan tahu, puisi dimulai dari kesungguhan dan kerinduan yang mendalam dan berakhir pada kerendahan hati. Kau akan mendapatkan puisi yang tak berkesudahan, cerita yang tak pernah usai. Saya senang bisa kenal denganmu."
Saya tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi sang Pangeran saat itu. Dukanya, laranya, sedihnya, dan ... tidak tega aku meneruskannya. Sang Pangeran tak bisa melanjutkan kata-katanya lagi. Namun ia tetap memandang lekat mata sang putri dari pangkuannya. Belalang tertawa puas, menyaksikan kesekaratan Pangeran Air.
Suasana menjadi melankolis seketika. Putri Kamboja tentu saja sedih tetapi ia tak satupun meneteskan air matanya.
"Hey, Belalang jelek, jangan nyengir aja lu, bunuh gue kalau bisa, atau goe goreng loe dengan ikan laut. Digoreng, maknyus luu," tantang putri Komboja sok berani.
"Apa loe, takut sama gue?"
Belakang marah sekali, ia merentangkan sayap merah berdurinya.
"Eh, bentar dulu! Jangan keburu dulu ya, mas Belalang yang baik!" Putri Kamboja mengambil sebilah pisau dari bagian dirinya, entah bagian mana.
Monster Belalang itu tiba-tiba menyerang, marah. Putri juga tak kalah cepat menikam perutnya sendiri dengan pisau. Ia mati. Putri Kamboja berpikir bahwa, paling tidak, ia akan dikenang dalam sejarah sebagaimana cerita Laila Majnun, cerita dari Suriah yang fenomenal itu. Ia mati tertawa. Ia mati dengan cintanya.
***
"eh, Pangeran Air si tukang cerita, memangnya apa yang sebenarnya dirasakan oleh Pangeran Air pada Putri Kamboja dalam cerita itu? " tanya Putri Kamboja yang dari tadi anteng mendengarkan cerita itu.
***
Sebenarnya, Pangeran Air memang tidak pernah mencintai Putri Kamboja. Ia hanya merasa berhutang budi karena putri Kamboja-lah yang membantunya dapat melihat cakrawala di angkasa luas karena ia membiarkan pangeran Air menetap di ujung kelopaknya di setiap pagi, dengan begitu, ia dapat merasakan kebebasan yang ia inginkan selama ini. Ingin menikmati kebebasan seperti burung, sehingga ia belajar caranya terbang walau tak punya sayap.
*Pustakawan, tinggal di Sumenep.
I like it
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus