Yang Kubutuh
Akhirnya aku mulai memahami apa yang kubutuh dari seorang pasangan, relasi seperti apa yang perlu kubangun.
Aku sudah mencoba membangun relasi dengan tiga perempuan. Dengan
setiap orang punya masalahnya masing-masing sehingga membuat kami harus
berpisah, mulai dari tidak direstui sampai tidak klik. Aku berusaha
menganalisis pola relasiku selama ini dengan mereka, kecenderungan mereka,
serta pola relasiku dengan teman-temanku. Aku juga coba menganalisis perbedaan
dan persamaan mereka.
Dengan setiap orang aku mendapatkan banyak pelajaran, tentang
kesetiaan, kesetaraan, keterbukaan, keberanian, dan semacamnya. Aku selalu
mengevaluasi diri ketika hubunganku gagal dan memperbaikinya ketika dengan
orang berikutnya. Sejauh ini aku tidak melakukan kesalahan yang sama,
untunglah aku tidak seperti keledai.
Aku seorang introvert, cepat bosan menjalin komunikasi secara
terus menerus dan monoton setiap hari. Kini aku baru mengerti bahwa ibuku
sebenarnya sudah memahami perilakuku ini. Aku baru sadar kenapa ibuku selalu
bilang bahwa aku orang yang cepat bosan. Saat itu aku pikir, aku setia kok
orangnya, tak pernah mendua, meleot, atau neko-neko dengan orang lain ketika
sudah memutuskan untuk bersama seseorang. Ternyata bukan itu maksudnya, rasa
bosan itu bukan sama dengan tidak setia.
Lalu apa yang aku butuh? Aku harus bagaimana?
Aku pengarsip yang lumayan baik, ada banyak barang-barang dan
dokumen yang kusimpan di rumah, termasuk dokumentasi dengan para mantanku.
Jejak-jejak mantan bisa ditelusuri dengan mudah lewat tulisan-tulisanku, baik
puisi, cerpen, atau sekadar catatan harian. Aku masih menyimpannya sampai
sekarang, belum lagi benda-benda yang terkait dengan mereka.
Satu hal baru kusadari hari ini dari para mantanku itu, mereka
semua adalah introvert: orang-orang kalem dan irit bicara. Aku suka orang yang
kalem, capek bila harus mendengarkan tausiah setiap hari, aku bukan pendengar
yang baik, walau bisa. Aku pikir, aku cocoknya dengan orang kalem.
Ibuku jauh dari kata kalem. Dia pekerja keras, main blak-blakan
pada hal-hal yang tidak dia suka, dan kadang aku menganggapnya terlalu banyak
bicara yang tidak perlu. Tapi kalau dibandingkan dengan cerewetnya tetangga,
ibuku berada di level menengah ke bawah, tidak secerewet itu ibuku, dia hanya
suka berterus terang.
Bapakku yang kalem, tidak banyak bicara, lebih banyak bertindak,
sesekali memberikan penjelasan apa yang dia lakukan, tapi lebih rasional. Ibu
dan bapakku saling bertolak belakang sifat dasarnya.
Aku sempat berpikir, aku ingin pasangan seperti ibuku. Sambil
berkelakar, ibuku pernah bilang padaku, “Kamu dapat seperti aku saja sudah
mujur.” Kami hanya saling tertawa.
Satu pertanyaan yang selalu muncul di kepalaku, “Mengapa aku bisa
mengobrol panjang lebar dengan teman-teman perempuanku sampai lama sekali?” Pernah
hampir sehari semalam di rumah temanku. Aku punya banyak teman-teman perempuan
yang bisa klik denganku, saling mengerti satu sama lain.
Aku kembali coba mengamati, menganalisis, apa perbedaan
teman-temanku dan para mantanku yang kucintai itu. Aku selalu mencintai mereka,
tetapi mengapa aku selalu kikuk ketika berbicara atau bertemu dengan mereka,
merasa kurang bebas, jauh berbeda ketika dengan teman-temanku. Apakah itu
karena getaran cinta? Aku juga mencintai teman-temanku, tentu cinta sebagai
teman. Aku selalu menyayangi orang-orang di sekitarku, mengasihi mereka sejauh
yang aku bisa. Salah satu jawaban yang aku temukan adalah mereka ekstrovert. Dengan
mereka aku bisa saling terbuka, tanpa harus main kode-kode. Apa-apa langsung
dibicarakan.
Pernah aku punya teman perempuan baru, saat itu kami baru kenal beberapa
bulan. Gaya bicaranya sangat blak-blakan. Kadang aku membatin, “Oh, Ya Tuhan,
begitu barbarnya perempuan ini.” Dia tidak segan-segan mengkritikku,
memberikanku masukan, bahkan “marah” memarahiku, dan jauh dari kata
manis-manis. Namun berkat dia, aku yakin akan pilihanku saat itu. Aku tidak
ragu lagi. Dia mendukungku dengan berbagai caranya. Aku sangat senang
mendapatkan teman seperti itu. Beberapa teman perempuanku yang sering aku ajak
bicara, terutama ketika hendak memutuskan sesuatu, rata-rata adalah orang
ekstrovert. Teman-temanku yang introvert hanya selalu bilang, “terserah kamu”
“bagaimana enaknya saja” dan hanya iya iya iya saja. Aku butuh masukan, kritik,
dan pertimbangan.
Mungkin saja apa yang aku ingin dan yang aku butuh tidak sama. Apa yang aku ingin ternyata bukan itu yang aku butuh.
Mantan pertamaku cantik, secara fisik dia idamanku. Kami bersama
lama sekali. Berhubung dia mondok, kami jarang komunikasi. Saat liburan pondok
kami juga jarang mengobrol, saat telepon dia, aku sering kehabisan bahan untuk
dibicarakan, kadang sampai hening beberapa menit. Parahnya lagi, kami sering
saling menunggu. Aku tahu dia sudah liburan, pulang ke rumah, tapi aku
tidak menghubunginya lebih dahulu. Aku lebih menunggu dia menghubungiku, bilang
kalau lagi pulang. Sayangnya, hubungan kami kurang direstui karena berbagai
pertimbangan. Kami sepakat untuk pisah dengan baik-baik seusai makan malam
setelah menjalin hubungan selama kurang lebih empat tahun. Aku mencintainya,
sungguh mencintainya saat itu. Aku memilih jadi jomblo selama bertahun-tahun
sesudah usai dengannya, sulit bagiku untuk jatuh cinta lagi.
Meski masalah utama dalam relasi yang pertama ini adalah restu,
tapi dalam perjalanannya pun ada yang kurang beres. Aku kira tak perlu
kubeberkan di sini. Saat mencoba menjalani hubungan kedua, aku membicarakannya
terlebih dahulu dengan keluarga, takut tidak direstui lagi.
Mantan (?) keduaku juga lumayan cantik, namun secara fisik dia
bukan tipe idealku. Saat itu hanya berusaha membuka hati pada perempuan baru.
Aku tidak jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya, aku berbohong saat
mengatakan itu. Jujur saja, aku sulit jatuh cinta tapi mudah katakan cinta.
Dulu aku begitu, sifat yang memuakkan ternyata.
Dalam hubungan ini tidak ada deklarasi antara dua belah pihak. Aku
tahu dia suka padaku dan kasih kode untuk segera dilamar. Aku bisa menangkap
itu tapi tidak cukup berani untuk bertindak. Aku masih ingin menjalaninya.
Berkali-kali dia kasih kode yang kupaham tapi aku tidak ambil tindakan,
akhirnya “ditindak” oleh temanku sendiri. Meski tidak jatuh cinta sepenuhnya
pada mantan ini, terdapat tragedi yang melibatkan banyak orang, sungguh seperti
tragedi berdarah dan tidak ramah ingatan. Oke, sudahlah.
Ketika beralih ke perempuan selanjutnya dua tahun kemudian aku langsung ambil tindakan saat ada lampu hijau. Tentu aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, apalagi perempuan yang terakhir ini lebih meyakinkan meskipun ada beberapa hal yang tidak kusuka.
Pertemuan pertama dengan perempuan
ini pun nyaris sama kesannya dengan perempuan kedua, tidak jatuh cinta pada
pandangan pertama tapi ada kesan baik. Bedanya, aku bisa jatuh cinta benaran. Awalnya
hanya karena dijodoh-jodohkan oleh teman. Aku lihat ada potensi, lanjut saja.
Dalam beberapa hal dia bukan tipe idealku, ada saja kekurangannya, tapi aku sadar bahwa tidak ada perempuan sempurna. Aku harus menerima segala sesuatu yang melekat pada dirinya, sifat-sifatnya, fisiknya, dan semua tentangnya.
Aku beberapa kali mencari di internet mengenai kekurangan
seseorang, ingin memastikan apakah kekurangan itu substansial atau tidak, bisa
dimaklumi atau tidak. Aku lebih memilih mengalah kepada akalku, aku juga sadar
bahwa aku hanya laki-laki kurus dan tinggi dan tak memiliki sesuatu yang bisa
diandalkan. Semua orang pasti memiliki kekurangan, ini dunia bukan surga.
Dia sama sepertiku, tidak jatuh cinta pada pandangan pertama. Kami
sama-sama berusaha mencoba membuka diri. Kadang laki-laki itu seperti seniman,
menggunakan kebohongan (imajinasi) untuk menyampaikan kebenaran. Kalau aku dari
awal langsung tak menunjukkan rasa cinta, kemungkinan langsung ditolak, namanya
usaha. Toh, aku cinta benaran walau bukan pada pandangan pertama. Aku lebih
dulu cinta kepadanya. Jujur saja, aku awalnya kaget saat cintaku tiba-tiba
diterima, itu melebihi ekspektasiku.
Dalam perjalanan hubungan, penyakit lamaku tidak pernah hilang;
tidak peka. Kadang aku bisa memecahkan kode perempuan tapi pura-pura tidak
paham karena aku sadar tidak bisa untuk melaksanakannya, kadang memang
benar-benar tidak bisa memecahkan kode-kode yang dilontarkan perempuan.
Kebanyakan memang tidak bisa. Kalau tak bisa dipecahkan kodenya, tentu tak bisa
diklik. Kami banyak tidak klik di berbagai bagian. Aku terlanjur cinta, dan
sudah berusaha semaksimal mungkin menjaganya dan merawatnya, tentu sangat sedih
mendapat kenyataan bahwa pada akhirnya cintaku bertepuk sebelah tangan.
Aku cerita ke ibuku tentang ketidakpekaanku kepada para perempuan.
Alih-alih ibuku membelaku, dia malah memberiku kuliah 3 SKS. Katanya aku harus
peka. Saat aku cerita beberapa potongan kisahku tentang tidakpekaanku terhadap
cewek yang kasih kode begini dan begitu, ibuku makin membara kasih kuliah.
Tentu bukan marah-marah, ibuku benar-benar mengkonfirmasi pernyataan si
mantanku bahwa aku memang tidak peka. Ibuku bilang dia sudah peringati aku berkali-kali
dan kasih contoh untuk perhatian pada orang lain, tapi tidak dikerjakan dengan
baik. “Oh ya Tuhan, ternyata tidak sepeka itu diriku ini,” batinku.
Ibuku mewajarkan kalau aku
ditinggal, karena ia menganggapnya timpang. Kalau perempuan kasih kode harus
cepat dimengerti, tidak mungkin bilang langsung, malu. Kalau kasih kode tidak
kunjung dimengerti, maka ia akan sebal. Oh ibu, ternyata semua perempuan itu
sama tidak hanya berlaku bagi para perempuan muda, tapi untuk semua perempuan,
termasuk ibu-ibu.
Ibu mencontohkan oleh-oleh. Dia bilang seseorang itu selalu senang
dikasih oleh-oleh, jangan sampai diminta, kasih buah tangan. Apalagi sampai
diminta tapi tidak dikasih, pasti akan dikira pelit, meskipun punya alasan
sendiri, semisal tidak ada uang. Ibu juga menegaskan bahwa ketidakpekaan ini
bisa bikin drama. Haha. Aku tertawa saat dengar itu. Habislah aku dikuliahi
ibuku hari ini (12/2). Sepanjang kami saling cerita, aku jauh lebih banyak
tertawa daripada ibuku, menertawakan diri sendiri.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa aku tidak peka?
Aku kira hanya aku laki-laki yang tidak peka di dunia ini,
ternyata banyak. Aku tanya pada teman-teman yang sudah menikah tentang
perjalanan cintanya, tidak luput juga tentang bab peka. Kata salah satu
temanku, laki-laki memang jarang peka, tapi disabarin saja (Madura: e jā ka jā).
Aku mengingat teman-temanku yang punya kepekaan lebih kepada
perempuan, pikiranku membawaku pada temanku saat di Pare. Oh, dia mahir sekali
perihal karakteristik perempuan dan gerak simbolnya itu. Dia pengalaman, dan
pernah juga dia dibuat seperti orang gila oleh perempuan. Mohon maaf ini harus
kusisipkan di sini: menjadi laki-laki dalam dunia patriarki kadang tak kalah
mengerikannya daripada menjadi perempuan.
Aku berkesimpulan bahwa masalah peka dan tidaknya seseorang itu
tergantung pengetahuannya, juga pengalamannya. Ada orang yang tidak mencurahkan
energinya untuk hal-hal semacam ini, mereka mencurahkan energinya
terhadap apa yang mereka prioritaskan sebelumnya. Di sinilah pentingnya menjadi
diri sendiri. Kalau kita memanipulasi diri kita di hadapan orang lain, maka
kita akan menarik orang yang salah. Mereka yang datang adalah mereka yang
sesuai dengan karakter manipulasi kita. Jujur terhadap diri sendiri pun tidak
begitu. Ada orang yang ingin mengatakan sesuatu dengan jelas tanpa memedulikan
perasaan orang lain, tapi tidak bisa.
Kita mungkin akan menarik orang yang benar kalau kita bisa membaca
pikiran orang lain. Pikiranku saat mengetik ini langsung tertuju pada karakter
penjilat, tapi bukan itu maksudku. Ada drama Korea yang menceritakan
orang-orang yang bisa membaca pikiran orang lain dengan menyentuhnya atau
melihat matanya. Aku lupa judulnya, tapi seperti itu yang aku maksud.
Namun menurutku ada alasan lain kenapa seseorang tidak bisa
bersama menjalin relasi dengan baik, yaitu jiwanya tidak menyatu. Ada berapa
banyak pasangan yang sangat timpang masalah kepekaan tapi tetap terus bersama,
demikian juga sebaliknya, bertahun-tahun bersama tapi tiba-tiba kandas di
tengah jalan. Ada saja jalan untuk berpisah.
Kembali kepada apa yang aku butuh. Jawabnya kini mulai jelas di
pikiranku. Apa yang aku butuh terhubung erat dengan apa yang aku ingin, apa yang
kutuju dalam hidup ini. Kalau aku ingin meningkatkan kemampuan diriku untuk
lebih giat, sepertinya aku butuh orang yang tegas dan lugas di sampingku, bukan
seseorang yang adem ayem saling diam. Ingat, tegas dan lugas, bukan banyak
bicara hal-hal tidak penting. Kalian masih ingat bukan, aku suka tidak tahan
mendengar orang bicara berlebihan.
Kamar, 14/2/24 22.44
Komentar
Posting Komentar