Beasiswa
Sejak sekitar pukul 10.00 saya berada di depan laptop, mengerjakan berbagai hal, mulai dari baca-baca, mendengarkan lagu, membaca jurnal, dan mencari informasi beasiswa.
Kemarin saat kuliah saya merasa punya keinginan untuk mendaftar beasiswa. Seketika itu juga saya meminta LoA ke kampus. Saat hampir selesai baca jurnal tadi siang saya tiba-tiba ingat tentang LoA yang dijanjikan pihak kampus hari ini. Saya cek email, LoA sudah masuk. Saya melihat beberapa situs beasiswa mulai dari Kemenag, Kemenristekdikti, dan Kemenkeu. Sejujurnya, saya tidak banyak berharap beasiswa ini karena saya tidak punya lagi afiliasi instansi pendidikan.
Ada dua kategori yang membuat saya berpikir ada harapan: jalur pelaku budaya dan jalur stipendium hungaricum. Hanya saja, setelah saya pelajari lebih lanjut sejak tadi siang, sepertinya harapan itu semakin mengecil, mungkin tinggal selebar lubang jarum bagi saya.
Sepulang dari shalat ashar di masjid, saya berpikir, mengapa ya saya dari dulu sulit dapat beasiswa, sejak S1, padahal saya tidak goblok-goblok amat. Pikiran saya mulai mengelana ke berbagai peristiwa di masa lalu.
Saat saya mendaftar kuliah S1 di Instika, saya tidak berpikir untuk masuk jalur beasiswa karena ranking saya hanya mentok di nomor 4 ketika MA. Kalau dapat ranking 1, 2, atau 3, biasanya bebas biaya pendaftaran dan SPP semester 1 (kalau saya tidak salah ingat). Saya mendaftar sebagaimana biasa, seorang diri.
Saat pendaftaran, saya ditanya apakah saya punya prestasi? Saya bilang saya punya tapi hanya tingkat Madura. Saya juara 3 lomba karya tulis ilmiah remaja di Unija dan juara 3 lomba debat Bahasa Indonesia di Instika tingkat SMA/Sederat se-Madura. Saya masih ingat teman-teman yang juara kedua lomba itu, di antaranya menjadi teman akrab saya sampai saat ini.
Pihak kampus bilang akan memberikan kabar lebih lanjut padaku, apakah aku layak mendapatkan beasiswa, soalnya ini di atas tingkat kabupaten tapi tidak sampai tingkat provinsi. Menjelang sore setelah saya sampai rumah, saya mendapatkan pesan bahwa saya tidak layak dapat beasiswa. Ada sedikit kecewa di hati saya waktu itu.
Demikian pula saat mau daftar S2, di Instika ada program beasiswa pemprov Jatim. Di antara syaratnya adalah mengabdi di pesantren selama tiga tahun. Kak Paisun dan Kak Waris pernah menawarkan kepada saya, tetapi ada yang mengganjal di pikiran saya, saya masih belum sampai tiga tahun mengabdi di pesantren, selain itu ijazahku juga belum keluar.
Saya pikir, dapat beasiswa atau tidak itu hanyalah jalan rezeki yang berbeda, yang terpenting adalah saya bisa kuliah dengan baik, dari mana pun jalannya. Ada jalan rezeki lain untuk saya supaya bisa mengakses pendidikan.
Kadang saya merasa lebih layak secara kualitas daripada teman-teman saya yang dapat beasiswa, baik saat S2 maupun S3. Hanya saja, pikiran-pikiran seperti itu harus segera saya buang jauh-jauh. Bila mau mendaftar beasiswa S3, salah satu persyaratan yang selalu tidak bisa saya penuhi adalah NIDN (Nomor Induk Dosen).
Saya jadi teringat K. Faizi saat bercerita di kelas dulu bahwa beliau dilarang daftar beasiswa oleh abanya karena aba beliau merasa masih mampu membiayai kuliah K. Faizi. Katanya, kalau masih bisa dibiayai sendiri, mengapa harus minta biayai ke orang lain, “Ghanjaran palor ebegie ka oreng laen,” kata aba K. Faizi kepada beliau.
Kadang saya pikir saya hanya mencari pembenaran karena tidak kunjung dapat beasiswa, “bilang saja karena kamu tidak dapat beasiswa, iya kan?” kata pikiran saya sendiri untuk dirinya.
Yang gagal dan yang berhasil
Meski saya beberapa kali gagal dapat beasiswa dari kampus atau pemerintah, masih ada segelintir cerita sukses yang saya peroleh tepat pada waktunya.
Saat semester 6 (S1), saya dapat informasi dari teman saat saya main ke rumahnya tentang kompetisi menulis esai. Saat itu saya lagi senang-senangnya menulis. Saya ikut saja, seperti biasa, kirim dan hiraukan. Saya dinyatakan lolos dan diundang ke Malang. Saya penuhi beberapa administrasi yang diminta oleh panitia. Saya berangkat ke Malang. Saya pikir saya akan mempresentasikan tulisan saya atau untuk ikut acara pengumuman pemenang lomba di sana. Hanya itu yang ada dalam pikiran saya.
Setelah saya sampai tempat penginapan, saya baru tahu bahwa kami saat itu akan mendapatkan beasiswa. Kami angkatan ketiga beasiswa itu, beasiswa aktivis peneleh. Saya tidak tahu apa itu, baru saat acara berlangsung bahwa itu adalah organisasi yang bergerak untuk meneruskan spirit Zelfbestuur HOS Cokroaminoto. Saya sempat berdebat dengan panitia bahwa saya akan keluar dari forum itu bila visi organisasi itu tidak sesuai dengan visi hidup saya, ideologi saya. Ketika saya mengingat itu, saya terlihat congkak, sok yes. Meski pada akhirnya, setelah bertahan beberapa lama, saya benar-benar keluar karena merasa tidak sevisi.
Saya mendapatkan beasiswa Rp. 500 ribu per bulan dari organisasi itu selama satu semester. Saya masih ingat, uang itu saya belikan buku, hp dan laptop. Buat beli laptop tentu ditambah oleh ibu saya sekitar satu juta. Saya akad pinjam ke ibu saya tetapi akhirnya ibu saya bilang tidak usah bayar, soalnya saya pikir beasiswa itu terus berlangsung selama kuliah ternyata hanya satu semester. Harga laptopnya Rp. 3,3 juta, merk Asus. Laptop merah yang di rumah itu.
Saat S1 pula saya didaftarkan beasiswa ke Kanwil oleh teman saya. Mohon digaris bawahi, “didaftarkan”. Saya tidak tahu itu beasiswa apa. Katanya akan dapat Rp. 2,5 juta, tetapi bila dapat ia minta Rp. 1 juta. Saya kurang sreg sebenarnya, tapi saya ikuti saja beberapa persyaratannya, berkas-berkasnya saya penuhi semua.
Akan tetapi, pengajuan beasiswa ini menghantui saya, benar-benar membuatku gelisah karena akan ada KKN di situ. Saya merasa lega waktu itu. Beberapa kali saya berdoa semoga saya tidak mendapatkan beasiswa itu. Saya takut.
Teman saya itu minta uang ke saya untuk buka rekening Bank Danamon, seratus ribu kalau saya tidak salah ingat. Akan tetapi, bagaimana nasib beasiswa itu saya tidak tahu lagi bagaimana nasibnya sampai sekarang. Kata dia, nama saya sudah keluar, suruh menunggu, tapi tetap tidak ada. Dia kalau bertemu saya, sering membahas itu, bahkan bilang akan mengembalikan uangku yang seratus ribu itu. Saya iyakan saja.
Sungguh saya merasa senang tidak mendapatkan uang itu, entah karena tidak turun atau karena ditilep, saya tidak mau ambil peduli lagi, bukan urusanku. Saya beberapa kali mendapati teman saya itu menjadi makelar bantuan tetapi dengan komisi. Dia selalu memotong bantuan itu. Ibu saya pernah jadi korbannya. Kalau saya analisis sendiri, bantuan itu adalah bantuan pemerintah pada umumnya, tetapi mungkin karena dia mendapatkan informasi lebih awal, sehingga dia bergerak cepat, banyak orang seperti dia kemudian hari. Saya tidak suka. Semoga saya dan keluarga saya dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal, mendapatkan uang dengan cara-cara yang haram.
Selulus kuliah saya bekerja di Koran Harian. Suatu ketika direksi memberikan pengumuman di grup bahwa ada beasiswa jurnalisme sastrawi, siapapun yang lolos beasiswa tersebut, akan ditanggung ongkos PP-nya ke Jakarta. Saya benar-benar lolos. Saya berkesempatan belajar jurnalisme sastrawi di Jakarta selama dua minggu dengan dibimbing oleh Andreas Harsono dan Janet Steel. Mereka berdua adalah pakar di bidang jurnalisme.
Saat itu saya sudah berniat untuk lanjut kuliah S2, kalau tidak salah saya sudah mendaftar. Saya pikir saya akan mendapatkan uang tambahan dengan sambil menjadi penulis lepas. Hanya saja, pihak koran tidak mengizinkan bekerja di dua instansi. Saya memilih mengundurkan diri dengan alasan ingin lanjut kuliah.
Saat itu saya merasa tidak nyaman untuk langsung berhenti begitu saja saat sepulang Jakarta. Saya merasa punya hutang budi ke tempat, hanya saja mereka menghadapan saya pada pilihan. Per 10 Oktober 2019 saya resign dari tempat kerja dengan sedikit beban merasa bersalah dan tidak enak. Itu menjadi gejolak batin tersendiri bagi saya, saya punya catatan curhatnya. Saya tulis tangan.
Saya merasa tidak enak bila dikekang oleh orang lain. Di situlah kadang saya merasa lebih bebas dengan diri saya sendiri dengan tidak terikat perjanjian apapun dengan instansi lain yang membatasi pergerakan saya, pergerakan yang tidak benar-benar saya kehendaki, kuliah dengan biaya mandiri.
Tidak jarang saya merasa bersyukur bisa kuliah dengan biaya mandiri, ada rezeki untuk membiayai pendidikan saya meskipun tidak semulus milik orang lain, tak ada perjanjian mengikat. Tetapi di sisi lain, saya juga ingin mendapatkan beasiswa supaya saya lebih bisa menabung untuk masa depan saya.
KM7, 15/6/23 17.18
Komentar
Posting Komentar