Ulang Tahun Aurora
Oleh: Moh. Tamimi*
Aurora baru saja terbangun dari tidur panjangnya, walaupun tak dilihatnya sosok pangeran yang mengecupnya saat tidur pulas lalu tersenyum saat kelopak matanya terbuka di pagi itu.
Hari itu adalah hari ulang tahunnya. Ia merayakan sendiri dalam sangkar emasnya yang tak kunjung disepuh kembali oleh pandai emas.
"Aku berharap tak merayakan hari ulang tahunku sendiri dan aku mendapat suprise yang tak terlupakan sampai aku tertidur kembali," ungkapnya dalam batin sembari mengepalkan kedua telapak tangannya, penuh pengharapan.
Dinding-dinding kamar Aurora seperti gedung mati peninggalan sejarah yang sudah tak berpenghuni, walaupun demikian, ia tak melihat jaring laba-laba di sudut kamarnya ataupun sekedar perseteruan antara tokek dan cicak. Garis-garis retak adalah ornamen satu-satunya dinding itu, semua warna cerah sudah tak terang lagi, kusam penuh debu.
"Aku ingin ada yang menemaniku walaupun binatang-binatang tak bersuara, sekadar untuk meyakinkanmu bahwa aku masih hidup di bumi ini!" batinnya lagi.
Dia tak percaya bahwa lingkungan sekitarnya disihir oleh seorang penyikir tua renta yang memegang sebatang sapu lidi bergagang kayu yang berliuk-liuk. Ia terus menyadarkan dirinya sendiri bahwa masa-masa dunia penuh sihir telah lewat. Pikirnya, ia bukan lagi mitos, bukan lagi seperti seorang Aurora di cerita rakyat dari Jerman itu.
Ia terbangun, duduk tegak di atas ranjangnya sambil lalu menatap kalender yang telah ia tandai kolom merah untuk mengingatkan dirinya bahwa ia menangis pertama kali pada waktu itu dengan disambut tangisan-tangisan bahagia orang-orang di sekitarnya. Aurora mengambil kalender yang berdiri seperti segitiga piramida itu di atas dipannya.
“Mana yang lebih mengenaskan di antara kita, kamu yang tak dihiraukan karena telah menjadi penanda kelahiranku ataukah aku yang tak dihiraukan tanggal kelahirannya oleh siapapun." Ia berbicara dengan kalender itu sambil mengelusnya seolah-seolah ia berbicara dengan seseorang yang bisa menyimaknya dengan baik.
Ia mengingat satu persatu hari ulang tahunnya dari waktu ke waktu yang telah ia lupa detiknya. Ia melihat ke balik jendela, mungkin ada seseorang yang datang kepadanya membawa seikat bunga dan ucapan selamat ulang tahun atau kado-kado misteri yang terbingkai dalam kotak kecil berikatkan pita merah yang mengikat dengan simpul mati berbentuk kupu-kupu.
Nihil, ia tak melihat apapun kecuali pohon-pohon yang mulai meranggas karena kemarau tak kunjung usai. Tak ada kupu-kupu terbang di sana. Tak ada serangga berebutan sari-sari sang bunga, bunga tak berani merekah, para serangga tak berani melawan terik matahari.
Aurora beralih menatap seisi kamarnya, tak ada yang istimewa di kamar itu pada hari itu kecuali kesunyian yang tak pernah lekang dari ruang dan waktu. Kesunyian itu telah menyatu bersama raga dan jiwa Aurora.
“Lebih baik aku kembali tidur, seberapapun lamanya, mungkin aku bisa terhibur dalam mimpi dan menemukan keramaian di sana. Aku ingin hidup dalam mimpi," ucapnya lirih.
Aurora berbaring terlentang sambil memandang satu titik fokus di langit-langit kamarnya, berharap ia bisa cepat terlelap seperti sedang dihipnotis oleh seorang penghipnotis yang mengayunkan kalungnya untuk membuat orang tertidur, dengan melihat satu titik fokus konsentrasi.
Satu titik di langit-langit itu semakin membesar, berputar, seperti perputaran sebuah spiral semesta raya.
Aurora tak lagi melihat langit-langit kamarnya. Ia berada dalam alam bebas, luas, tak terbatas dinding-dinding dan gedung-gedung apapun. Ia berada di semesta raya yang tak pernah ia singgahi sebelumnya.
"Selamat ulang tahun, Aurora!”
Suara itu mengagetkan ketermenungan Aurora. Ia melihat ke berbagai penjuru arah mata angin sampai kaki langit semesta raya itu namun tak melihat seorang pun berdiri menghadap dirinya.
“Semoga umurmu dipenuhi keberkahan!"
Aurora semakin terkejut dengan suara yang terdengar dekat di telinganya itu.
Ia memutar badannya, jauh lebih lambat dari putaran eksotik penari balet. Matanya kemudian tertuju pada seekor buaya ringkih tepat dibelakangnya. Predator itu begitu kurus, seperti telah berminggu-minggu tak menemukan buruan.
“Hei, buaya, kau yang berbicara padaku," tanya Aurora, tak percaya dengan apa yang ia saksikan hari itu.
"Mas Buaya, siapa kau sebenarnya? Kenapa kau bisa berbicara? Kita berada dimana sekarang ini?" Aurora melanjut perkataannya dengan sebutan mas berdasarkan ciri-ciri suara yang ia dengar.
“Kau tak usah takut, aku bukan raga ini. Aku seorang pangeran, serupa denganmu sebagai seorang putri. Buaya seperti yang kau lihat ini hanyalah sebuah simbol peradaban yang telah hilang. Ikutlah denganku!"Buaya itu melata dengan kecepatan tak seberapa menuju sebuah pohon rindang.
“Bagaimana hari ulang tahunmu kali ini?" sosok Buaya itu kembali bersuara.
“Berlalu sebagaimana biasanya." Aurora menjawab datar.
Aurora duduk bersandar pada batang pohon. Pikirannya berkelana kemana-mana. Terlintas di pikiranya bahwa hadirnya Buaya itu adalah karena terkabulnya doa-doanya di suatu pagi yang tak ia ketahui pasti menitnya. Mustahil ada Buaya berkeliaran karena sekarang sungai-sungai telah mulai sempit, tempat Buaya kawin, berburu untuk menyambung hidup sudah semakin tiada. Kita menuju kepada sebuah ketiadaan, semua telah diganti dengan hunian-hunian manusia yang penuh ambisi. Air di muara sungai sudah semakin menyusut karena tak ada lagi akar-akar pohon yang menyerap air hujan. Genangan air itu seperti benda-benda terlantar yang memaksa masuk ke setiap celah penduduk saat musim hujan tiba.
“Aurora, orang-orang di sekitar kita telah mulai kehilangan budaya luhurnya. Mereka pergi dari peradabannya sendiri ke peradaban milenial yang cepat berubah dan tanpa mengenal ampun pada jiwa-jiwa yang lugu." Sang Buaya memulai pembicaraannya memecah hening yang sedari tadi terselubung di antara mereka.
"Kamu ngomong apa, buaya? Kamu buaya, tahu apa kau tentang kehidupan ini!
“Justru karena aku Buaya, saya adalah bentuk manifestasi keserakahan-keserakahan manusia."
"Ah, Buaya brengsek! Bisa-bisanya kau menyalahkan manusia sepertiku. Mas Buaya yang ganteng," Aurora berbicara dengan nada diperhalus, "dari tadi saya kesepian merayakan ulang tahunku, malah kau bilang manusia serakah. Manusia itu kesepian, terlebih aku ini." Aurora memelankan suaranya ketika sampai pada kalimat terakhir.
Buaya itu hanya mengibaskan ekornya, pelan. Ia tidak kelihatan gusar atau marah sama sekali dikatai brengsek oleh Aurora. Pembawaannya tetap tenang walaupun sejatinya ia adalah pemburu sejati di darat maupun di laut. Badannya tak banyak bergerak, seperti benda mati yang tak pernah merasa khawatir terhadap apapun.
Sang Buaya terlihat termenung, sedangkan Aurora masih dengan sedikit kekesalannya pada sang Buaya yang selalu menyalahkan manusia dalam berbagai masalah kehidupan, seolah tak ada faktor lain ataupun makhluk lain yang harus disalahkan selain manusia.
“Sebenarnya saya sendiri masih ragu akan hal ini, apakah roh-roh buaya yang masuk ke raga manusia karena mereka tak menemukan raga buaya lagi untuk bereinkarnasi sehingga membuat manusia mempunyai tabiat buas ataukah buaya sepertiku ini adalah manifetasi sifat-sifat kehewanan manusia yang selalu menjarah orang lain seperti layaknya hewan predator." Sang Buaya nampak sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sang Buaya berbicara panjang lebar tentang persamaan antara umat buaya dengan umat manusia. Mulai dari kesamaan nama mereka dengan kata kebudayaan yang kerap kali dilekatkan dengan manusia itu, manusia yang berbudaya, budaya dan buaya, dua kata yang hanya beda satu huruf. Meskipun demikian, Sang Buaya tak pernah sekalipun menatap lekat mata Aurora. Selain agar tidak membuat Aurora takut juga sebagai bentuk penghormatannya terhadap seorang perempuan.
Pohon yang menjadi sandaran Aurora melambai-lambai dahannya diterpa semilir angin, menjatuhkan satu-satu daun-daun yang tak mampu lagi menggenggam erat tangkainya. Tak ada seorang pun di sana, tak ada siapapun selain mereka berdua.
"Mas Buaya, berhentilah membual, bualanmu tak mampu mengusir sepiku!"
“Orang yang kesepian bukan hanya engkau, Aurora. Banyak orang kesepian walaupun badannya penuh kesibukan karena diperbudak waktu. Mereka terus disayat-sayat oleh waktu tanpa mereka sadari. Pikirkanlah tentang hakekat kesepian dan keramaian! Pikirkanlah jika suatu saat kau tak menemukan lagi satu pohon untuk bersandar!" Sang Buaya masih tetap saja dalam pembawaan tenang, berbicara sepenuh akal budi.
Aurora, aku akan sangat merindukanmu, lanjut sang Buaya tanpa memberikan kesempatan pada Aurora untuk menanggapi perkataannya sebelumnya.
"Apa? Kau merindukanku. Hahaha. Lucu, seekor buaya merindukanku."
Bersamaan dengan suara tawa Aurora, sebuah buah dari pohon itu terjatuh menimpa kepalanya. Sosok buaya itu hilang. Pandangan Aurora kembali tertuju pada langit-langit kamarnya. Ia terbangun dari mimpi singkatnya.
“Aku masih ingin belum terbangung sampai kutukan sepi ini sirna," batinnya sambil memandangi tanggal kelahirannya yang telah ia kolomi menggunakan spidol merah.
Sumenep, 04 Juni 2018 20.53
*Guru MTs An-Nawari, Sera Tengah, Bluto, Sumenep.
Komentar
Posting Komentar